Program Pengembangan Desa Mitra Undana Kupang: Air Sudah Dekat di Desa Nekmese Kupang
PENANTIAN panjang warga Desa Nekmese, Kecamatan Nekmese, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menikmati air bersih
Penulis: Paul Burin | Editor: Kanis Jehola
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Paul Burin
POS-KUPANG.COM - PENANTIAN panjang warga Desa Nekmese, Kecamatan Nekmese, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menikmati air bersih telah nyata di depan mata. Tercatat sejak tahun 2019, 450 kepala keluarga atau sekitar 2.000 warga desa tak harus menempuh perjalanan sejauh dua sampai tujuh kilometer untuk mengakses air.
Kini, melalui hidran umum, warga sudah boleh menggunakan air bersih di sekitar rumah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perjuangan untuk mendapatkan air bersih memang tak gampang.
Bermula dari kejelian seorang lelaki bernama Jakobis Johanis Messakh, yang sehari-hari sebagai Dosen Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Yapi, demikian panggilan akrabnya melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di desa itu.
Ia sungguh tersentuh menyaksikan perjuangan warga setempat yang sehari-hari membuang waktu yang banyak, akhirnya lelah dan tak bisa melakukan aktivitas produktif lain hanya karena mendatangi sumber air yang cukup jauh dari kampung itu. Melihat hal ini Yapi melakukan kajian-kajiaan ilmiah.
Baca juga: Lulusan Undana Kupang Ini Masuk Bursa Calon Presiden Timor Leste
Ia melakukan riset bersama mahasiswa selama sekitar setahun. Ternyata elevasi atau jarak sumber air dengan perkampungan penduduk relatif dekat. Juga potensi air stabil sepanjang tahun. Debitnya empat liter per detik sangat cukup untuk dialirkan serta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Berbeda dengan karakter air di Kota Kupang yang debitnya banyak pada musim hujan, sedangkan musim kering berkurang. Beberapa sarana air seperti reservoar juga masih tersedia karena sebelumnya beberapa proyek telah berjalan seperti Pamsimas (penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat) dan proyek sanitasi air dari Jerman, namun entah mengapa tak berjalan lancar.
Proyek mungkin selesai dan air pernah mengalir, namun tak kontinyu. Ketika perangkat rusak tak diperbaiki. Akhirnya warga kembali ke titik awal. Mereka mengalami kesulitan lagi mengakses air.
Beberapa variabel inilah yang menjadikan pakar pengelolaan sumber daya air ini memacunya untuk aktif melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Baca juga: Begini Penjelasan Pakar Hukum Pidana Undana Kupang Soal Alat Deteksi Kebohongan
Kepada masyarakat, Yapi selalu mengingatkan bahwa kegiatan ini bukanlah proyek. Jika pendekatan proyek maka masyarakat akan sangat pasif. Pun tidak akan merawat fasilitas yang ada. Bahkan mungkin saja bisa merusakkannya.
Tapi, kali ini Yapi bersama tim, di antaranya Dr. Rolland Fanggidae, M.M, berdiskusi dengan seluruh elemen masyarakat termasuk kepala desa dan perangkatnya tentang bagaimana agar air dapat dialirkan ke tengah pemukiman penduduk. Jadilah program ini berjalan dengan lancar.
Inilah kerinduan yang terobati di lubuk hati terdalam warga. Kini, desa ini merupakan satu di antara program pemerintah pusat yang boleh menjadi contoh. Survai sebelumnya menunjukkan bahwa setiap bulan tiap kepala keluarga menyisihkan uang sebanyak Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu untuk membeli air dalam memenuhi kebutuhannya. Mereka juga tak memiliki tampungan air. Sedangkan warga yang tak punya duit, berjalan kaki menuju ke sumber air yang letaknya di bawah kampung itu.
Baca juga: Dosen Undana Kupang Berhasil Bangun Jaringan Air Bersih Terintegrasi di Desa Nekmese
Di tengah kesulitan ekonomi yang mendera, warga tetap berusaha untuk bertahan. Menjadi sebuah ironi bahwa di sekitar mereka terdapat sumber air yang cukup, tapi tak bisa dimanfaatkan karena sejumlah alasan di atas.
Ditemui Pos Kupang di Kupang, Kamis, 13 Januari 2022, Doktor Yapi menceritakan bahwa sebelumnya ia pernah melakukan hal yang sama di Desa Hane, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Atas pengalaman itu ia terdorong melakukan hal yang sama di Nekmese.
Doktor jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2015, ini kemudian mengajukan proposal kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, cq Direktorat Dikti. Proposal yang diajukan pada tahun 2018 terjawab setahun kemudian. Sama seperti di Hane. Proposal diajukan pada tahun 2017, terjawab pada tahun 2018. Proposal itu diajukan atas nama Undana.
Lelaki kelahiran Kota SoE, TTS, 23 Juni 1974 ini, mengatakan bahwa prinsipnya ia dan masyarakat bekerja sesuai dengan apa yang ada. Jadi reservoar yang sudah dibangun pada proyek terdahulu diperbaiki sehingga menjadi penampung utama sebelum dialirkan ke desa. Dalam konteks perberdayaan ia mengatakan bahwa Undana menyediakan apa dan masyarakat menyediakan apa.
Ubah Mindset
ketika air sudah dialirkan ke desa, maka pekerjaan selanjutnya adalah mengubah mindset masyarakat. Sebab mereka beranggapan bahwa air merupakan pemberian dari Tuhan. Jika demikian maka harus gratis. Tak boleh bayar. Benar, tapi ada dampak-danpak ekonomis ketika air itu sudah dialirkan. Misalnya, kalau mengoperasikan mesin, petugas membuka kran untuk membagikan kepada warga maka butuh biaya operasional.
“Kami kaji bersama. Kira-kira kalau air sudah jalan apa kontribusi dari masyarakat? Kalian mau bayar berapa?
Misalnya, keinginan untuk berkontribusi Rp 20 ribu, jika tambah Rp 10 ribu bagaimana? Kalau tambah lagi berapa. Pertanyaan ini kita ajukan sampai masyarakat tak sanggup lagi untuk menyumbang,” kata Wakil Dekan 2 FKIP Undana ini.
Akhirnya semua menyepakati tiap kepala keluarga menyumbang Rp 50 ribu per bulan. Jika ditotal maka kontribusi itu mencapai Rp 10 juta per bulan. Nilai ini cukup untuk operasional, termasuk untuk maintenance jaringan.
Membiayai petugas dan operasional listrik. Semua kebutuhan menyangkut operasional dilaporkan secara terbuka melalui medsos. Dengan demikian tak ada yang merasa curiga. Intinya masyarakat dilibatkan dan minta pikiran atau pandangan mereka.
Misalnya, rencana desain memang sudah ada berdasarkan kajian ilmiah, tapi ketika masyarakat memberi saran, bisa dipadukan. Dengan demikian mereka merasa memiliki dan percaya diri karena telah dihargai.
Pada tahun pertama 2019, Yapi bersama masyarakat berhasil mendirikan sepuluh titik hidran umum yang terdiri dari tujuh sistim tendon dan tiga sistim kran. Sedangkan untuk mengalirkan air menggunakan mesin pompa.
Tahun 2020, bangun lagi 10 kran air sehingga sekarang total menjadi 22 hidran umum yang sudah melayani semua titik di desa itu. Sistim air dibagi per wilayah sesuai kebutuhan.
Langkah pertama dan utama adalah mengalurkan air ke pemukiman penduduk. Jika demikian maka perlu integrasi program pemberdayaan lainnya. Undana menyumbang bibit melalui desa agar masyarakat dapat menanam di halaman rumah.
Sebab sebelumnya, warga membeli sayur-sayuran di Oesao, yang letaknya relatif jauh. Kini, setelah air berjalan, halaman rumah penduduk sudah hijau karena ditanami dengan sayur-sayuran. Kebun desa juga disiapkan berupa tanaman sayur-sayuran.
Integrasi lain yang dilakukan adalah membangun gasebo atau lopo-lopo kecil sebagai tempat menaruh bahan-bahan bacaan. Sistim literasi ini dibuat agar ketika warga mengantre air dapat membaca. Bahan bacaan telah disiapkan.
Juga mereka dapat memelihara ikan di pekarangan rumah. Jadi sebetulnya, ada begitu banyak dampak atau manfaat dari air bersih ini. Pemberdayaan masyarakat untuk bekerja bersama-sama, kontribusi untuk manajemen air, usaha sayur-sayuran dan memelihara ikan di pekarangan rumah serta literasi. Dari air yang tersedia, sekarang juga sudah dibangun unit air isi ulang yang diberi label Oe Nekmese yang dikelola oleh Bumdes. Kini, air memang sudah dekat bahkan hidup berdampingan dengan warga Desa Nekmese. (*)