Opini Pos Kupang

Distingsi Data dan Kebijakan

Barangsiapa memiliki data baik, ia memiliki masa depan terbaik. Tesis awal ini ingin mengonstruksikan masa depan bangsa

Editor: Kanis Jehola
Dok Pos-Kupang.Com
Logo Pos Kupang 

Oleh : Emanuel Kosat, Mahasiswa Magister Kebijakan Publik, Universitas Airlangga, Surabaya

POS-KUPANG.COM-"Barangsiapa memiliki data yang baik, ia memiliki masa depan terbaik." Tesis awal ini tidak berlebihan sebab jika ingin mengonstruksikan masa depan bangsa sudah barang tentu senantiasa berangkat dari sumber daya data yang sahih.

Data yang tepat, jujur dan logis akan menyediakan berbagai variabel guna perencanaan pembangunan suatu negera. Ekspektasi pemerintah untuk mewujudukan pembangunan yang berkeadilan dalam masyarakat senantiasa memiliki pijak refleksi dari realitas data yang valid.

Seturut itu amanat Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia yang diteken Presiden Joko Widodo tertanggal 12 Juni 2019 kian mengukuhkan data sebagai basis kebijakan (evidence based public policy).

Persoalan timbul manakala fakta data seyogianya tidak merekomendasikan kelahiran suatu entitas kebijakan namun justru kebijakan itu tetap dilegalkan. Sehingga yang terjadi ialah kecurangan dengan pembelokan data primer untuk mengafirmasi lahirnya suatu kebijakan.

Tabiat pemanipulasian data untuk merasionalisasikan kebijakan bersinggungan dengan kriterium etika dan moralitas. Motifnya ialah untuk merekayasa imaji publik pada konsensus yang secara monologal telah ditentukan penguasa.

Kritik etis pun timbul untuk mempersoalkan modus kebohongan ini. Secara deontologi pengingkaran terhadap data pada dirinya merupakan perilaku tidak etis. Berikutnya secara teleologi yang menekankan pada kemanfaatan (utilis) dari sebuah kebijakan pun patut dicurigai.

Meskipun pemerintah ingin memaksimalkan kebijakan publik tapi kenyataanya bertentangan dengan nilai moralitas kejujuran dan kepercayaan. Dalam fenomena ini, imperatif etis dalam aktivitas mendata yang dikelola oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ialah patut menjunjung pengalaman karakter moral yang melatari kelahiran kebijakan publik.

Eksplorasi terhadap deretan data statistik dalam mendeterminasi formulasi kebijakan publik dianggap lebih kredibel obyektif, relevan dan praktis. Sayangnya dengan percaya begitu saja pada akumulasi data telah mengerdilkan nalar kritis dan irasional. Sebab bisa selalu ada peluang ingkar terhadap data guna menenangkan psikologi publik di tengah ketegangan pandemik.

Dirilis dari website resmi BPS tentang Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi (LBDSE) Agustus 2021 memperlihatkan tren positif perekonomian nasional pada kuartal II/2021 yang tumbuh sebesar 7,07 persen secara tahunan (year-on-year).

Untuk sesaat publik bergembira dengan pencapaian negara melalui akumulasi angka-angka tersebut. Namun kemudian dalam pengamatan emipiris ternyata terjadi kesengsaraan publik yang berlarut-larut.

Dengan refleksi kritis memperlihatkan bahwasanya data tersebut justru tidak mengubah disparitas ekonomi antar kelas, borjuis versus proletariat. Sebab hanya akumulasi kekayaan kapitalis yang bertambah dan bukan pada pendistribusian kesejahteraan publik.

Secara dikotomis, pemerintah sebagai pihak yang mengeruk untung dari tampilan statistik sedangkan masyarakat kecil justru merugi. Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) alhasil dianggap berhasil.

Tapi benarkah demikian? Jangan-jangan ada permainan statistik untuk menyelubungi kedok politis dan rekayasa ruang kesadaran publik yang lalu memberi keuntungan penguasa. Data direduksi menjadi medium kekuasaan.

Faktanya pemerintah punya akses memproduksi data sehingga pada gilirannya andil dalam mengkonseptalisasikan teknologi politis untuk menelurkan geneologi kekuasaan.

