Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Senin 5 Juli 2021: Percaya

Kita diandalkan oleh orang, karena kita dipercayai. Persahabatan atau pekerjaan menjadi berantakan atau bubar, karena pudar atau lenyapnya kepercayaan

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
RD. Fransiskus Aliandu 

Renungan Harian Katolik Senin 5 Juli 2021: Percaya (Matius 9:18-26)

Oleh: RD. Fransiskus Aliandu

POS-KUPANG.COM - Dalam pengalaman hidup sehari-hari, terbiasa kita dengan namanya "percaya". Di mana pun kita sering berada dalam situasi di mana ada tuntutan akan adanya kepercayaan.

Kita diandalkan oleh orang, karena kita dipercayai. Persahabatan atau pekerjaan menjadi berantakan atau bubar, karena pudar atau lenyapnya kepercayaan.

Percaya itu memaksudkan kapasitas manusia yang memungkinkan relasi lebih dalam. Jadi, pada pemahaman awali, percaya mengatakan relasi.  Karenanya, percaya tidak bisa disempitkan sebatas kata-kata atau hanya dalam rumusan kata. Juga tak mungkin percaya merupakan sebuah disposisi di mana orang meletakkan dirinya secara buta kepada yang tidak dikenalinya.

Relasi tentu mengungkapkan sebuah peziarahan, perjalanan. Di dalamnya ada pengalaman jatuh bangun, naik turun, kadang lurus tapi tak jarang berliku-liku, tak selamanya terang benderang karena ada kalanya tercebur dalam kubangan kegelapan.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Senin 5 Juli 2021: Iman, Amin, Aman

Ketika percaya itu merupakan sebuah relasi, dan relasi itu berlangsung dalam sebuah peziarahan, maka relasi kita dengan Tuhan tentu akan menentukan kepercayaan kita kepada-Nya. Oleh relasi, kita menjadi lebih mengenal Tuhan dan meletakkan diri kita kepada-Nya.

Namun relasi kita dengan Tuhan pun tidak serta merta mudah dan jelas. Tuhan dirasa kerap tidak hadir saat kita sendirian. Saat kita gagal dan jatuh, Tuhan sepertinya tidak tampak dalam pandangan mata kita.

Ibarat seorang anak yang memiliki pengalaman kurang baik dengan ayah atau ibunya, kerap berada dalam kesulitan untuk percaya terhadap kebenaran nasihat dan kata-kata orang tuanya. Atau, jika ada pengalaman sangat pahit yang dialami seseorang, cukup sering membuatnya merasa terganggu kepercayaannya pada orang lain.

Penginjil Matius menampilkan dua kisah yang bisa memberi refleksi menarik bagi kita dalam hal "percaya".

Baca juga: Renungan Harian Katolik Minggu 4 Juli 2021: Terbuka

Yang pertama, kepala rumah ibadat yang datang menyembah Yesus dan memohon agar meletakkan tangan atas anaknya perempuan yang baru saja meninggal. "Anakku perempuan baru saja meninggal, tetapi datanglah, letakkanlah tangan-Mu atasnya, maka ia akan hidup" (Mat 9:18).

Yang kedua seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan. Ia mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jumbai jubah Yesus. Karena katanya dalam hati, "Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh" (Mat 9:21).

Keduanya bukanlah dari kalangan para murid atau orang yang telah mengikuti dan mempunyai relasi langsung dengan Yesus. Tapi keduanya mendekati Yesus dan meletakkan harapannya pada Yesus.

Mereka justru percaya pada Yesus. Tak sebatas kata-kata. Tetapi dengan seluruh dirinya, being-nya, ada-nya, untuk dimiliki, dipeluk, dijamah, dirangkul, disembuhkan oleh Yesus.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Sabtu 3 Juli 2021: Ya Tuhanku dan Allahku

Mereka berdua barangkali hanya mengandalkan pengalaman mereka. Dari apa yang mereka dengar tentang Yesus; dari apa yang mereka lihat Yesus lakukan terhadap orang lain.

Mungkin saja ada yang bercerita pada mereka bahwa Yesus itu bukan manusia biasa. Dia berkuasa ilahi, bisa menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang mati.

Lebih jauh dari itu, pengalaman keterpurukan, berada dalam jurang kesesakan secara tidak langsung telah merenda jalinan dan ikatan relasi mereka dengan Yesus. Relasi hati itulah yang menggugah dan mendorong yang satu datang sujud memohon pertolongan dan memantapkan hati yang lain untuk cukup menjamah jumbai jubah-Nya saja.

Keduanya adalah sosok-sosok percaya itu. Keduanya menaruh percaya bukan terdorong oleh keberhasilan dan perayaan atau selebrasi yang bergelimang pujian dan aneka ucapan "salut". Tapi oleh situasi sulit, tak lagi bisa mengandalkan kekuatannya sendiri dan pada siapa pun.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Sabtu 3 Juli 2021, Pesta St. Thomas, Rasul: Kebimbangan

Dalam situasi sulit, pahit dan tanpa harapan, tentu ada pergulatan batin dalam diri mereka yang luar biasa. Tetap bertahan dengan dirinya, pada kekuatan dan kebanggan dirinya, pada being-nya, atau mengaku "kalah" dan mengarahkan hidupnya pada Tuhan.

Secara nyata, mereka mengakui "kalah" di hadapan Tuhan. Tapi kalah di hadapan Tuhan berarti memenangkan Tuhan bagi dirinya. Dengan kalah terhadap dirinya, mereka memiliki relasi dengan Tuhan, ada bersama Tuhan dan tinggal bersama-Nya.

Kita sudah mempunyai relasi dengan Tuhan, telah ada bersama-Nya. Tapi tak bisa dipungkiri dalam peziarahan percayanya kita, ada momen-momen di mana Tuhan tidak kelihatan, Tuhan seakan lenyap, bahkan "mati".

Pelajaran paling berharga dari percayanya sosok-sosok kepala rumah ibadat dan perempuan itu, dalam keterpurukan, pergulatan batin, peziarahan relasi kita dengan Tuhan tak boleh berhenti.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Jumat 2 Juli 2021: Allah Bebas Memilih

Karena relasi itulah yang akan membuat telinga kita mendengar Tuhan berbicara dari dalam "badai", mata kita melihat wajah-Nya di balik awan kesulitan, tangan-Nya memeluk kita dalam guncangan persoalan.

Percaya itu perkara relasi yang intens dan mendalam dengan Tuhan. Di dalamnya, kita tetap mendengar kata-kata-Nya, "Teguhkanlah hatimu, hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau" (Mat 9:22).*

Renungan Harian Katolik lainnya

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved