Berita Nasional
ASPEK Indonesia Desak Jokowi dan Menaker Cabut Permenaker JHT Cair di Usia 56 Tahun
Desakan ASPEK Indonesia itu tertuang dalam surat kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
ASPEK Indonesia Desak Jokowi dan Menaker Cabut Permenaker JHT Cair di Usia 56 Tahun
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) mendesak Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang mewajibkan pencairan danan Jaminan Hari Tua (JHT) bagi karyawan di usia 56 tahun.
Desakan ASPEK Indonesia itu tertuang dalam surat kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Salinan surat tersebut juga dikirimkan kepada media.
Dalam surat tersebut ASPEK meminta pembatalan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
ASPEK meminta Jokowi untuk menginstruksikan kepada Ida untuk mencabut dan membatalkan Permenaker tersebut.
Selanjutnya, ASPEK meminta untuk tetap memberlakukan Permenaker Nomor 19 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dicairkan untuk pekerja yang berhenti bekerja, baik karena mengundurkan diri maupun karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baca juga: Jokowi Didesak Copot Menaker Ida Fauziyah Buntut Kebijakan Pencairan JHT di Usia 56 Tahun
Manfaat itu dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu satu bulan terhitung sejak tanggal pengunduran diri atau tanggal PHK.
Dewan Pimpinan Pusat ASPEK Mirah Sumirat mendasarkan tuntutan tersebut pada tujuh pertimbangan.
Pertama, Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 sesungguhnya telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, sehingga tidak perlu dilakukan perubahan.
Kedua, dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, setiap pekerja yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri maupun karena terkena PHK, memiliki hak untuk memilih apakah akan mencairkan manfaat Jaminan Hari Tua pada saat berhenti bekerja, atau pada saat memasuki usia pensiun.
Ketiga, Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tidak bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004, dengan pertimbangan pasal 1 ayat 8; Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
Kemudian, pasal 1 ayat 9; manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya.
Lalu, pasal 1 ayat 10; iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
Keempat, dari uraian Pasal 1 ayat 8, 9 dan 10 UU Nomor 40 Tahun 2004 tersebut, tegas dinyatakan yang dimaksud dengan 'Peserta' adalah setiap orang yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia yang telah membayar iuran.
"Artinya, pekerja yang mengundurkan diri dan PHK tidak lagi masuk dalam kategori 'Peserta', karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran. Sehingga seharusnya pekerja dimaksud tetap diberikan hak untuk memilih kapan akan mengambil manfaat JHT," sambung Mirah melalui keterangan resmi yang dikirim ke media, Senin 14 Februari 2022.
Kelima, komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar 2 persen dari upah sebulan dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan.
Artinya, dalam dana JHT dimaksud, tidak ada keikutsertaan dana dari pemerintah. Sehingga tidak ada alasan untuk pemerintah 'menahan' dana JHT dimaksud.
Baca juga: Menaker Ida Fauziyah Diprotes Jumhur Hidayat, Singgung Permenaker JHT Sengsarakan Buruh/Pekerja
Keenam, kondisi faktual saat ini banyak korban PHK yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja.
"Banyak juga pekerja yang di-PHK tanpa mendapatkan pesangon, antara lain karena dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Sehingga pekerja sangat berharap bisa mencarikan JHT yang menjadi haknya," kata Mirah.
Ketujuh, perubahan persyaratan klaim JHT yang hanya bisa dicairkan saat usia 56 tahun, sangat mencederai rasa keadilan bagi pekerja yang menginginkan untuk mencairkan JHT setelah mengundurkan diri atau setelah PHK.
"Berdasarkan pertimbangan tersebut, ASPEK Indonesia menilai tidak ada alasan yang mendasar untuk menunda pembayaran JHT sampai usia 56 tahun, bagi pekerja yang mengundurkan diri maupun PHK," tandas Mirah.
Curiga BP Jamsostek
Sebelumnya, ASPEK menduga keputusan pemerintah menetapkan Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa diambil pada usia 56 tahun karena BPJS Ketenagakerjaan tidak memiliki dana yang cukup dari pengembangan dana peserta.
"Sehingga berpotensi gagal bayar terhadap hak-hak pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan," kata Presiden ASPEK, Mirah Sumirat, dalam keterangan persnya, Minggu 13 Februari 2022.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua menjadi polemik karena penetapan batas usia pekerja untuk mencairkan JHT
Pejabat Sementara Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BP Jamsostek Dian Agung Senoaji mengatakan, keputusan itu sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 2004.
Menurut Dian, program JHT bertujuan untuk menjamin peserta menerima uang tunai pada saat memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia, sehingga pekerja memiliki tabungan ketika memasuki masa pensiun.
Peserta memang masih bisa melakukan pencairan sebagian saldo JHT sebesar 30 persen untuk kepemilikan rumah atau 10 persen untuk keperluan lain dengan ketentuan minimal kepesertaan 10 tahun.
Baca juga: Gubernur Viktor Laiskodat Serukan Dukungan Presiden Jokowi Tiga Periode
Sedangkan untuk pencairan saldo JHT secara penuh hanya dapat dilakukan saat peserta mencapai usia 56 tahun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar 2 persen dari upah sebulan dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan.
Menurut Mirah, di tengah gelombang pandemi yang memukul dunia usaha tidak sedikit buruh kehilangan pekerjaan atau mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat kondisi perekonomian yang lesu.
Para pekerja yang di-PHK itu, kata Mirah, ada yang berharap bisa mencairkan JHT guna berbagai keperluan atau bahkan membuka usaha buat bertahan hidup dan mendapat pemasukan di masa pandemi.
"Kenapa harus ditahan dan menunggu sampai usia 56 tahun? Di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan baru, seharusnya dana JHT bisa dipergunakan untuk modal usaha," ujar Mirah.
"Banyak korban PHK dengan berbagai penyebabnya, yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja. Banyak juga pekerja yang di-PHK tanpa mendapatkan pesangon, antara lain karena dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Sehingga pekerja sangat berharap bisa mencairkan JHT yang menjadi haknya," sambung Mirah.
Sumber: cnnindonesia.com/kompas.com