SBY Curhat ke Orang-Orang Dekatnya, Bertahun-Tahun Kami Selalu Bersama Tapi Sekarang Sendirian, Apa?

Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden ke-6 Indonesia seakan menuangkan semua perasaannya pada moment Idul Fitri 1442 Hijriyah tahun 2021 ini.

Editor: Frans Krowin
Tribunnews.com
Susilo Bambang Yudhoyono saat bersama istri, Ani Yudhoyono 

POS-KUPANG.COM - Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden ke-6 Indonesia seakan menuangkan semua perasaannya pada moment Idul Fitri 1442 Hijriyah tahun 2021 ini.

Dihadapan orang-orang dekatnya, SBY mengungkapkan bahwa sudah dua kali Idul Fitri, ia melewatinya seorang diri. Tak ada lagi istri tercinta, Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono berada di dekatnya.

"Sudah dua kali Idul fitri ini saya melewatinya tanpa istri tercinta."

Mendiang Ibu Negara ini diketahui wafat pada 1 Juni 2019 di National University Hospital, Singapura karena sakit.

SBY mengatakan, perayaan Lebaran tahun ini merupakan momen terberat yang pernah ia rasakan.

Ia pun sudah tak merasakan lagi momen-momen indah bersama sang istri tercinta.

"Hal yang indah begitu kini tak terjadi. Hidup saya tak akan pernah sama lagi," kata SBY.

Pada hari pertama Idulftri, Kamis 13 Mei 2021, SBY melaksanakan Salat Ied di depan pendopo yang kini menjadi Lavani Sports Center, Cikeas, Bogor.

Ketua Mejelis Tinggi Partai Demokrat ini menunaikan salat bersama keluarga, staf pribadi, serta pelatih dan atlet bola voli Lavani dengan protokol kesehatan yang ketat.

Setelah itu, SBY bersama keluarga berziarah ke makam almarhumah Ani Yudhoyono di Taman Makam Pahlawan Nasional, Kalibata, Jakarta Selatan.

Baca juga: Anies Baswedan Tebar Pesona Dari Kandang PDIP Lalu Ke Demokrat, Gepeng Kecewa Lalu Singgung SBY

Baca juga: Viral Foto Jokowi Tinjau Para Ibu Tanam Padi, Mantan Menpora Era SBY Roy Suryo: Bocor di Belakang

Saat memimpin doa, SBY memohon ketenangan dan kedamaian bagi sang istri.

“Begitu dalamnya doa dan permohonan SBY kepada Yang Maha Kuasa untuk almarhumah yang sangat disayanginya, yang mendengarkan pun ikut larut dalam duka yang mendalam,” tulis Staf Pribadi SBY, Ossy Dermawan, dalam keterangannya seperti dikutip dari lebaran-tanpa-istri-tercinta-sby-hidup-saya-tak-akan-pernah-sama-lagi">Kompas.com.

Setelah berziarah, SBY dan keluarga mengunjungi kediaman Ibu Sarwo Edhie Wibowo, Ibunda Ani Yudhoyono, di Cijantung, Jakarta Timur.

SBY turut didampingi putra sulungnya, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan istri, Annisa Larasati Pohan.

Kemudian, Edhie Baskoro Yudhoyono beserta istrinya, Aliya Rajasa, dan seluruh cucu SBY.

Momen ini pun turut dibagikan putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam akun Instagram miliknya.

Kebenaran Biasanya Datang Terakhir

Beberapa waktu lalu, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merilis video podcast berjudul ‘Kebenaran dan Keadilan Datangnya Sering lambat, Tapi Pasti.’

Dalam video podcast itu, SBY menyinggung tentang perbuatan dan perlakuan sejumlah "sahabat" yang sangat melukai hatinya.

Video podcast itu diposting di akun SBY di sejumlah platform media sosial, baik Facebook, Instragram dan Youtube, Kamis 18 Maret 2021.  

SBY mengatakan dirinya berkontemplasi dalam keheningan alam untuk mencari hikmah dari cobaan baru yang ia alami.

Kepada Sang Pencipta, SBY mengadu, mengapa cobaan ini mesti datang seperti ini.

