Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik, Rabu 2 Maret 2022, Hari Raya Rabu Abu: Tersembunyi
Selama 40 hari ke depan, kita semua mempunyai kesempatan emas untuk belajar dari Yesus tentang bagaimana seharusnya kita berdoa
Renungan Harian Katolik, Rabu 2 Maret 2022, Hari Raya Rabu Abu: Tersembunyi
Oleh: RP. Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Bagi orang-orang Yahudi, ada tiga pilar yang menjadi dasar kehidupan beragama yaitu pemberian sedekah, doa dan puasa. Yesus sendiri menerima hal tersebut selama motif yang mendasari paham itu benar, yaitu kasih kepada Allah dan sesama.
Namun yang membuat-Nya gelisah adalah bahwa begitu sering di dalam kehidupan manusia, hal-hal terbaik dilakukan dengan motif-motif keliru. Yesus memperingatkan orang-orang itu bahwa apabila hal-hal ini dilakukan dengan tujuan memuliakan si pelaku, maka hilanglah bagian yang paling penting dari nilai tiga pilar pendukung kehidupan baik tersebut (Sabda: 2020).
Orang dapat saja memberikan sedekah, bukan untuk sungguh menolong orang yang sedang membutuhkan bantuan, melainkan untuk mempertunjukkan kemurahan hatinya agar menikmati kehangatan rasa syukur orang yang ditolong dan pujian orang banyak.
Seseorang dapat saja mempraktikkan pekerjaan baik hanya untuk memperoleh pujian dari orang-orang lain, untuk meningkatkan prestisenya dan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya baik.
Yesus sendiri melihat bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan itu berharga di mata-Nya. Oleh karena itu Dia mengatakan kepada kita, “Apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau menggembar-gemborkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Mereka sudah mendapat upahnya” (Mat 6:2).
Jadi, apabila Anda memberikan sedekah sekadar untuk mempertunjukkan kemurahan-hati Anda sendiri, memang Anda akan dapat menimbulkan kekaguman orang-orang lain, namun hanya itulah yang Anda akan peroleh.
Orang dapat saja berdoa sedemikian rupa sehingga “doa”-nya tidaklah dialamatkan kepada Allah, melainkan kepada orang-orang lain di sekelilingnya. “Doa”-nya sekadar suatu upaya untuk mempertunjukkan “kesalehan” pribadi yang “luar biasa” dengan cara harus dilihat orang lain. Doa menjadi sebuah pertunjukan diri.
Dalam hal ini Yesus bersabda, “Apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti seorang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Mereka sudah mendapat upahnya” (Mat 6:5).
Jadi, apabila Anda berdoa sedemikian rupa untuk memamerkan “kesalehan” di depan banyak orang, maka Anda akan memperoleh reputasi sebagai seorang pendoa yang hebat, seorang pribadi yang saleh, namun hanya itulah yang diperoleh.
Orang dapat saja berpuasa, sebenarnya bukan untuk kebaikan jiwanya sendiri, bukan untuk merendahkan diri di hadapan Allah, melainkan sekadar menunjukkan kepada orang lain bahwa dirinya adalah seorang pribadi yang memiliki karakter penuh disiplin dalam hukum rohani.
Mengenai puasa ini Yesus bersabda, “Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Mereka sudah mendapat upahnya” (Mat 6:16).
Jadi, apabila Anda berpuasa sedemikian rupa sehingga orang-orang lain tahu bahwa Anda sedang berpuasa, maka Anda akan memperoleh reputasi sebagai seorang pribadi yang sangat asketis dan spiritual, namun hanya itulah yang diperoleh.
Yesus sesungguhnya hendak mengatakan bahwa apabila niat kita adalah memperoleh bagi diri kita ganjaran dari “dunia”, maka kita tidak perlu ragu-ragu karena kita akan memperolehnya. Namun kita seharusnya mencari ganjaran-ganjaran yang hanya dapat diberikan oleh Allah saja.