Wawancara Eksklusif
Dialog Tribun Series: Cegah Negara Tanpa Arah, Negara Butuh Haluan Ketua MPR
Dialog Tribun Series: Cegah Negara Tanpa Arah, Negara Butuh Haluan Ketua MPR: Saya Hanya Melaksanakan Tugas
POS-KUPANG.COM- WACANA amandemen terbatas UUD 1945 menguat setelah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR) RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyampaikan dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR RI jelang peringatan HUT RI ke-76, Senin 16 Agustus 2021.
Hasil kajian dari Badan Pengkajian MPR RI menyebutkan negara membutuhkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam bentuk hukum yang ideal.
Bamsoet mengatakan bentuk hukum ideal disini adalah melalui ketetapan MPR (TAP MPR). Dikhawatirkan apabila bentuk hukum PPHN hanya setara dengan Undang-Undang (UU) maka akan dengan mudah diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) hingga digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pada awal Januari kemarin pada 2021, Badan Pengkajian MPR bertemu dengan pimpinan MPR menyampaikan hasil kajian atas rekomendasi MPR periode sebelumnya. Karena PPHN ini merupakan rencana jangka panjang, maka bentuk hukumnya perlu yang ideal dan penempatannya di atas undang-undang, agar tidak ditorpedo dengan Perpu ataupun tidak bisa digugat di MK. Sehingga pilihan yang ideal adalah dengan TAP MPR," ujar Bamsoet, dalam webinar Tribun Series: Cegah Negara Tanpa Arah, Negara Butuh Haluan, Rabu 22 September 2021.
Baca juga: Wacana Jabatan Presiden 3 Periode, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo Bilang Begini
Bamsoet menyebut ada tiga pilihan bentuk hukum yang bisa diterapkan. Bentuk pertama adalah dengan UU, kedua adalah TAP MPR, sementara ketiga adalah masuk dalam konstitusi.
Hanya saja, keputusan itu sangat bergantung pada ke arah mana masyarakat hingga para stakeholder --dalam hal ini partai politik di MPR dan kelompok DPD - -bersepakat.
Politikus Golkar itu sendiri lebih cenderung memilih mengikuti rekomendasi Badan Pengkajian MPR dengan menggunakan TAP MPR. Sehingga kedudukan hukum PPHN sendiri akan lebih kuat dimana kebijakan yang sudah diputuskan dan dikerjakan oleh satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya tidak akan mudah diubah dengan Perpu dan gugatan di MK.
Selain itu, menurutnya akan sangat sulit apabila bentuk hukum konstitusi dipilih, karena harus merubah banyak pasal. Bamsoet menegaskan bahwa MPR hanya berupaya menambah dua ayat di dua pasal berbeda, yakni satu ayat di Pasal 3 dan satu ayat di Pasal 23.
Baca juga: Bambang Soesatyo Angkat Bicara: Pemerintah Pusat-Daerah Perketat Semua Pintu Masuk Pasca Lebaran
"Saya hanya melaksanakan tugas apa yang menjadi rekomendasi MPR, hanya menambah dua ayat. Menambah satu ayat di Pasal 3 adalah memberikan kewenangan kepada MPR untuk bisa membuat dan menetapkan PPHN. Kemudian di Pasal 23 tambah satu ayat yaitu memberikan kewenangan dan hak kepada DPR untuk mengembalikan rancangan undang-undang APBN manakala tidak sesuai dengan PPHN," katanya.
PPHN diperlukan, dikatakan Bamsoet, karena banyaknya ketidakselarasan pembangunan. Sebab selama ini sejak era reformasi, prioritas pembangunan selalu berubah ketika presidennya berganti. Dia meyakini proyek Hambalang sebagai pusat pembinaan olahraga nasional tak akan terbengkalai bila PPHN sudah dimiliki pascareformasi.
"Mengapa? Karena dalam pilihan politik yang dilakukan sekarang di era demokrasi ini tentu masing-masing partai politik pendukung presiden memiliki platform atau prioritas sendiri. Sehingga kalau kita hanya menyalahkan sepenuhnya pada visi misi presiden tidak ada guidance atau arah jangka panjang yang dilakukan oleh negara, maka yakin dan percayalah kita akan seperti ini terus," ujar Bamsoet.
"Seperti poco-poco, maju dua langkah eh besoknya mundur lagi tiga langkah, maju satu langkah begitu pergantian lagi mundur lagi tiga langkah. Sehingga penting kehadiran sebuah haluan negara," tambahnya.
Demokrat Beda Pendapat
Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan menegaskan partainya mendukung pendapat bahwa negara ini memerlukan PPHN. Hanya saja dia tak sepakat ketika payung hukum yang digunakan untuk merealisasikannya adalah lewat TAP MPR maupun mengubah konstitusi.
Syarief mengatakan hal itu akan mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia dan semakin membuat rumit. Sehingga cukup PPHN diakomodir lewat UU.
"Saat ini saya, khususnya Partai Demokrat, merasa perlu menegaskan bahwa PPHN itu cukup diakomodir melalui Undang-Undang. Kalau Undang-Undangnya belum cukup ya kita lakukan revisi Undang-Undang. Termasuk di dalamnya adalah menyangkut masalah konsekuensi," kata Syarief.
Syarief menegaskan sistem pembangunan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang dibuat di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah cukup berhasil. Dia pun mempertanyakan mengapa hal tersebut tidak diteruskan, dan mengapa tidak berusaha memperkuat UU yang ada.
"Apakah dengan Undang-Undang tidak kuat? Kalau di Undang-Undang itu tidak ada konsekuensinya, maka Undang-Undang itu harus direvisi dengan memasukkan salah satu klausul. Misalnya siapapun presiden yang terpilih pada periode berikutnya harus mengikuti PPHN yang sudah ditetapkan presiden sebelumnya. Ini harus, dengan demikian pastinya akan ada kesinambungan pembangunan. Jangan berbeda presiden, berbeda lagi kebijakannya," katanya.
Dia juga menegaskan harus ada urgensi dan kepentingan untuk memasukkan PPHN ini ke dalam TAP MPR ataupun konstitusi. Apabila PPHN dimasukkan tanpa ada konsekuensi yang mengikat, Syarief mempertanyakan untuk apa peraturan atau kebijakan itu dibuat.
Menurutnya setiap peraturan yang ditetapkan harus memiliki konsekuensi hukum dan punishment. Dengan begitu, ketika presiden nantinya dianggap gagal melakukan atau melanjutkan PPHN tentu ada konsekuensi untuk diberhentikan di tengah jalan.
"Kalau rakyat memang puas karena PPHN-nya dilakukan dengan bagus, bisa terpilih lagi selama dua periode. Tetapi kalau dia gagal melakukan PPHN, konsekuensinya ya harus impeachment. Diberhentikan di jalan. Kalau itu tidak ada ya percuma kita masukan ke dalam konstitusi. Itu menurut pandangan kami," ungkap Syarief. (tribunnetwork/vincentius jyestha)