Berita Nasional
Novel Baswedan Buka Suara Soal Tudingan Bendera Tauhid di KPK & Narasi Bohong Oknum Security KPK
Novel Baswedan Buka Suara SoalTudingan Bendera Tauhid di Meja Kerjanya di KPK & Narasi Bohong Oknum Security KPK
POS-KUPANG.COM - Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menjawab tudingan soal beredarnya foto bendera, mirip bendera HTI atau Taliban, yang ada disebut-sebut ada di meja kerjanya saat masih bekerja di KPK.
Secara gamblang Novel bercerita di lewat Youtube Channel miliknya yang diunggah pada Jumat (15/10/2021), dan mengatakan tudingan itu tidak benar.
Mulanya istri Novel, Rina Emilda menanyakan foto bendera tauhid yang konon ada di meja kerja Novel. Rina memanggil Novel dengan sebutan ‘Abi’.
“Itu awalnya tidak tau bagaimana. Namun ada orang-orang yang di framing, seolah-olah ada di mejanya Abi dan teman-teman yang 57 (lainnya). Padahal mah nggak,” ujar Novel membuka percakapan dengan istrinya.
Baca juga: Tak Lulus TWK, Raja Operasi Tangkap Tangan KPK dkk Ditarik Ke Mabes Polri, Begini Penjelasan Kapolri
Novel menceritakan, bendera tersebut ditemukan di lantai 10, di meja kerja seorang jaksa yang bekerja di KPK, dan bukan seorang muslim.
“Nggak ngerti juga kenapa (bendera itu) ada dimejanya (jaksa itu). Masalahnya ketika framing itu dibuat, dikait-kaitkan dengan pegawai KPK yang bekerja dengan baik, ini kan menjadi masalah,” kata Novel melanjutkan.
Saat munculnya isu itu pertama kali, baik Novel dan 57 rekannya yang lain, bahkan tidak tau.
Namun belakangan setelah ramai, mereka mulai menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi.
“Katanya ada security yang kemudian naik ke lantai 10 karena habis olahraga, terus dia liat benda, kalau katanya sih bendera HTI, tapi apakah itu bendera HTI atau bendera tauhid aku juga belum pernah liat sebenarnya,” ungkap Novel.
Ternyata ini menjadi permasalahan, karena security memfoto bendera tersebut tanpa izin dan menyebarkan foto dengan narasi yang bohong.
“Dia juga bukan tugasnya di daerah situ (lantai 10), itu bukan area pengawasan dia. Dia tidak tau apa yang terjadi disitu,” kata Novel.
“Ia bilang seolah-olah ‘(Novel/kawan-kawan) Taliban nih, bener nih’. Apakah dia bercanda atau apapun, faktanya narasi bohong itu disebar luaskan. Jadi wajar untuk hal itu di KPK jadi masalah serius. Di KPK kan tidak boleh bohong. Kejujuran menjadi hal penting. Ketika menyampaikan hal itu (jadi) masalah,” ungkapnya.
Novel membantah telah memecat security yang telah menyebarkan kebohongan itu, karena ia tidak mengurusi bagian kepegawaian.
“Di KPK itu security ada di bawah biro umum. Biro umum dibawah ‘Kesekjenan’, jadi itu tidak ada kaitannya dengan bagian penindakan. Abi kenal juga nggak. Jadi nggak ada urusan. Abi di KPK kan penyidik, tidak ada urusan dengan kepegawaian, tidak ada urusan mengenai etik, apalagi soal mecat memecat,” ujarnya.
Novel mengatakan jika ada masalah pelanggaran seperti hal itu di KPK, pegawai bermasalah memiliki sejumlah pilihan kausul, boleh mengundurkan diri untuk mencegah adanya catatan kepegawaian.
Namun Novel memastikan diri tidak memiliki urusan soal pecat memecat pegawai.
