Tradisi Sifon dan Sunat Tradisional di Desa Fatukoto Kabupaten TTS
tidak begitu fasih berbahasa Indonesia, didampingi oleh staf imunisasi Puskesmas Kapan, Samuel D. Sunbanu sebagai penerjemah.
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Rosalina Woso
Tradisi Sifon dan Sunat Tradisional di Desa Fatukoto Kabupaten TTS
POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Sunat tradisional di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan salah satu tradisi yang diwariskan turun temurun dan masih dilakukan sampai saat ini meski dunia kesehatan sudah modern.
Untuk melakukan sunat ini, seorang dukun harus mendapat wangsit atau amanah dari pendahulunya. Jika tidak, warga biasa tidak akan berani melakukannya.
Salah satu dukun sunat tradisional di Desa Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten TTS, Yermias Banfatin mengatakan, untuk memulai proses sunat ini terlebih dahulu diawali dengan doa.
Yermias yang tidak begitu fasih berbahasa Indonesia, didampingi oleh staf imunisasi Puskesmas Kapan, Samuel D. Sunbanu sebagai penerjemah.
"Sebelum sunat berdoa dulu baru mulai. Taro tanah di kepala dan berdoa kepada Tuhan supaya tidak ada hambatan," kata Yermias melalui Samuel.
Pasien yang akan melakukan sunat, kata dia, biasanya datang bersama teman sehingga sebelum memulai, semua yang hadir berdoa terlebih dahulu.

Setelah berdoa, pasien diarahkan ke kali kecil di bagian belakang rumah sang dukun. Kali tersebut cukup terpencil dan tidak ada orang yang melewatinya sehingga cukup aman dan proses sunat tidak bisa dilihat orang.
Untuk mencapai rumah sang dukun, harus melewati sebuah kali kecil di bagian depan. Sementara kali untuk melakukan proses sunat berada di bagian belakang dan letaknya tidak begitu jauh.
Sebelum dimulai, sang pasien diminta untuk berendam di air pada kali kecil yang membentuk kolam. Setelah dirasa cukup dan kulit sudah mengerut, pasien diarahkan ke luar kolam dan duduk di atas batu yang ada di kali dan proses sunatpun dimulai.
Baca juga: Tukang Sunat tahu Perempuan yang Biasa Terima untuk Sifon Pertama
Alat yang dipakai adalah dua buah ranting bambu yang cukup kecil untuk menjepit ujung kulit lalu ditarik kemudian dipotong menggunakan silet. Kulit yang diambil kemudian ditancapkan bersama bambu yang digunakan pada pohon ara di pinggir kali tersebut.
"Kulit dengan bambu itu kita taro di sini karena kita menghargai bagian tubuh dari mereka yang sunat," jelasnya.
Setelah itu luka bekas sayatan disembur dengan sirih yang sudah dikunyah terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan infeksi. Selanjutnya luka dibalur dengan ramuan tradisional dari daun tanaman yang disebut daun gigi kambing atau bisa juga dengan daun kirinyuh (Chromolena odorata) yang juga dikunyah.
Balutan ramuan tradisional itu diperban dengan menggunakan kain atau baju yang disobek.
Sang dukun mengungkapkan, perban yang digunakan bukan dari kain kasa karena kain kasa akan lengket ketika ramuan sudah kering sehingga ketika dilepaskan akan terasa sakit.
