Fadli Zon Meradang, Kemendikbud Disusupi Ajaran Komunis, Cap Orde Baru & TNI Jadi Biang Kerok G 30 S
Saat ini kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) RI dikuliti para pengamat, termasuk politisi Partai Gerindra, Fadli Zon.
POS-KUPANG.COM, JAKARTA -- Saat ini kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) RI dikuliti para pengamat, termasuk politisi Partai Gerindra, Fadli Zon.
Ini terjadi karena lembaga tersebut dinilai telah disusupi ajaran komunis yang mempersalahkan orde baru dan TNI sebagai biang keladi peristiwa G 30 S atau Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965 silam.
Polemik ini terjadi setelah Kemendukbud menghapus mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib perguruan tinggi.
Atas fakta-fakta itulah, politisi Partai Gerindra, Fadli Zon mengungkapkan kekecewaannya.
Mantan Wakil Ketua DPR RI seakan meradang ketika menyoroti pernyataan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbud Republik Indonesia, Hilmar Farid tentang sejarang bangsa versi PKI.
Hilmar Farid, tandas Fadli Zon, menyebut Orde Baru dan TNI merupakan pihak bersalah.
Baca juga: Fadli Zon Puji Rizieq Shihab: Dari Balik Jeruji Besi, Mantan Pemimpin FPI Bisa Meraih Gelar Doktor
Baca juga: Fadli Zon Khawatirkan Nasib TMII, Dulu Diurus Keluarga Soeharto, Kini Diambil Paksa Presiden Jokowi
Sementara PKI disebut-sebut sebagai korban atas legitimasi pemerintahan Orde Baru.
Menurut Fadli Zon, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud itu mau membelokkan sejarah kelam atas kudeta dan pembantaian para Jenderal TNI pada tahun 1965 silam.
"Dlm soal PKI, Dirjen Kebudayaan ini jelas bela sejarah versi PKI, menyalahkan Orde Baru n TNI. Tak akui PKI lakukan kudeta, malah PKI sbg korban," tulis Fadli Zon pada Rabu 21 April 2021.
"Ia tdk sebut G30S/PKI tp G30S saja, Ia cb menepis penyiksaan thd para Jenderal di Lubang Buaya dg hasil visum. Ia mau belokkan sejarah," tegas Fadli Zon.
Dalam postingan, Mustofa menyebutkan bahwa polemik yang terjadi di Kemendikbud Republik Indonesia itu, tidak mengejutkan.
Pasalnya, polemik yang demikian sudah terjadi sejak lama. Hal itu merujuk pada asumsi Hilmar Farid yang menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Republik Indonesia.
Hilmar menyebut Orde Baru berdiri karena memanipulasi sejarah yang dimulai dengan G30S PKI pada 30 September 1965 silam.
Hilmar menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) hanya menjadi korban dan dijadikan Soeharto sebagai alat untuk melegitimasi pemerintahan Orde Baru menggantikan Kepemimpinan Soekarno.
"Polemik di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bagi saya, TIDAK MENGAGETKAN SAMA SEKALI," tulis Mustofa.
"Kalau enggak percaya, silahkan tonton Pandangan Bapak Hilmar Farid yang sekarang menjabat Dirjen Kebudayaan ini, tentang sejarah PKI. Simpan videonya!," jelasnya.

Mata Kuliah Pancasila Dihapus
Diberitakan sebelumnya, keputusan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang menghapus mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi disoroti Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon.
Fadli Zon menilai keputusan yang terangkum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan itu merupakan kesalahan yang sangat fatal.
"Hal ini mengingatkan kita pada hilangnya frasa 'agama' dalam draft 'Peta Jalan Pendidikan 2020-2035' yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sehingga, tak heran jika ada sejumlah kalangan menilai ini bentuk kesengajaan," ungkap Fadli Zon dalam siaran tertulis pada Selasa (20/4/2021).
Mungkin, lanjutnya, ada sejumlah ahli di Kemendikbud yang berpandangan bahwa Agama, Pancasila, dan Bahasa Indonesia, tidaklah penting.
Dirinya juga mengetahui ada pandangan bahwa pelajaran agama, menjadi beban bagi dunia pendidikan.
"Yang jelas, kesalahan ini fatal!," tegasnya.
Baca juga: Fadli Zon Sebut Kerumunan Jokowi di Maumere Persis Rizieq Shihab Relawan Langsung Serang Balik, Lho?
Baca juga: Lama Bungkam Fahri Hamzah Ungkap Permintaan Jokowi Padanya & Fadli Zon Saat Terima Penghargaan, Apa?

Merujuk Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945, dipaparkannya, dengan jelas dimandatkan oleh konstitusi bahwa, 'Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang'.
Sehingga menurutnya, pemerintah wajib menyelenggarakan sebuah 'pendidikan nasional'.
Apa yang dimaksud sebagai 'pendidikan nasional' itu ditekankan Fadli Zon bukan saja mencakup skalanya, yaitu sebuah pendidikan yang diselenggarakan secara nasional, dari Sabang sampai Merauke; namun juga mencakup sifatnya, yaitu sebuah pendidikan yang memiliki ciri kebangsaan.
"Di poin kedua inilah letak posisi vital 'agama', Pancasila serta bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan kita. Ketiganya adalah ciri dari pendidikan nasional kita," jelas Fadli Zon.
"Tanpa ketiganya, pendidikan yang diselenggarakan pemerintah jadi kehilangan sifat kenasionalannya," tegasnya.
Protes keras yang disampaikan berbagai kalangan katanya tidak merevisi konsep Peta Jalan Pendidikan.
Sebab diamatinya, frasa agama tetap tidak dicantumkan dalam dokumen Peta Jalan Pendidikan.
Padahal, sebagai produk turunan kebijakan, dokumen Peta Jalan Pendidikan yang dirumuskan oleh tim Kemendikbud semestinya merunut pada hierarki hukum dan tak boleh berbeda dari peraturan di atasnya, baik Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional maupun UUD 1945.
Seperti dalam Pasal 31 UUD 1945, baik Ayat (3) maupun (5), disebutkan secara eksplisit bahwa agama adalah unsur integral di dalam pendidikan nasional.
Karena itu, hilangnya frasa 'agama' dari Peta Jalan Pendidikan adalah sebuah peristiwa hukum dan ketatanegaraan yang serius.
Tidak masuknya frasa 'agama' dalam draf Peta Jalan Pendidikan Nasional diungkapkan Fadli Zon membuktikan dua hal.
Pertama, penyusunan roadmap ini ahistoris, karena telah mengabaikan pertimbangan historis, sosiologis, sekaligus yuridis yang mestinya hadir dalam penyusunan kebijakan pendidikan.
"Tim perumus harus diisi mereka yang benar-benar paham sejarah pendidikan nasional. Mereka yang tak tahu sejarah masa lalu, tak mungkin tahu apa yang terjadi masa kini," papar Fadli Zon.
"Mereka yang tak tahu apa yang terjadi masa kini, tak mungkin bisa merancang masa depan," jelasnya.
Kedua, penyusunan roadmap ini tidak melibatkan stakeholder terkait.
Adanya protes Muhammadiyah dan kelompok keagamaan lain adalah buktinya.
Padahal, ormas seperti Muhammadiyah, misalnya, telah menyelenggarakan kegiatan pendidikan jauh sejak sebelum Republik ini lahir.
Kasus hilangnya mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia dari PP No. 57/2021 lebih aneh lagi, karena PP tersebut seolah seperti hendak mengamandemen UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menegaskan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah agama, Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.
"Hilangnya mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia dari PP Nomor 57 Tahun 2021 menunjukkan Pemerintah tidak belajar dari kesalahan hilangnya frasa 'agama' dari Peta Jalan Pendidikan," tegasnya..
Jika semula tuduhan kecerobohan hanya tertuju ke Kemendikbud, maka kasus kedua ini telah melebar.
Sebab dalam penyusunan peraturan pemerintah ada peran Sekretaris Kabinet, Sekretaris Negara dan Menteri Hukum dan HAM.
"Siapa yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kecerobohan esensial semacam ini?," imbuhnya.
Fadli Zon pun meminta agar pemerintah tidak menyalahkan publik apabila melontarkan beragam pertanyaan.
Seperti kebijakan-kebijakan pendidikan semacam ini sebenarnya datang dari mana?
Apakah benar-benar dari internal Kemendikbud dan pemerintahan?
Baca juga: Fadli Zon Kutuk Bom Bunuh Diri di Makassar, Nitizen Malah Ajak Keluar dari Partai Gerindra, Kenapa?
Baca juga: Heboh, Fadli Zon Disebut Ditendang dari Jabatan Waketum Gerindra, Andre Rosiade Bilang Begini, Apa?
Atau konsep yang lahir dari lembaga lain di luar?
"Kita paham, Mendikbud kita hari ini tak punya basis kuat dalam bidang pendidikan, sehingga ia tentu dibantu sejumlah tim pemikir di sekitarnya," ungkap Fadli Zon.
"Masalahnya siapa saja mereka? Ini bukan kali pertama kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan mendapat sorotan demikian tajam dari masyarakat," jelasnya.
Kalau benar-benar lahir dari internal Kemendikbud, lanjut Fadli Zon, biasanya para birokrat pemerintahan tak akan pernah seceroboh itu dalam menyusun legal drafting kebijakan, apalagi yang sifatnya sensitif.
"Tapi, kalau konsep-konsep ini lahir dari lembaga luar, Pemerintah, terutama Kemendikbud, perlu menjelaskan, siapa lembaga atau konsultan yang mereka tunjuk untuk menyusun kebijakan-kebijakan tadi, agar publik menjadi tahu," tutupnya.
Artikel Terkait Lainnya Ada Di Sini
(*)
Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Kemendikbud Disusupi Pendukung PKI, Fadli Zon Nilai Dirjen Kebudayaan Mau Belokan Sejarah