Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Senin 12 Juli 2021: Belarasa

Mengikuti Yesus butuh komitmen yang tidak kecil. Sebuah pertaruhan diri bahkan nyawa itu niscaya.

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Pater Steph Tupeng Witin SVD 

Renungan Harian Katolik Senin 12 Juli 2021: Belarasa (Mat 10: 34-11:1)

Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD

POS-KUPANG.COM - “Barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya” (Mat 10:42).

Yesus menyampaikan Sabda ini pada bagian akhir wejangan perutusannya. Bagian akhir bukannya tidak penting. Justru bagian ini menjadi ungkapan konkret seorang pengikut Kristus yang sejati.

Mengikuti Yesus butuh komitmen yang tidak kecil. Sebuah pertaruhan diri bahkan nyawa itu niscaya.

Sabda tersebut menegaskan salah satu komitmen pengikut Yesus yaitu berbela rasa (compassion). Selalu merasa tergerak hati untuk menjadi bagian dari hidup orang lain.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Senin 12 Juli 2021: Pedang

Sikap belarasa itu mengharuskan kita “keluar” dari egoisme dari zona nyaman dan mengarahkan segenap kekuatan diri kepada orang lain.

Komitmen berbela rasa hanya terungkap jadi nyata ketika kita melakukan kontak pribadi. Belarasa merupakan suatu sentimen dasar moral. Ia adalah ikhwal hati manusia.

Belarasa pada tempat pertama bukanlah urusan romantisasi penderitaan manusia, bukan ideal teoretis, tetapi suatu kepekaan dasariah nurani atau suatu rasa solider.

Plato dan Aristoteles tahu bahwa elemen yang paling penting dalam pendidikan moral bukan transfer norma-norma moral, tetapi kultivasi emosi-emosi kita dan persahabatan-persahabatan kita melalui tindakan kasih.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Senin 12 Juli 2021: Barangsiapa Tidak Memikul Salibnya dan Mengikuti Aku

Komitmen kita kepada kemanusiaan dan tindakan kasih hanyalah suatu omong kosong belaka kalau kita terus hidup dalam suatu komunitas di mana kita merasa nyaman dan aman.

Hanya satu proses refleksi dan pendalaman yang konstan, satu tatapan mata analisa kemanusiaan yang kritis terhadap keadaan sosial di mana kita hidup dan bekerja, dan doa yang sejati dapat membuka mata kita kepada nasib orang miskin dan tertindas.

Mengapa kita mesti berbela rasa kepada orang lain?

Ada banyak alasan. Utama: karena Allah telah terlebih dahulu mengasihi kita. Hidup kita adalah bukti paling konkret. Allah memiliki hati yang berbela rasa dengan orang-orang kecil dan terpinggirkan.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Minggu 11 Juli 2021: Belajar dari Amos

Penting untuk menjadi jelas bahwa opsi preferensial Allah bagi orang miskin dan marjinal tidak berdasarkan penilaian-penilaian moralistik terhadap gaya hidup mereka.

Opsi preferensial Allah tersebut bukan karena mereka lebih baik dari orang-orang lain, tetapi lantaran mereka menderita.

Allah berada di pihak orang yang menderita, kendatipun konsekuensi dari pilihan ini adalah penderitaan dan kematian dari Sabda yang Menjelma, Putra-Nya sendiri.

Menurut Juan Arias dalam buku Allah Semacam Ini (1985), bagian Injil yang paling ditakuti kaum rohaniwan-rohaniwati adalah perumpamaan tentang pengadilan terakhir (Mat 25: 31-46).

Baca juga: Renungan Harian Katolik Sabtu 10 Juli 2021: Hidup yang Menginspirasi

Setelah Kekristenan berusia dua puluh abad, kita masih membawa serta cukup banyak peninggalan yang tidak enak dari legalisme Yahudi; dengan akibat, bahwa kita terus saja menempatkan keselamatan pada berbagai upacara, peraturan dan hukum atau melulu pada dimensi vertikal dan cinta akan Allah. Itulah sebabnya kita merasa tidak enak mendengar perumpamaan tentang pengadilan terakhir itu.

Teks ini berbicara tentang tindakan belarasa. Tuhan tidak pernah tanya praktik ritual di rumah ibadat, tapi apa yang telah kamu lakukan kepada sesama yang menderita.

Dalam perumpamaan ini Yesus menunjukkan dengan sangat jelas, siapa yang disebut Kristen, dan siapa tidak; siapa yang diselamatkan, siapa yang tidak diselamatkan.

Ada yang katakan bahwa ini perumpamaan atheis: Pada hari akhirat setiap orang tahu bahwa mereka sebenarnya tidak mengenal Kristus. Mereka bertanya: “Tuhan, kapan kami melihat Engkau?”

Baca juga: Renungan Harian Katolik Jumat 9 Juli 2021: Domba Bisa Kalahkan Serigala

Pada saat yang sangat penting itu, satu pedoman akan berlaku untuk semua orang: yang beriman dan yang tak beriman.

“Karena jauh di dalam relung-relung batinnya, sebelum dipengaruhi oleh wahyu apa pun dari luar, setiap orang menyimpan hukum cinta kasih terhadap sesamanya, serta dorongan untuk berbuat baik”, tulis Juan Arias dalam buku Allah Semacam Ini (1985).

Saat pandemi ini, kita saksikan bangkitnya gerakan solidaritas dan belarasa yang dahsyat di kalangan masyarakat sipil.

Ketika banyak sesama menderita tertimpa bencana virus mematikan ini, banyak orang membentuk dapur umum, memasak dan mengantar makanan ke saudara-saudara yang melakukan karantina.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Kamis 8 Juli 2021: Bukan Komersialisasi Pewartaan

Tindakan menghadirkan optimisme bahwa kasih begitu hidup di tengah kita. Kita peduli dan tidak kehilangan solidaritas meski hidup kita juga susah dan menderita.

Mari kita peduli dan solider dengan orang lain. Terutama yang menderita. Mereka mungkin tidak berteriak meminta kita. Tapi hati kita harus selalu tergerak dan digerakkan oleh penderitaan mereka yang tanpa kata-kata itu. belarasa, solidaritas dan cinta kasih adalah vitamin yang menambah imunitas jiwa menghadapi penderitaan.

Mari kita jaga tetangga kamar kita. Jangan sampai tetangga kamar kita sudah meninggal beberapa hari, barulah kita tergesa mencarinya. *

Renungan harian lainnya

BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved