Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Sabtu 29 Januari 2022: Kedok Keterbatasan
Dapat dipastikan bahwa ada di antara orang banyak itu yang berbisik-bisik, berkomentar kiri kanan, sibuk dengan "gadget" atau "android"-nya.
Renungan Harian Katolik Sabut 29 Januari 2022: Kedok Keterbatasan (Markus 4:35-41)
Oleh: RD. Fransiskus Aliandu
POS-KUPANG.COM - Sehabis mengajar orang banyak, Yesus mengajak para murid-Nya untuk bertolak ke seberang danau.
Nampaknya Yesus cukup lelah. Bayangkan Ia mengajar sepanjang hari, di alam terbuka, di tepi danau. Hampir pasti Ia harus bersuara keras melebihi suara desiran angin, deburan ombak, kicauan burung-burung. Apalagi tanpa pengeras suara.
Ia mengajar orang-orang yang jumlahnya begitu besar, dengan latar belakang yang heterogen. Orang-orang itu bukanlah para peserta didik di sekolah yang disiplin, yang "takut" pada gurunya.
Dapat dipastikan bahwa ada di antara orang banyak itu yang berbisik-bisik, berkomentar kiri kanan, sibuk dengan "gadget" atau "android"-nya.
Maka ajakan pergi ke seberang memang mesti dimaknai bahwa secara manusiawi, itu adalah niatan Sang Guru hendak melepaskan diri dari orang banyak, untuk melepas penat.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Kamis 27 Januari 2022: Jadilah Terang
Catatan penginjil bahwa saat berada di dalam perahu, dalam penyeberangan itu, Yesus tertidur; bahkan biar pun perahu terombang-ambing oleh ombak-ombak yang dasyat oleh dasyat, Ia tertidur nyenyak sekali; setidaknya turut memberi aksentuasi pada maksud pengen beristirahat.
Dan ajakan itu adalah aba-aba permintaan tulus Sang Guru kepada para murid agar membawa-Nya ke seberang. Sang Guru tahu bahwa para murid adalah nelayan-pelaut profesional dan tangguh sehingga pasti bisa menyeberangi-Nya melewati danau dunia gelutan mereka sehari-hari.
Namun apa yang terjadi? Penyeberangan danau terganggu oleh timbulnya taufan dasyat. Perahu hampir tenggelam. Hati para murid justru dihinggapi rasa takut yang mencekam. Para murid tergoncang hati dan ketangguhan diri.
Di tengah kesulitan dan tantangan badai dasyat, mereka kehabisan akal. Seakan "lenyap" kehebatan dan keprofesionalan mereka.
Parahnya posisi dan tugas yang harus diemban sebagai "penolong" Yesus justru ikut tergoncang. Alih-alih mencari akal untuk berperan sebagai "pelindung", mereka malah merasa terganggu oleh kehadiran Sang Guru.
Dalam diri mereka timbul kecenderungan untuk mempersalahkan Yesus atas kenyataan yang harus mereka hadapi. Bukannya mengerahkan segenap potensi yang dimiliki; atau bukannya menyadari keterbatasan dan ketidakmampuan diri; melainkan mereka mulai mencari "yang salah".
Yesus yang tertidur nyenyak dilihat dan dijadikan sebagai kambing hitam. "Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?"
Kedok keterbatasan dan kepicikan para murid mulai nampak dalam kesulitan berupa taufan. Hal semacam ini agaknya terbiasa dalam kenyataan hidup dan bisa hinggap pada diri siapa pun.