“Perbuatan dan perlakuan sejumlah "sahabat" yang sangat melukaiku. Juga melukai orang-orang yang setia, yang mencintai dan berjuang di sebuah perserikatan partai politik, yang selama 20 tahun aku juga ikut bersamanya.

Sesuatu yang tak pernah kubayangkan bahwa itu bakal terjadi. Sesuatu yang menabrak akal sehat, etika dan budi pekerti. Juga bertentangan dengan sifat keperwiraan dan kekesatriaan,” ucap SBY.

Baca juga: Gejolak PKB Memanas, Posisi Cak Imin Mulai Goyah, Apakah PKB Berakhir Seperti Drama SBY & Demokrat?

Baca juga: Partai Demokrat Hadapi Prahara Baru, SBY dan AHY Didesak Segera Minta Maaf Ke Presiden, Lho Ada Apa?

Berikut isi  lengkap video podcast SBY:

KEBENARAN & KEADILAN DATANGNYA SERING LAMBAT, TAPI PASTI

Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono

Malam itu Cikeas bagai kota mati. Atau seperti dusun kecil yang terbentang di kaki bukit yang sunyi.

Suasana sungguh mencekam, hening dan sepi.

Ketika kubuka jendela di dekat sajadah mendiang istriku, yang sedikit lusuh namun menyimpan kenangan yang teramat dalam, yang kini menjadi teman setiaku ketika aku bersujud ke pangkuan Illahi, di kejauhan kupandangi langit yang pekat kehitaman.

Tak ada cahaya rembulan atau gemerlapnya bintang-bintang. Rintik hujan yang turun sejak senja haripun kini telah pergi. Tinggal derak pohon dan dedaunan yang terdengar lirih berdesir... pertanda angin malam masih menyapa dan menghampiri.

Kututup kembali jendela tua di kamarku, dan aku mencoba untuk merebahkan diriku di ranjang, mengingat jam dinding telah menunjukkan angka dua belas. Namun, entah mengapa, sulit sekali memejamkan kedua mataku. Hatiku terjaga, pikiranku mengembara.

Aku bangkit kembali dari tempat tidurku, dan duduk di kursi coklat tua tepat di depan televisi lamaku. Sepertinya, aku harus menata hati dan pikiranku yang tiba-tiba terbang ke mana-mana.

Nampaknya pula aku harus bertafakur, berkontemplasi, seperti yang sering kulakukan di sepanjang perjalanan hidupku. Terutama ketika aku tengah menghadapi cobaan dan ujian Tuhan.

Di keheningan malam itulah, aku berkontemplasi untuk mencari hikmah dari cobaan baru yang kualami. Dalam kekuatan iman yang kumiliki, aku bertanya kepada Sang Pencipta, juga mengadu, mengapa cobaan ini mesti datang seperti ini.

Perbuatan dan perlakuan sejumlah "sahabat" yang sangat melukaiku. Juga melukai orang-orang yang setia, yang mencintai dan berjuang di sebuah perserikatan partai politik, yang selama 20 tahun aku juga ikut bersamanya.

Sesuatu yang tak pernah kubayangkan bahwa itu bakal terjadi. Sesuatu yang menabrak akal sehat, etika dan budi pekerti. Juga bertentangan dengan sifat keperwiraan dan kekesatriaan.

Sebenarnya, aku tak hendak meratap, atau meminta-minta kepada Allah di luar yang seharusnya kumohonkan kepadaNya. Aku anak desa yang dibesarkan di tanah Pacitan, yang ketika aku remaja penuh dengan tantangan, baik alam maupun kehidupan.

Masa laluku jauh dari kecukupan dan kemudahan. Aku kerap terbanting dalam duka dan nestapa, meski sekejappun tak pernah kufur dari rasa syukur. Justru dalam usiaku yang memasuki tujuh dasawarsa ini, aku sering mengalami kesulitan bagaimana caraku berterima kasih kepada Sang Khaliq, yang telah memberiku begitu banyak berkah dan anugerah.

Dalam kekhusyukan tafakur yang aku lakukan, tiba-tiba aku terlibat dalam percakapan di lubuk hatiku yang paling dalam. Tentu aku tidak mampu untuk mengerti dan memahami apakah dialog dalam bathinku ini sebuah tuntunan Illahi.

Atau Allah tengah membukakan pintu kalbuku, dan memintaku untuk menggunakan semua yang telah diberikan kepadaku ~ akal, intuisi dan keyakinan yang kumiliki, dan yang terus aku asah sepanjang perjalanan hidupku.

Dialog dan percakapan bathinpun segera berlangsung. Tak ada emosi, tak ada kegaduhan dan tak ada pula fitnah serta pertengkaran. Teduh, tulus dan jujur...

"Kenapa kau harus bersedih? Tidakkah cobaan dan ujian begini telah engkau alami berpuluh-puluh kali. Aku tahu, hari-harimu memang sungguh berat dan seolah awan hitam menyelimuti hidupmu. Aku tahu di usiamu yang telah memasuki masa senja ini, engkau tak pernah membayangkan bahwa hal begini bakal terjadi. Hatimu pasti luka, sedih dan terhina. Betapa partai politik yang kau gagas berdirinya, serta pernah kau pimpin dan besarkan, kini harus mendapatkan perlakuan seperti ini. Sesuatu yang ketika kuasa ada dalam dirimu, ada dalam tanganmu, perlakuan tak terpuji seperti itu tak pernah kau lakukan. Tapi, itulah hidup. Itulah takdir. Itulah dunia kita. Namun, kau tak perlu berkecil hati. Tidakkah kau telah melalui berbagai cobaan dan ujian, dan kau mampu mengatasinya? Ingat bersama kesukaran ada kemudahan. Setiap masalah ada solusinya"

Kuyakini ini tuntunan yang pertama.

Aku masih khusyuk dalam perenungan diri. Dialog dalam bathinku yang sunyi terus berlangsung. Bisikan nurani juga terus berlanjut...

"Bagaimana dan langkah seperti apa yang patut engkau lakukan? Kalau itu yang kau tanyakan, sebenarnya kau telah menemukan jawabannya. Tidakkah para pemimpin partai yang tengah diobok-obok sekarang ini telah berketetapan hati untuk berjuang, guna mempertahankan kedaulatan, kehormatan dan eksistensi perserikatan yang sama-sama kalian cintai. Langkahmu sudah benar. Itu misi yang suci. Itu juga tanggung jawab terhadap jutaan anggota partai yang sangat tidak adil jika mereka kehilangan masa depannya. Apalagi kau sendiri telah mengatakan bahwa misi suci itu hendak dilaksanakan secara damai, berdasarkan konstitusi dan merujuk pada pranata hukum yang berlaku. Itulah jalan yang insya Allah akan senantiasa dirahmati Tuhan. Betapapun besarnya amarah kalian, kau memilih untuk tidak memerangi kemungkaran dengan cara-cara yang sama mungkarnya. Sebuah akhlak dan peradaban politik yang mendidik dan meneduhkan"

Kuyakini, inilah tuntunan yang kedua.

Aku makin khusyuk dalam kontemplasi yang kulakukan. Malam semakin larut. Seolah bumi berhenti berputar. Desiran angin dan pepohonan di depan rumahkupun tak lagi kudengar. Aku bersyukur, karena semua pertanyaan bathin yang kusimpan dalam hati sanubariku... satu-satu telah mendapatkan jawabannya.

"Era kini, adalah era politik pasca kebenaran. Artinya, politik tanpa disertai kebenaran. Banyak fitnah, pembunuhan karakter, berita bohong serta muslihat dan tipu daya. Banyak yang berduka dan menjadi korban. Terkadang uang dan kekuasaan menyatu, menjelma menjadi kekuatan maha dahsyat yang bisa melindas dan menggilas siapa saja. Menghalalkan segala cara bukanlah sebuah aib dan pertanda matinya etika. Di tengah suasana seperti itu, engkau dan para pemimpin partai yang saat ini tengah mencari keadilan, mesti berbangga karena kalian tak tergoda untuk mudah berburuk sangka.

Menuduh sembarangan. Sifat yang tidak suudzon, adalah sifat yang terpuji. Sebagian orang memang mengatakan bahwa jika kita hidup di zaman edan, jangan bersikap dan bertindak waras karena pasti tidak mendapatkan apa-apa.

