Opini Pos Kupang
Distingsi Data dan Kebijakan
Barangsiapa memiliki data baik, ia memiliki masa depan terbaik. Tesis awal ini ingin mengonstruksikan masa depan bangsa
Oleh sebab itu, perlu dibuka kanal kritis menyikapi teknologi kuasa sebagai rambu awasan terhadap big data yang belakangan diglorifikasi sebagai ritus kebenaran mendata. Teknologi politis lantas dilokalisasikan pada masyarakat -sebuah kombinasi persilangan yang apik antara kuasa, pengetahuan dan data.
Usaha pembacaan ulang dan pengoreksian data dengan kaca mata analisis kritis versi Jacques Derrida (1930-2004) ialah secara saksama hendak menyingkap seluruh problem seperti kelaparan kemiskinan, kemelaratan, dan seterusnya yang diimplikasikan oleh kesalahan kebijakan.
Kebijakan telah memonopoli situasi sosial melalui tafsir tunggal metadata. Data yang hadir diinsafi sebagai dimensi tunggal dan absolut yakni suatu logika logosentrisme yang rentan terperosok pada dogmatisme.
Dengan bangun pikir dekonstruktif memberi bimbingan pada pemaknaan data sebagai jejak (trace) yang tidak seutuhnya menghadirkan ada (being) sekaligus meniadakan tendensi berpikir secara oposisi biner.
Alhasil pertentangan dan tumpang tindih data di antara Kementrian/Lembaga (K/L) dengan Badan Pusat Statistik (BPS) itu mengisyaratkan pemanfaaatan konsep dan metode yang berbeda-beda. Data karena itu telah menjadi lokasi persembunyian kepentingan setiap pihak.
Soal ketidakcocokan data, Kompas menulis tentang statistik kependudukan yang berbeda antara BPS dan Kementerian Dalam Negeri menjelang Pemilu (Kompas.id, 26 September 2021).
Selain itu ada pula persoalan lain seperti ketidakpaduan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang telah menyebabkan inefisiensi distribusi bantuan sosial (bansos) serta adanya inkonsistensi penafsiran data oleh beberapa pihak seputar polemik impor beras pada bulan Maret 2021.
Beberapa kasus yang disebut itu memperlihatkan bahwa bukan sekedar metode yang berbeda. Tetapi dibalik ketidaksinkronan data-data tersebut dicurigai ada tendensi kepentingan sektoral.
Dengan memaklumkan jalan pikir Nietzsche (1844-1900) terlihat bahwasanya publikasi data di setiap sektor K/L bukan untuk mencari kebenaran semata. Namun hakikat data itu terkait dengan kehendak untuk berkuasa (der wille zur macht).
Sebuah penelitian dipublikasikan di Seminar IQRA-Jurnal Untag Surabaya, Vol.1 No.1 tahun 2017, hal 704-719 berjudul: "Obyektivitas dalam Penelitian Kualitatif: Sebuah Isu dalam Pembuatan Kebijakan Berbasis Bukti."
Di dalamnya Lina Miftahul Jannah, dkk mengonstatir bahwa kebijakan publik yang berkualitas akan mensejahterkan masyarakat berikut memperkuat daya saing negara.
Banyak kali terjadi praktik perumusan kebijakan yang ditunggangi psikologi politis. Karenanya kebijakan itu harus berdasarkan pada data, kajian atau pembuktian dan bukan pada pendapat, naluri dan kepentingan sektoral penguasa.
Temuan penelitian ini ialah ciri data kualitatif yaitu antara lain: ada intrepretasi, penggunaan teori -logical induction, kesukaran menggeneralisasi, dan unsur subyektivitas pada instrumen penelitian.
Maka sebagai rujukan bagi BPS yaitu mesti digarap oleh sumber daya manusia yang berkualitas untuk mengelola data entah kuantitatif maupun kualitatif sebagai prasyarat kebijakan.
Kini momentum Hari Statistik Nasional (HSN) kembali diperingati tanggal 26 September seyogianya perlu merevitalisasi komitmen pendataan dan pemanfaatan data statistik bagi kebijakan.
