Timor Leste
Timor Leste Kembali Terjebak, Perusahaan Australia Menangkan Kesepakatan Pengeboran Minyak Buffalo
Valaris, sebuah perusahaan asal Australia, akan mengebor sumur Buffalo-10 di lepas pantai Timor Leste yang sangat dinanti
Eksplorasi sumur Buffalo-10 akan menguji keberadaan simpanan cadangan minyak loteng itu.
Meski beberapa pengamat industri skeptis melihat operator sebelumnya bisa melewatkan cadangan minyak sebesar itu, CEO Advance, Leslie Peterkin, menjelaskan rasionalisasinya mengenai taruhan besar di ladang minyak itu.
Jika pengeboran terbukti berhasil dan mereka menemukan sekitar 30 juta barel minyak, maka Timor Leste dapat mengantongi sekitar USD 450 juta selama masa proyek lima tahun, menurut Peter Strachan, seorang analis energi independen yang berbasis di Perth.
Ini didasarkan pada harga minyak USD 75 per barel dengan biaya pengembangan dipatok USD 450 juta dan biaya operasi USD 1.050 juta.
Jika biaya pembangunan kurang dari USD 450 juta ($15/barel), maka pemerintah Timor Leste akan menerima lebih banyak.
“Keuntungan bagi pemerintah bisa melihatnya mengantongi USD 610 juta selama masa proyek lima tahun,” kata Strachan kepada Energy Voice.
Kepala eksekutif Carnarvon Adrian Cook mengatakan bahwa “ladang Buffalo memberikan peluang bagus untuk dengan cepat memberikan pengembangan minyak berbiaya rendah yang siap memanfaatkan pasar minyak yang menguat dan memperkirakan kekurangan pasokan.”
Jika proyek ini lolos, maka Timor Leste kembali terjebak dalam urusan pengeboran minyak bersama Australia yang sudah lama memperalat mereka demi cadangan minyaknya.
Sejak merdeka, hubungan Timor Leste dengan Australia telah ditutupi oleh satu faktor penting: minyak dan gas dalam perbatasan maritim mereka.
Baca juga: Australia Balas Dendam pada Pelapor yang Mengungkap Spionase Timor Leste
Hubungan memburuk tahun 2012 ketika Timor Leste menantang Perjanjian Susunan Maritim Tertentu di Laut Timor (CMATS) yang disepakati dua negara tahun 2006.
Kesepakatan itu mengatur moratorium 50 tahun dalam negosiasi batas maritim, atau 5 tahun setelah eksploitasi ladang minyak Greater Sunrise berakhir, yang ternyata terjadi lebih cepat.
Tuduhan merebak tahun 2013 ketika mantan agen ASIS (kini dikenal dengan Saksi K) membeberkan jika Australia telah memata-matai pejabat Timor Leste selama negosiasi perjanjian CMATS.
Timor Leste segera menuntut kasus tersebut dan meminta sidang di Den Haag menantang kesepakatan yang dikatakan ingin dilaksanakan atas niat baik.
Australia malu dengan pemaparan tersebut, tapi berniat mempertahankan perjanjian dan fokus dalam perjanjian pembagian hasil.
Namun, Timor Leste berargumen jika sumber daya minyak dan gas di Laut Timor akan ada di sisi lain garis tengah dan kemudian mereka mendorong batasan permanen ditarik antar dua negara.