Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Kamis 29 Juli 2021: Jaring
Tuhan Yesus menyatakan bahwa Kerajaan Sorga laksana pukat. Orang sering menyebut kata lain dari pukat adalah jaring.
Renungan Harian Katolik Kamis 29 Juli 2021: Jaring (Mat 13: 47-53)
Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Tuhan Yesus menyatakan bahwa Kerajaan Sorga laksana pukat. Orang sering menyebut kata lain dari pukat adalah jaring.
Pukat atau jaring itu merupakan rajutan atau anyaman dari tali yang membentu lubang-lubang berukuran kecil yang membentuk satu kesatuan.
Dalam bahasa Inggris kata jaring adalah “net”. Dari kata jaring kita mengenal kata “jejaring” yang dalam bahasa Inggris disebut “networking".
Dalam sebuah organisasi misalnya, jaringan adalah suatu sistem yang terdiri dari banyak elemen yang di dalamnya saling berhubungan, saling komunikasi satu sama lain.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Kamis 29 Juli 2021: Pukat
Fungsi jaring atau pukat adalah menangkap dan mengumpulkan. Mengumpulkan sama dengan mempersatukan. Melalui pukat yang dilabuhkan atau ditebar di laut, berbagai jenis ikan ditangkap, dikumpulkan, disatukan.
Memang di dalam perumpamaan Yesus tentang pukat, kiblat akhirnya adalah pengadilan terakhir bagi semua manusia setelah dunia ini berlalu.
Manusia disimbolkan dalam perumpanaan itu sebagai “ikan” yang menjalani proses pemisahan pada waktunya.
Proses pemisahan itupun dilakukan setelah semua ikan dikumpulkan di tepi pantai. Pemisahan itu dilakukan setelah proses mengumpulkan semua ikan untuk “diteliti” mana ikan yang baik dan mana ikan yang kurang baik. Ikan yang baik akan dikumpulkan dalam satu tempat (pasu). Ikan yang kurang baik dibuang.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Kamis 29 Juli 2021: Amici Dei: Sahabat Allah
Proses pemisahan itu mengandung makna pemilahan antara yang baik dan yang jahat. Kebaikan dan kejahatan itu merepresentasi seluruh proses ziarah hidup manusia selama di dunia.
Meski perumpamaan ini terdengar “menakutkan” karena sangat menentukan nasib akhir hidup manusia, namun kita sadar bahwa proses pemisahan itu telah melalui sebuah “kebersamaan” dalam jaring atau pukat yang mempersatukan.
Di dalam jaring atau pukat itu, semua jenis ikan berada bersama, saling memandang, mungkin saling berkomunikasi, mungkin ada yang kaget karena bertemu dengan orang yang selama di dunia sangat ia benci, mungkin begitu ia musuhi karena hidupnya yang jahat dan barangkali selama di dunia ia hindari saat berpapasan atau bertemu.
Tetapi ketika berada bersama-sama dalam satu jaring atau pukat, tidak ada lagi ruang penolakan atau pengucilan. Anda mungkin menyelipkan diri di antara ikan-ikan yang lain untuk menyembunyikan diri, tapi itu hanya berlangsung momental saja.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Rabu 28 Juli 2021: Harta Terpendam
Anda mungkin meliuk ke sana-kemari, lincah berpindah di antara celah kebersamaan tapi Anda sadar bahwa tidak mungkin ada kesempatan lagi untuk melarikan diri.
Anda terkurung dalam sebuah ruang bersama yang tidak mampu Anda hindari lagi. Anda terlalu lemah untuk melawan kemahakuasaan Tuhan yang memiliki tenaga rohani untuk menyatukan semuanya.
Melalui pelukisan tersebut, saya hendak mengajak Anda untuk memperhatikan makna jaring sebagai sarana untuk mengumpulkan dalam konteks keberagaman dan kebhinekaan kita. Makna pukat itu mendapatkan perluasaannya dalam konteks hidup sosial.
Dalam bahasa Biblis, keberagaman dan kebhinekaan itu adalah perluasan dari keunikan dan kekhasan manusia yang berbeda satu sama lain sesuai rencana Tuhan atas diri kita masing-masing di atas dunia ini.
