Berita Nasional

Jokowi dan MK Sering Beda Pendapat, UU Pemilu dan Ciptaker Paling Banyak Digugat

Pemerintah pun wajib mematuhi keputusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Editor: Alfons Nedabang
ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A
Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) paling banyak digugat sepanjang tahun 2021.

Mahkamah Konstitusi (MK) mencatat ada 121 perkara pengujian undang-undang pada 2021. Dan dari 48 undang-undang yang digugat, UU Pemilu dan UU Cipta Kerja menjadi UU yang paling sering diperkarakan.

"Pertama, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja (UU Ciptaker) yang diuji masing-masing sebanyak sembilan kali," kata Ketua MK Anwar Usman pada Sidang Pleno Khusus Laporan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2021, Kamis 10 Februari 2022.

Baca juga: Jokowi Bicara Tindakan Inkonstitusional di Mahkamah Konstitusi, Tak Pernah Terpikir Sedikit Pun

Kedua, kata Anwar, pengujian terhadap Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) yang diuji empat kali. Berikutnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang masing-masing diuji sebanyak tiga kali.

Anwar mengatakan sepanjang 2021 total gugatan yang ditangani MK mencapai 277 perkara. Sebagian besar gugatan sudah diputus, yakni sebanyak 253 perkara. Untuk mengadili 277 perkara itu MK menggelar sebanyak 924 sidang yang terdiri dari 471 sidang panel, dan 453 sidang pleno.

Pada saat yang sama Anwar menegaskan bahwa MK tak hanya menangani perkara pengujian undang-undang, tapi juga menangani tiga perkara sengketa kewenangan lembaga negara dan 153 perkara pemilihan kepala daerah.

Baca juga: Presiden Jokowi Diminta Putuskan Status Pandemi, Ini Kata Mahkamah Konstitusi

"Dari 121 perkara, MK telah memutus sebanyak 99 perkara, dengan jumlah ini artinya, MK telah menyelesaikan sejumlah 81,82 persen dari keseluruhan perkara di tahun 2021 dan 22 perkara atau setara dengan 18,8 persen masih dalam proses pemeriksaan," kata Anwar.

Ia mengatakan, rata-rata waktu penyelesaian perkara PUU dan SKLN berdasarkan jangka waktu penyelesaian pada 2021 adalah 2,97 bulan per perkara. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah pada Januari-April 2021, MK fokus menyelesaikan perkara Pilkada yang waktu penyelesaiannya dibatasi yaitu 45 hari kerja, sejak permohonan diregistrasi.

Karena itu, persidangan perkara PUU dan SKLN disesuaikan dengan penyelesaian perkara PHPKada. Hal ini mengacu ketentuan MK memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian undang-undang, setelah selesai memutus perkara perselisihan hasil pilkada serentak, yaitu pada bulan Mei hingga Desember 2021 atau dalam kurun waktu 8 bulan.

Baca juga: Putusan Mahkamah Konstitusi Alihkan Program THT & Pensiun ASN dari Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan 

Sementara Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga hadir dalam Sidang Pleno Khusus Laporan MK itu mengungkapkan peran Indonesia sebagai negara hukum wajib menegakkan kepentingan masyarakat bersama.

Namun dalam praktiknya, keputusan pemerintah kadang kala harus berseberangan dengan putusan MK sebagai lembaga pengawal konstitusi. Meski demikian, Jokowi menegaskan pihaknya selalu menerima dan melaksanakan putusan yang dikeluarkan MK.

"Sebagai negara hukum kita harus bersama-sama menegakkan hukum, menegakkan keadilan untuk kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa. Memang pemerintah tidak selamanya sependapat dengan pandangan MK dalam putusan-putusannya. Tetapi pemerintah selalu menerima, selalu menghormati, dan melaksanakan putusan-putusan MK," ucap Jokowi.

Jokowi menjelaskan, pemerintah pun wajib mematuhi keputusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Baca juga: Rizal Ramli Sebut Hakim Mahkamah Konstitusi Tidak Paham Prinsip Demokrasi dan Konstitusi, Kok Bisa?

"Karena demikianlah yang diatur oleh Undang-undang Dasar 1945, yakni keputusan MK bersifat final dan mengikat. Pemerintah yakin bahwa kehidupan bernegara kita akan tertata dengan baik jika diselenggarakan berdasar konstitusi," ujar dia.

Jokowi juga menjelaskan bahwa dalam dalam situasi yang serba tak pasti selama pandemi Covid-19 pemerintah tidak pernah mengambil kebijakan yang menabrak konstitusi.

Menurut Jokowi, tidak pernah terlintas dalam pikiran pemerintah sedikit pun bahwa dengan mengatasnamakan pandemi Covid-19 pemerintah dengan sengaja menempuh langkah-langkah dan cara cara bikin inkonstitusional, menabrak prosedur, dan nilai-nilai demokrasi konstitusional.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved