Sifon Dalam Budaya TTS: Hegemoni Lak-laki Terhadap Perempuan (Bagian3/Selesai)
AKADEMISI dari Universitas Multimedia Nusantara, Dr. Bherta Sri Eko M melakukan penelitian terhadap praktik Sifon
POS-KUPANG.COM - AKADEMISI dari Universitas Multimedia Nusantara, Dr. Bherta Sri Eko M melakukan penelitian terhadap praktik Sifon dalam sunat tradisional masyarakat Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan ( Kabupaten TTS). Ia memimpin tim peneliti turun ke Desa Fatukoto, Senin (25/4/2021) lalu.
Bherta melihat tradisi yang diwariskan hingga saat ini, dari perspektif komunikasi, terutama komunikasi antarbudaya.
"Karena kajian-kajian saya selama ini banyak mengembangkan kajian budaya terutama dalam konteks komunikasi antarbudaya," kata Bherta saat ditemui di Fatukoto.
Ia berniat memberikan kesadaran kepada kaum perempuan. Spirit ini yang melatarbelakangi penelitiannya.
Baca juga: Chelsea Islan: Tak Syuting
Baca juga: Mutiara Ramadan: Bermuhasyabah di Bulan Ramadan
"Bahwa di dalam ritual Sifon, meskipun mereka mematuhi, tetapi di dalam tanda kutip atas nama ritual budaya, mereka sebenarnya jadi objek. Ketika mereka menjadi objek, hubungan antara laki-laki dan perempuan ini bersifat asimetris, artinya tidak setara," tandasnya.
Bherta memaparkan, ada relasi kekuasaan yang bermain dalam konteks ritual ini, bahwa laki-laki ditempatkan dalam posisi yang lebih tinggi dari perempuan.
"Perempuan dalam hal ini sebenarnya tidak berani melawan karena mungkin saja secara budaya, perempuan kodratnya harus nurut sama laki-laki dan harus mau melayani laki-laki bagaimanapun kondisinya. Itu mindset yang ditanamkan secara budaya," tukasnya.
Dalam konteks Indonesia, lanjut Bherta, budaya patriarki sangat dominan dalam setiap level kehidupan dan diperkuat oleh ritual-ritual budaya.
Baca juga: Andi Arief Sebut Habib Rizieq Shihab Pantas Ditangguhkan Penahanannya Seperti Jumhur Hidayat Kenapa?
Baca juga: Kantor Imigrasi Maumere Luncurkan Inovasi Layanan Pengantaran Paspor
"Jadi kalau saya boleh bilang, patriarki itu sebenarnya pembedaan peran dan posisi laki-laki dan perempuan, dan itu sangat merugikan perempuan," ujar Bherta.
"Karena wanita-wanita di Indonesia ini, mohon maaf, banyak yang pendidikan dan pengetahuannya mungkin tidak cukup untuk memahami itu sehingga mereka menerima itu sebagai sesuatu yang taken for granted dan common sense dan itu sudah seharusnya dilakukan, tapi sebenarnya menjadi objek," tambah Bherta.
Ia ingin memberi kesadaran pada perempuan agar jangan mau dijadikan objek atas nama ritual budaya dan juga menyadarkan kaum laki-laki bahwa mereka harus menghargai perempuan dan perempuan harus memiliki tempat atau posisi yang sama dengan laki-laki.
"Saya pengen bahwa perempuan-perempuan itu teredukasi, mereka bisa mengerti posisi dan perannya, mereka bisa berprestasi tanpa menghilangkan kodratnya sebagai perempuan," jelasnya.
Menurut Bherta, budaya ada sisi negatif dan positifnya dan masyarakat harus tahu mana yang positif dan harus dikembangkan. Sementara yang negatif cukup dilakukan sampai di situ, tapi dijadikan sebuah pelajaran.
Ia menjelaskan, dalam konteks komunikasi ada yang namanya teori bungkam. Berawal dari teori-teori Marxis yang menjelaskan adanya dominasi orang yang lebih kuat terhadap orang yang lebih lemah.
Dalam konteks teori itu, bisa orang yang lebih kaya, orang yang lebih sukses, atau juga laki-laki. "Nah dalam konteks Sifon ini ada dominasi hegemoni laki-laki terhadap perempuan sebenarnya," tegas Bherta. (michaella uzurasi)