Keberagaman dan kebhinekaan sebagai ungkapan lebih jauh dari keunikan dan kekhasaan setiap orang sebagai karya Allah mesti mendapatkan ruang pemaknaannya dalam konteks hidup bersama di tengah dunia sosial ini.
Ketika semua ikan itu dikumpulkan dalam pasu, serentak saat itu juga teretas relasi, hubungan dan tumbuh komunikasi satu sama lain. Proses mengumpulkan berarti pula mulai menghubungkan satu sama lain.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Rabu 28 Juli 2021: Mutiara Berharga
Proses menghubungkan satu sama lain itu memungkinkan terbentuknya jejaring meski dalam perumpamaan itu berarti terjadi pemisahan. Tapi dalam konteks relasi sosial, mulai terjalin jejaring antara yang berbeda dan yang akan terpisah.
Makna jaring atau pukat ini kita alami secara konkret dalam gereja. Keterbukaan adalah ciri utama eksistensi gereja di tengah dunia.
Seperti pukat yang ditebar di tengah laut terbuka menerima semua jenis ikan yang masuk, demikian pun gereja membuka diri sebagai representasi dari Tuhan yang terbuka menerima semua orang, entah orang baik atau orang jahat.
Gereja dengan tangan terbuka menerima semua orang yang datang kepadanya. Gereja tidak pernah mengambil peran seperti orang-orang duniawi yang begitu mudah kita memisahkan satu dengan yang lain dengan saling membedakan.
Memang kita harus mengakui betapa sulit mengumpulkan yang berbeda dalam sebuah ruang yang sama. Bahkan, perbedaan sering dianggap sebagai salah satu potensi ancaman bagi segelintir orang yang kerdil.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Senin 26 Juli 2021, Pesta Santo Yakim dan Santa Anna: Bijaksana
Maka, di mata mereka yang dangkal ini, yang berbeda harus dibungkam, dibinasakan. Padahal yang berbeda itu adalah unik, khas dan menjadi rahmat untuk saling memerkaya dari kelebihannya masing-masing walau kelebihan itu bertakhta di atas keterbatasan.
Dalam konteks gereja yang hidup di negara Indonesia, perbedaan itu merupakan sebuah kenyataan yang niscaya. Perbedaan justru menjadi kekayaan yang mesti diterima dan bukannya sebuah keburukan yang harus dilenyapkan.
Orang yang menolak perbedaan adalah orang yang tidak sadar akan diri dan kehilangan kewarasannya sebagai manusia.
Kit hidup dalam kebhinnekaan namun tetap disatukan dalam ketunggalan. Itulah gereja dan Indonesia. Kita berbeda namun tetap satu.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Jumat 23 Juli 2021: Tanah Subur
Kita mesti membangun jejaring di antara kita satu sama lain agar perbedaan masing-masing kita disinergikan untuk membangun sebuah keberasamaan hidup yang tetap saling menghargai dan menghormati realitas kebhinekaan.
Kata-kata arif bijaksana dalam bahasa Sansekerta warisan Mpu Tantular menginsafkan kita di negeri ini, “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” Beraneka tapi satu, tidak ada kewajiban, aturan, kebenaran yang mendua (bdk.24hoursworship.com).
Mari kita hidup dalam kesadaran kebhinekaan meski dalam sebuah jaring yang satu dan sama. Kita saling menerima, saling mengasihi.
Kita rela membiarkan diri kita dibentuk oleh Tuhan sebagai bagian dari proses ujian iman kita. Tuhan memproses kita melalui peristiwa hidup sehari-hari dimana kita dibentuk sesuai Tuhan kehendaki sehingga saat pengadilan terakhir nanti kita masuk dalam golongan ikan yang baik.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Selasa 20 Juli 2021: Saudara-saudari
Proses pembentukan itu butuh korban karena seperti tukang periuk membentuk bejana, kita akan mengalami proses “menyakitkan” karena ada kekuatan iblis dalam diri yang memberontak.
Tapi Tuhan adalah jaminan akhir hidup yang tidak pernah mengecewakan. *
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/pater-steph-tupeng-witin-svd.jpg)