Opini Pos Kupang
63 Tahun Usia Puisi
Puisi seorang guru dari Bima, NTB, dimuat di Majalah Budaya, pada Oktober 1958. Puisi tersebut ia tulis sebulan sebelumnya
Si aku lirik bukan lagi ia yang batu sanggupnya dihancurkan, bukan lagi ia yang pasrah memohon kehadiran Roh Kudus, melainkan ia yang telah "kembali ke negeri lahir yang benar", "kembali dengan tak gentar".
Dalam perjalanannya kembali, di atas aliran air melimpah yang telah mengubah perbukitan ranggas menjadi lautan biru, Roh Kudus adalah penjaga yang "beterbangan di perairan biru hadirku".
Bagian ketiga juga berfungsi memberikan rangkuman kedua kisah dalam kedua bagian sebelumnya sebelum melanjutkan kisah perjalanan si aku lirik. Baris "gemetarlah batin manakala ia ranggas" di bait keempat bagian ketiga membuat kita mesti mengingat kembali situasi di bagian kedua, sebuah situasi "dukacita" yang berubah menjadi "yakin" yang membuat "batin berbahagia".
Kembali ke negeri lahir yang benar adalah situasi pulang, sebuah nostos dan odysseia. Si pahlawan yang bertempur sepanjang hidupnya pulang setelah menemukan kemenangannya.
Itulah jalan pulang yang juga ditempuh si pengembara dalam Komedi Ilahi, berjalan pulang ke rumah surgawi dalam tuntunan ilahi. Kepulangan tersebut membuat si aku lirik mengingat kembali "selat sempit" di bagian ketiga, yang mudah dilewati "si bocah kecil yang bening bermain", gambaran masa kecil tanpa cela, juga tanpa pengalaman pertarungan.
Sebagai sebuah odysseia, pulang bukan hanya soal kemampuan kembali, melainkan juga soal kemampuan untuk merebut kembali rumah. Karena itulah, si aku lirik, dengan begitu yakin, berujar di bait penutup bagian ketiga:
berlayarlah dalam kesementaraan ini hatiku yang sengsai
sering benar kau terengah sering benar kau mabuk diri
sungai deras maha bebas akhirnya takkan lepas sendiri
dan buatlah cadar di seputar medan sengsai hatimu
agar sekitar tak terimbas oleh terik duniamu keras
berbungalah engkau kesementaraan
berbuahlah engkau kesementaraan
terkubur dan tumbuh
Itulah solusi yang diberikan si aku lirik kepada dirinya sendiri, sebuah solilokui untuk terus-menerus mengingatkan dirinya akan situasi rumahnya. Itulah perjuangan "batin yang terculik dan mencari penebusnya", sebuah perjalanan terus-menerus seorang peziarah di dunia untuk mencapai rumah abadinya.
"Tiga Resita Kecil" adalah puisi tentang perjalanan, terutama perjalanan spiritual, yang merupakan pokok utama yang dibicarakan puisi-puisi lain dalam buku Anak Karang, dan pola-pola di dalam puisi "Tiga Resita Kecil" kita temukan diulangi, dalam kadar yang berbeda, dalam puisi-puisi yang lain. Simak, misalnya, bait pertama puisi "Rendezvous", "begini gaerah hidupku mengalir/sedianya dari pasir kemarau ke perairan biru", sebuah situasi yang secara ringkas mengingatkan kita pada dua bagian "Tiga Resita Kecil".
Contoh lainnya adalah puisi "Ketika Kristus Mati". Kisah kematian Kristus direfleksikan Gerson untuk menghasilkan aku lirik yang turut diubah, tokoh yang menggambarkan dirinya di akhir puisi sebagai berikut:
bukan aku tak menentu setelah bersatu dalam cawannya berdarah
yang kuminum dan kagum
tetapi cintaku telah memilih jalan sendiri
dan rindunya meneduhkan hati yang dihiba cinta penebus.
Jalan yang dipilih cinta adalah selat sempit yang penuh gelombang besar, seperti jalan yang mesti dilalui si aku lirik dalam puisi "Tiga Resita Kecil", tokoh yang terkubur bersama Yesus yang mati, dan lahir kembali sebagai manusia baru. (*)