Oleh sebab itu, perlu dibuka kanal kritis menyikapi teknologi kuasa sebagai rambu awasan terhadap big data yang belakangan diglorifikasi sebagai ritus kebenaran mendata. Teknologi politis lantas dilokalisasikan pada masyarakat -sebuah kombinasi persilangan yang apik antara kuasa, pengetahuan dan data.

Usaha pembacaan ulang dan pengoreksian data dengan kaca mata analisis kritis versi Jacques Derrida (1930-2004) ialah secara saksama hendak menyingkap seluruh problem seperti kelaparan kemiskinan, kemelaratan, dan seterusnya yang diimplikasikan oleh kesalahan kebijakan.

Kebijakan telah memonopoli situasi sosial melalui tafsir tunggal metadata. Data yang hadir diinsafi sebagai dimensi tunggal dan absolut yakni suatu logika logosentrisme yang rentan terperosok pada dogmatisme.

Dengan bangun pikir dekonstruktif memberi bimbingan pada pemaknaan data sebagai jejak (trace) yang tidak seutuhnya menghadirkan ada (being) sekaligus meniadakan tendensi berpikir secara oposisi biner.

Alhasil pertentangan dan tumpang tindih data di antara Kementrian/Lembaga (K/L) dengan Badan Pusat Statistik (BPS) itu mengisyaratkan pemanfaaatan konsep dan metode yang berbeda-beda. Data karena itu telah menjadi lokasi persembunyian kepentingan setiap pihak.

Soal ketidakcocokan data, Kompas menulis tentang statistik kependudukan yang berbeda antara BPS dan Kementerian Dalam Negeri menjelang Pemilu (Kompas.id, 26 September 2021).

Selain itu ada pula persoalan lain seperti ketidakpaduan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang telah menyebabkan inefisiensi distribusi bantuan sosial (bansos) serta adanya inkonsistensi penafsiran data oleh beberapa pihak seputar polemik impor beras pada bulan Maret 2021.

Beberapa kasus yang disebut itu memperlihatkan bahwa bukan sekedar metode yang berbeda. Tetapi dibalik ketidaksinkronan data-data tersebut dicurigai ada tendensi kepentingan sektoral.

Dengan memaklumkan jalan pikir Nietzsche (1844-1900) terlihat bahwasanya publikasi data di setiap sektor K/L bukan untuk mencari kebenaran semata. Namun hakikat data itu terkait dengan kehendak untuk berkuasa (der wille zur macht).

Sebuah penelitian dipublikasikan di Seminar IQRA-Jurnal Untag Surabaya, Vol.1 No.1 tahun 2017, hal 704-719 berjudul: "Obyektivitas dalam Penelitian Kualitatif: Sebuah Isu dalam Pembuatan Kebijakan Berbasis Bukti."

Di dalamnya Lina Miftahul Jannah, dkk mengonstatir bahwa kebijakan publik yang berkualitas akan mensejahterkan masyarakat berikut memperkuat daya saing negara.

Banyak kali terjadi praktik perumusan kebijakan yang ditunggangi psikologi politis. Karenanya kebijakan itu harus berdasarkan pada data, kajian atau pembuktian dan bukan pada pendapat, naluri dan kepentingan sektoral penguasa.

Temuan penelitian ini ialah ciri data kualitatif yaitu antara lain: ada intrepretasi, penggunaan teori -logical induction, kesukaran menggeneralisasi, dan unsur subyektivitas pada instrumen penelitian.

Maka sebagai rujukan bagi BPS yaitu mesti digarap oleh sumber daya manusia yang berkualitas untuk mengelola data entah kuantitatif maupun kualitatif sebagai prasyarat kebijakan.

Kini momentum Hari Statistik Nasional (HSN) kembali diperingati tanggal 26 September seyogianya perlu merevitalisasi komitmen pendataan dan pemanfaatan data statistik bagi kebijakan.

Situasi paceklik dan pandemi menjadi monumen bagi pemerintah untuk rasional dan respek memformulasikan kebijakan. Spirit itu terkonfirmasi dalam tema akbar HSN 2021 yang diusung kali ini yaitu: "Statistik Berkualitas untuk Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh." Oleh sebab itu, validitas data menjadi suatu keniscayaan.

Jika itu dilakukan maka kemungkinan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang luhur akan mengikuti. Alhasil paralel diutarakan kembali sebuah tesis penutup, "extra datum nulla salus" yang berarti di luar data tidak ada keselamatan. Salam Cinta Data! (*)

Baca Opini Pos Kupang Lainnya

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved