Berita Flores Timur
Padma Indonesia Minta BPK Audit BPR Flotim
Lembaga Padma Indonesia Minta Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) Mengaudit BPR Flotim
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Amar Ola Keda
POS-KUPANG.COM, LARANTUKA- Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian ( Padma) Indonesia mendesak Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) Perwakilan NTT segera mengaudit keuangan di PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bina Usaha Dana (BUD) Kabupaten Flores Timur (Flotim).
Desakan itu menyusul penolakan receschedule oleh BPR yang diajukan nasabah, Ricki Leo beberapa waktu lalu.
"Nasabah ini punya itikad baik mau mencicil dan ajukan reschedule. Tapi BPR malah lakukan intimidasi dengan mengancam lakukan sita eksekusi. Kami minta BPK RI segera audit ke BPR, karena BPR setiap tahun dapat kucuran dana ABBD Rp 2 Miliar pertahun. Selama ini BPR gunakan APBD tapi tidak semalatkan rakyat, malah menindas," ujar Direktur Padma Indonesia, Gabriel Goa saat menggelar konferensi pers secara virtual, Sabtu 27 November 2021.
Menurut dia, debitur ini sudah beberapa kali meminta BPR untuk mengabulkan permohonan reschedule, namun anehnya, BPR malah meminta debitur wajib mengembalikan uang sebesar Rp 471 juta dalam jangka waktu dua bulan.
"BPR mau reschedule jika nasabah bayar Rp 471 juta dengan reschedule 200 juta. Padahal sisa pinjaman Rp300 juta lebih saja," katanya.
Saat ini dari Padma Indonesia dengan Koalisi Masyarakat Pemberantas Korupsi (Kompak) memilih memberi advokasi khusus terhadap semua debitur BPR Flores Timur termasuk Bank NTT.
"Jangan tertawa di atas penderitaan debitur. Jangan tindas pelaku UMKM. Jika ada tindakan paksa dari debitur maka kami akan ribut di tingkat nasional. Jika aset debitur dirampas, maka kami akan bertindak tegas terhadap BPR. Harus kedepankan HAM. Debitur tidak lari dan tetap melakukan cicilan," tegasnya.
"Anggota BPR jika membawa aparat TNI atau Polri untuk sita paksa rumah nasabah, maka anggota itu juga akan kami laporkan pelanggaran HAM," tambahnya.
Sita Eksekusi Sebelum Jatuh Tempo
Ia menjelaskan, polemik itu terjadi berawal dari debitur, Ricki Leo mengajukan kredit ke BPR sebesar Rp.500 juta pada tahun 2018 lalu, dengan tanggal jatuh tempo pada 28 September 2021. Namun, sebelum tanggal jatuh tempo, pihak BPR sudah memasang plang sita eksekusi terhadap barang jaminan berupa rumah nasabah di Kelurahan Sarotari Timur, Kota Larantuka.
"Awalnya debitur mencicil dengan angka sesuai kesepakatan. Dalam perjalanan, debitur alami kecelakaan. Ditambah terdampak covid, cicilan mulai menurun. Tapi anehnya, BPR malah ngotot lakukan sita eksekusi," katanya.
Pemasangan plang itu membuat Ricki Leo melalui pengacaranya menggugat BPR ke Pengadilan Negeri Larantuka, namun gugatan itu ditolak. Selain menggugat, Ricki Leo juga mengadukan persoalan itu ke OJK dan Ombudsman RI Perwakilan NTT.
Debitur kemudian mengajukan reschedule dua kali tapi tidak ditanggapi. Jelang jatuh tempo, BPR kemudian memanggil debitur bertepatan dengan kedatangan pihak OJK ke BPR. Dengan beralasan adanya temuan OJK, BPR meminta debitur membayar uang sebesar Rp. 471 juta dalam jangka waktu dua bulan.
"Hal itu, jelas tak disanggupi nasabah. Kecuali selama ini mereka tidak cicil. Atau mereka ini debitur bermasalah atau koruptor. Jika dipaksakan, kami akan lakukan upaya luar biasa membela nasabah," tegasnya.