Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Jumat 6 Agustus 2021, Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya: Wajah
Beberapa waktu lalu beredar sebuah kolase foto yang memperlihatkan wajah Raja Firaun, bernama Tutankhamun hasil rekonstruksi para peneliti.
Renungan Harian Katolik Jumat 6 Agustus 2021, Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya: Wajah (Markus 9:2-10)
Oleh: RD. Fransiskus Aliandu
POS-KUPANG.COM - Beberapa waktu lalu beredar sebuah kolase foto yang memperlihatkan wajah Raja Firaun, bernama Tutankhamun hasil rekonstruksi para peneliti. Foto di sebelahnya, terdapat wajah Presiden Joko Widodo. Diklaim, replika wajah Raja Firaun dan Jokowi memiliki kemiripan.
Dari hasil penelusuran, ternyata foto yang beredar itu adalah hasil editan. Foto wajah Presiden Jokowi dipotong (crop) dan dilekatkan ke postingan asli, dan diedit sedemikian rupa sehingga tampak seperti foto asli.
Wajah adalah lambang identitas diri seseorang. Orang dikenal dari wajahnya. Wajah juga punya arti bagi seseorang, karena kadang orang dihargai atau dinilai karena wajahnya.
Maka tak heran banyak orang berusaha rawat wajahnya, merias untuk mempercantik wajahnya. Bahkan ada yang mau mengubah wajahnya agar kian cantik, sehingga membuatnya semakin PD dan dikagumi.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Kamis 5 Agustus 2021: Tetap Cinta Walau Digoda
Meski begitu, perubahan wajah seseorang yang diikuti perubahan kepercayaan diri dan penerimaan penghargaan toh tidak serta merta berarti perubahan identitas dan eksistensi pribadi seseorang. Wajah boleh saja berubah, tapi belum tentu jati diri, kepribadian ikut berubah.
Dalam Injil dikisahkan bahwa Yesus “berubah wajah”. Perubahan wajah Yesus ini mengandung arti adanya perubahan identitas dan eksistensi pribadi Yesus. Mengapa?
Yesus nampak lain dari biasanya. Ia memiliki wajah lain dari yang dimiliki-Nya selama hidup sebelumnya. Ia berubah wajah dari wajah manusiawi menjadi wajah ilahi.
Perubahan ini pun diikuti oleh perubahan pakaian yang dikenakan-Nya, yang menjadi “sangat putih berkilat-kilat. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Selasa 3 Agustus 2021: Tuhan Datang
Dalam kitab-kitab Injil, selain kisah berubahnya wajah Yesus di gunung, kita juga bisa temukan sejumlah kisah tentang penampakan Yesus yang sudah bangkit, yang tampil dengan wajah yang telah berubah. Yesus digambarkan sebagai pribadi yang bertubuh dan berwajah mulia.
Makanya, dalam kisah-kisah penampakan itu, juga digambarkan bahwa umumnya orang-orang tidak kenal Dia lagi. Bahkan para rasul sebagai orang-orang yang paling dekat dengan Dia pun, tidak kenal Dia lagi. Ada rasul yang mengira Dia penjaga kubur. Petrus mengira Dia hantu. Dan Thomas belum percaya kalau belum memasukkan jarinya ke dalam bekas luka-Nya.
Pertanyaan penting untuk bahan permenungan kita adalah mengapa Yesus berubah wajah? Apa makna dan maksud perubahan wajah (transfigurasi) Yesus bagi kita?
Saat pembaptisan-Nya, Yesus sudah diperkenalkan sebagai Putera Allah, “Inilah Putera kesayangan-Ku. Ia berkenan di hati-Ku”.
Begitupun, sejak tampil di muka umum, baik melalui ajaran maupun perbuatan-perbuatan-Nya, Yesus selalu memperkenalkan Allah, Bapa-Nya, serta membentuk sebuah umat baru.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Selasa 3 Agustus 2021: Rasa Takut
Tetapi karena selama itu identitas-Nya tetap tidak ditangkap oleh mereka yang mengikuti-Nya, maka Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagaimana adanya. Bahwa Ia adalah Allah yang menjelma menjadi manusia. Ia berubah wajah, agar keilahian-Nya nampak dan ditangkap oleh kita manusia.
Dengan perubahan itu, Yesus ingin menunjukkan identitas-Nya yang sebenarnya bahwa Ia adalah Anak Allah, anak Allah dalam arti kata asli, bukan dalam arti kiasan.
Sebagai Anak Allah, Ia dikasihi Allah secara istimewa dan Ia harus didengarkan. “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia”. Inilah inti iman yang hendak disampaikan melalui perubahan wajah Yesus.
Paling pokok bagi kita adalah bahwa Yesus itu Putera Allah dan Ia harus didengarkan. Kita harus percaya kepada Yesus dan kita harus mendengarkan Yesus.
Hanya ’mendengarkan’, rupanya merupakan persoalan tersendiri bagi kita.
Pertama, karena kita terbiasa lebih banyak berbicara daripada mendengarkan. Atau, setidak-tidaknya yang kita saksikan kenyataan ini, lebih banyak orang yang tampil berbicara daripada mendengarkan.
Baca juga: Renungan Harian Katolik, Senin 27 Januari 2020 : Focus Berbuat Baik
Kita nonton di televisi, muncul begitu banyak komentator olahraga yang begitu pandai memberi ulasan dan menilai salah strategi pelatih kawakan.
Kedua, karena de facto kita sering dikibuli. Apa yang kita dengar ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya. Yang kita saksikan justru terjadinya rumpang nilai, yaitu ketidakserasian antara kata dan perbuatan pada diri orang yang kita dengarkan.
Ketiga, karena kita terbiasa dan lebih senang hidup dalam kebisingan, kesibukan, hiruk-pikuk daripada dalam keheningan.
Maka, apakah kita sungguh mau mendengarkan Tuhan dan melakukan apa yang Dia minta kita lakukan? Bagaimana caranya kita mendengarkan Tuhan?
Kitab Kejadian memperlihatkan kepada kita bahwa karena Abraham mendengarkan Tuhan, maka Tuhan bersabda begini, “Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri … karena engkau mendengarkan sabda-Ku, Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan pasir di tepi laut”.
Dengan ini terungkap sangat jelas bahwa ada jaminan bahwa kita akan mendapat berkat berlimpah-limpah bila kita mendengarkan Tuhan.
Mengenai bagaimana bisa ‘mendengarkan’, kalimat awal Injil hari ini tercatat begini, “... Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes, dan bersama-sama dengan mereka, Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendirian saja”.
Penginjil Markus menegaskan bahwa Yesus bersama ketiga pengikut-Nya itu sendirian saja di sebuah gunung yang tinggi.
Jadi, kesendirian yang didukung lokasi yang khusus memungkinkan terjadinya perubahan wajah Yesus. Dalam kesendirian di tempat yang khusus dan sepi-lah, terdengar kata-kata ajakan untuk mendengarkan Yesus. Apa artinya ini bagi kita?
Bisa jadi orang menyangka bahwa karena Tuhan menampakkan kemuliaan-Nya, maka pasti tempat dan suasananya adalah kemewahan, dalam wajah yang penuh glamour.
Padahal kisah Injil menunjukkan dengan jelas bahwa kita bisa mendengarkan Tuhan dalam kesendirian bersama Tuhan.*