Namun, jalan seperti itu bukan yang kau pilih. Akibatnya, kau hadapi satu keniscayaan... partai yang kau sayangi sering terguncang dan tersandung-sandung. Itu konsekuensinya. Namun, jika itu yang kau pilih, yakinkan semuanya kuat, tabah dan tegar, baik lahir maupun bathin. Hidup tak seindah bulan purnama. Hidup memerlukan kesabaran dan pengorbanan".

Inilah tuntunan ketiga yang aku yakini.

Renunganku makin dalam. Aku tak ingat lagi, sudah berapa lama aku berada dalam dunia kalbu yang penuh keheningan itu. Alampun seakan menemani dan ikut berempati.

"Aku tahu ada keresahan yang ada dalam pikiranmu. Bagaimana jika hukum tidak berpihak kepada yang benar. Bagaimana pula jika ada jarak yang menganga antara hukum dan keadilan. Kau tidak berdosa jika mencemaskan itu, karena kau berpijak di alam nyata. Bukan dalam dunia legenda yang serba indah dan penuh pesona.

Namun, yakinlah bahwa di negeri ini masih banyak yang berhati mulia. Saudara-saudaramu, di pinggir-pinggir kota dan di pelosok-pelosok desa, juga ikut berempati dan berdoa. Ikut merasakan apa yang kau rasakan. Dengan semuanya ini, percayalah bahwa para pemegang palu keadilan akan mendapatkan tuntunan Tuhan untuk senantiasa bertindak adil dan benar".

Kembali kuyakini ini adalah tuntunan yang keempat.

Ketika waktu telah bergeser perlahan menyambut datangnya fajar di dini hari, aku bagai mendapatkan isyarat bahwa hampir rampung jawaban yang kumohonkan. Jawaban terhadap istikharah yang aku lakukan. Aku biasa memadukan antara olah nalar, intuisi dan tuntunan Yang Maha Kuasa. Terlalu sombong jika manusia merasa memiliki segalanya, dan tak menyadari kelemahan dan kekurangannya.

Inilah bisikan kalbu terakhir, atau yang kelima, dalam perenunganku di malam yang syahdu itu.

"Kau harus bersyukur ketika jagad raya mengamini kata-katamu bahwa tak ada jalan yang lunak untuk meraih cita-cita yang besar. Juga tak ada yang serba mudah untuk mengatasi masalah yang berat. Terhadap itu semua, sejarah telah mencatat bahwa yang kau katakan itu juga telah kau jalankan dalam perjalanan hidupmu. Saat ini kau juga tengah melakukannya lagi. Artinya kau bukan termasuk golongan yang mudah menyerah. Semangat dan tekadmu tak mudah patah.

Ini modal penting bagimu dan semua pemimpin partai, dalam meraih sukses di hadapan. Barangkali kau sering merasa lemah ketika menghadapi yang kuat. Apalagi sangat kuat. Namun, jangan lupa... jika Tuhan menakdirkan, yang lemah-lemah itu akan diangkat menjadi yang kuat. Sementara itu, barangkali kau juga merasa sangat berat untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan yang sejati.

Seolah jalan di hadapanmu tertutup. Tak ada yang terbuka. Ada jurang yang sangat dalam dan tebing tinggi yang amat terjal. Namun percayalah, hukum kehidupan mengajarkan bahwa pada akhirnya kebenaran dan keadilan akan datang. Datangnya mungkin lambat, tapi pasti"

Di penghujung bisikan nurani itu aku segera terjaga. Aku tengadahkan tanganku seraya berucap "terima kasih Tuhan". Betapa tenteram rasa hatiku ketika Sang Pencipta kuyakini telah menguatkan hati dan pikiranku.

Aku dilahirkan untuk mencintai kedamaian. Bukan pertentangan dan kekerasan. Namun, bagaimanapun aku lebih mencintai kebenaran dan keadilan. Jika kebenaran dan keadilan tegak, damailah hati kita. Damailah negara kita. Damailah dunia kita.

Ya Allah, kabulkanlah permintaanku akan hadirnya kedamaian, kebenaran dan keadilan di negeri tercinta ini. KepadaMu aku berserah diri, dan kepadaMu aku memohon pertolongan.

Cikeas, 15 Maret 2021

Berita Terkait Lainnya Ada Di Sini

(*)
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved