Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Rabu 18 Agustus 2021: Upah dan Bonus
Untuk Renungan Harian Katolik Rabu 18 Agustus 2021, RD. Fransiskus Aliandu menguraikan Upah dan Bonus menurut bacaan injil hari ini, Matius 20:1-16a.
Renungan Harian Katolik Rabu 18 Agustus 2021: Upah dan Bonus (Matius 20:1-16a)
Oleh: RD. Fransiskus Aliandu
POS-KUPANG.COM - Sebelum keringat atlet mengering, Presiden Joko Widodo memberikan bonus besar kepada atlet dan pelatih Indonesia di Olimpiade Tokyo. Bonus itu menunjukkan Presiden memiliki perhatian spesial atas prestasi atlet kita di kancah dunia.
Apresiasi tinggi Pemerintah kepada atlet dan pelatih karena mereka bisa menembus Olimpiade, apalagi bisa meraih medali. Tak banyak atlet yang bisa lolos dari kualifikasi Olimpiade.
Pasti sebelum perhelatan olahraga terbesar di dunia itu, Greysia/Apriyani dan kawan-kawan telah menjalani latihan yang sangat berat, termasuk latihan fisik.
Pasti mereka merasakan kelelahan yang luar biasa saat latihan. Dari proses itu, mereka tidak mengeluh. Coba simak kata-kata Ari Subarkah, Pelatih Fisik Tim Ganda Putri PBSI, misalnya.
"Setiap hari habis latihan program inti, mereka sampai jatuh bangun, istilahnya nafas cuma sampai di tenggorokan, saking capeknya. Selesai latihan sampai terkapar dan telentang di lapangan. Adik-adik juniornya kasih tepuk tangan, kasih support, ini sangat luar biasa."
Baca juga: Renungan Harian Katolik Selasa 17 Agustus 2021: Dipanggil untuk Kemerdekaan
Maka, kita semua menganggap wajar bila bonus sekian besar diberikan kepada mereka. Kita pun tak mempermasalahkan perbedaan besarnya bonus berdasarkan prestasi yang masing-masing atlet gapai.
Saat masuk dan berada dalam dunia kerja kita menerima adanya perbedaan besarnya "take home pay" yang dibayarkan pemberi kerja. Kita seakan mengamini standard gaji, tunjangan, dan bonus berdasarkan tingkat pendidikan, lamanya masa kerja, dan jabatan kita.
Meski begitu tak bisa dipungkiri terkadang muncul juga ketidakpuasan dan gejolak tatkala apa yang kita terima tak sebanding dengan apa yang menurut kita seharusnya kita terima. Atau, di kala kita menilai adanya ketidakadilan setelah membuat perbandingan dengan apa yang diterima oleh orang lain.
Bisa dimengerti, dalam filsafat bahasa, memang adil kerap menjadi bahan perbincangan. Bukan dalam konteks etika, melainkan bahasa. Adil tidak lebih dari sebuah kata yang punya banyak arti. Adil seakan menjadi sebuah "permainan bahasa". Bukan karena adil menjadi mainan, melainkan menjadi terminologi yang tinggal dalam bahasa. Adil bisa ditafsirkan secara sepihak oleh siapa pun.
Penginjil Matius memaparkan perumpamaan Yesus tentang orang-orang upahan di kebun anggur. Cerita ini sudah kita kenal baik.
Pagi-pagi benar seorang pemilik kebun anggur menawarkan pekerjaan dengan upah sedinar sehari. Ini sesuai standard upah kala itu. Para pekerja menerima.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Selasa 17 Agustus 2021: Mengabdi Negara, Melayani Allah
Sang bos kemudian menawarkan juga kepada orang-orang lain yang menganggur pada pukul sembilan, dua belas, tiga sore, bahkan pada pukul lima sore, sejam sebelum waktu kerja berakhir. Upah yang akan dibayarkan pun sama, yakni satu dinar.
Saat pembayaran upah, ternyata gejolak ketidakpuasan muncul. Mereka yang bekerja duluan merasa diperlakukan tidak adil. Kok upahnya sama dengan yang bekerja satu jam saja. Mereka protes. Ada perasaan iri terhadap yang datang belakangan.
Cerita perumpamaan ini tentu mempunyai maksud. Setidaknya siapa pun diajak untuk menyadari bahwa keadilan tak bisa ditafsirkan secara sepihak dan dangkal untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri tanpa memperhitungkan orang lain.
Ada hal penting dari sisi lain tentang keadilan untuk direnungkan, yakni kesempatan sama bagi semua orang untuk mendapat upah. Kita beruntung bisa mendapat pekerjaan dan upah. Dengan itu relatif ada jaminan untuk hidup.
Tetapi kita pun semestinya menoleh untuk melihat ada begitu banyak orang yang tak seberuntung kita. Ada yang masih menganggur. Ada yang tak tahu harus makan apa besok. Mereka pun butuh "satu dinar" untuk hidupnya sehari.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Minggu 15 Agustus 2021: Sebab Ia Telah Memperhatikan Kerendahan Hamba-Nya
Lebih jauh dan mendasar, perumpamaan Yesus berbicara perihal Kerajaan Sorga. Dalam konteks ini, kita diajak mulai melatih diri untuk berpola pikir dan berlaku hidup bak dalam Kerajaan Sorga mulai dari sekarang.
Di dalam Kerajaan Sorga, upah dan bonus memang sama besar bagi siapa pun. Semua menerima upah dan bonus kebahagiaan yang sama sempurna dari kemurahan hati Allah yang tak pernah membeda-bedakan kita. Ini keadilan yang diberlakukan dalam Kerajaan Sorga.
Upah dan bonus dalam Kerajaan Sorga tidak diukur dengan banyak sedikitnya kerja. Bukan dibayarkan sesuai jabatan dan kedudukan kita. Tak dikenal golongan berdasarkan status, strata sosial, lamanya hidup dan berkarya. Semua diberi dan menikmati kebahagiaan abadi.
Lagian, ini pun yang sebenarnya penting untuk kita renungkan. Tuhan menawarkan kesempatan yang sama baiknya bagi siapa saja. Tawaran itu disampaikan kepada orang yang berada dalam keadaan yang berbeda-beda.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Jumat 13 Agustus 2021: Tahu Itu Salah
Maka, poinnya, kita menerima tawaran Allah dan bekerja penuh, tidak separo-separo. Upah dan bonus diberikan bagi usaha dan kerja nyata kita. Apa pun kerja kita dan berapa pun tanggung jawab kita, kesepenuhan pikiran dan kesegenapan hati, itulah yang diminta Tuhan. *
Renungan harian katolik lainnya