Rina yang bertanya pada Novel, bahkan menyebut ada isu yang menyebut bahwa security itu tergabung dalam organisasi kemasyarakatan (Ormas) Banser.
“Apa sih ini, ada Banser, HTI, Taliban, pusing dengar berita-berita itu,” kata Rina Emilda.
“Udahlah, nggak perlu ikut-ikut urusan itu, karena itu memang urusan yang sengaja dibuat macam-macam. Masalahnya adalah, mau dia dari ormas manapun, mestinya ormas itu tidak suka juga ada anggotanya yang berbohong, tentunya mereka mempunyai prinsip memegang integritas, tetap berkata jujur. Jadi siapapun dia, dari ormas manapun, ketika tidak jujur, berbohong, tentu itu jadi masalah,” kata Novel menjawab pertanyaan istrinya.
“Saya pikir kalaupun dia Banser, pasti di Bansernya juga dimarahin,” lanjut Novel.
BERITA LAINNYA:
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak terima dengan tudingan Ombudsman RI bahwa lembaga itu telah melakukan malaadministasi dalam kasus 75 pegawai yang gagal TWK atau Tes Wawasan Kebangsaan.
Atas keberatan itulah KPK lantas menuding balik Ombudsman dengan menyebutkan bahwa lembaga itulah yang justru mempraktikan malaadministrasi.
Serangan balik KPK itu dilontarkan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis 5 Agustus 2021.
Nurul Ghufron mengungkapkan, yang memeriksa KPK dalam urusan 75 pegawai yang gagal TWK tersebut, mestinya bukan Komisioner Ombudsman RI, Rober Na Endi Jaweng.
Karena dalam peraturan Ombudsman RI Nomor 48 Tahun 2020 tugas pemeriksaan itu ada pada Kedeputian Keasistenan IV yang membidangi fungsi pemeriksaan.
“Ini sesuai Peraturan Ombudsman RI (ORI) 48/2020 pasal 15 ayat 2. Dalam pasal itu disebutkan klarifikasi dilakukan oleh keasistenan yang membidangi fungsi pemeriksaan,” ujarnya.
Itu artinya, keasistenan yang membidangi fungsi pemeriksaan-lah yang melakukan pemeriksaan tersebut. Dan pada saat itu fungsi itu ada pada Kedeputian Keasistenan IV.
Akan tetapi, lanjut Nurul Ghufron, yang hadir dalam klarifikasi itu adalah komisioner Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng.
Uraian Nurul Ghufron ini merespon rekomendasi Ombudsman RI terkait kehadiran para pemimpin lembaga dalam rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021.
Ombudsman dalam rekomendasinya menyebutkan, seharusnya yang hadir dalam rapat harmonisasi tersebut, adalah pejabat pimpinan tinggi, dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro, JPT, pejabat administrasi dan panja.
Dalam rapat harmonisasi tersebut yang hadir bukan lagi jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan para pimpinan lembaga, yakni Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menkumham dan Menpan RB.
Terhadap hal tersebut, Nurul Ghufron mengatakan Ombudsman RI tidak memahami Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Bahwa delegator sewaktu-waktu ketika hadir sendiri, tidak masalah secara hukum dan tidak merupakan kesalahan.
"Fakta hukum bahwa rapat koordinasi harmonisasi yang dihadiri atasannya yang kemudian dinyatakan malaadministrasi oleh ORI, ternyata dilaksanakan juga oleh ORI," jelas Ghufron.
Karena pada saat pemeriksaan Ghufron di kantor Ombudsman RI yang memeriksa bukan asisten pada bidang pemeriksaan, melainkan Komisioner Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng.
Ghufron menuduh balik, kalau Ombudsman juga melakukan malaadministrasi.
"Maka, kalau konsisten, pemeriksaan ini juga dilakukan secara malaadministrasi," kata Ghufron.
Penyidik Senior Kecewa
Sementara itu, penyidik senior nonaktif KPK, Novel Baswedan merasa kurang yakin Firli Bahuri cs memperjuangkan nasib pegawai yang tak lulus asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK).
Terlebih setelah pimpinan KPK menyatakan keberatan untuk melaksanakan tindakan korektif sebagaimana laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI.
Satu poin tindakan korektif itu meminta agar pimpinan KPK mengalihkan status 75 pegawai tak lulus TWK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Novel Baswedan termasuk bagian dari 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK menjadi ASN itu.
"Apakah kita bisa percaya bahwa pimpinan KPK berkepentingan menjaga kepentingan pegawai KPK? Saya melihatnya jauh sekali dan enggak ada faktanya," ucap Novel dalam jumpa pers virtual, Jumat 6 Agustus 2021.
Novel Baswedan juga merasa malu kala menonton konferensi pers yang disampaikan KPK.
Menurut dia, Firli Bahuri cs menghindar dari permasalahan serius sebagaimana temuan Ombudsman terkait maladministrasi dalam pelaksanaan alih status pegawai.
"Saya sendiri malu mendengarnya. Saya berharap kita semua harus memahami KPK itu bukan punya Pak Firli Bahuri dkk. (KPK) itu milik masyarakat dan negara," katanya.
Novel menilai keberatan atas LAHP Ombudsman semakin memperlihatkan sikap membangkang pimpinan KPK.
Dia berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan merespons pembangkangan tersebut.
"Saya berharap Presiden akan melihat hal ini dan tidak akan membiarkan perbuatan demikian," kata Novel.
Lebih lanjut, Novel juga berharap Ombudsman bisa lebih mendesak KPK agar mau melaksanakan kewajibannya.
Dia berpendapat bahwa malaadministrasi yang terjadi merupakan sesuatu yang serius karena berkaitan dengan integritas hingga manipulasi.
"Untuk lembaga antikorupsi dan mempunyai kredibilitas tinggi, ini aib besar. Tapi, mereka tidak terganggu. Saya berharap Ombudsman RI bisa lebih baik lagi memberikan desakan kepada KPK," kata Novel.
KPK Mestinya Malu
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengatakan pimpinan KPK harusnya malu dengan temuan Ombudsman yang menyebut adanya kecacatan administrasi dalam seluruh proses pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).
Seperti diketahui, KPK mengaku keberatan dengan tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman terkait maladministrasi TWK.
"Temuan dari Ombudsman itu serius, dan menggambarkan bahwa proses TWK adalah suatu skandal serius dalam upaya pemberantasan korupsi. Mestinya pimpinan KPK malu ketika ditemukan fakta itu, setidaknya responnya minta maaf," ujar Novel lewat keterangan tertulis, Kamis (5/8/2021).
Namun, lanjut penyidik yang kini berstatus nonaktif itu, KPK justru menolak tindakan korektif yang disampaikan oleh Ombudsman.
Novel memandang sikap lembaga antirasuah sangatlah luar biasa.
"Lua biasa, ini memalukan, dan menggambarkan hal yang tidak semestinya dilakukan oleh pejabat penegak hukum. Karena kaidah penting yang mesti dipegang oleh pejabat penegak hukum adalah taat hukum dan jujur. Sayangnya Pimpinan KPK tidak bisa menjadi contoh atas hal itu," kata Novel.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron meminta Ombudsman agar tidak mencampuri urusan internal komisi antikorupsi.
Dia mengatakan, peralihan status kepegawaian merupakan masalah internal KPK.
"Kami menyampaikan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI kepada KPK," kata Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (5/8/2021).
Ia mengingatkan bahwa KPK tidak tunduk pada instansi apapun.
Ghufron mengatakan KPK tidak berada di bawah institusi apapun dan tidak bisa diintervensi kekuasaan manapun.
Berita Lain Terkait KPK
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Novel Jawab Tudingan Bendera Tauhid di Meja Kerjanya di KPK dan Narasi Bohong Oknum Security KPK