Alam Lembata Kian Rusak, Tapi 'Keru Baki' Membuat Kita Optimis
Keru Baki karya sineas muda Lembata Aldino Purwanto Bediona punya jiwanya sendiri. Tayang perdana pada saat peringatan Hari Film Nasion
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Ferry Ndoen
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo
POS-KUPANG.COM-LEWOLEBA-Film berjudul Keru Baki karya sineas muda Lembata Aldino Purwanto Bediona punya jiwanya sendiri. Tayang perdana pada saat peringatan Hari Film Nasional di Omah Bu'e Artspace, Selasa (30/3/2021), film berlatar alam dan budaya tersebut mengantar khalayak ramai pada suasana 'menonton film' yang berbeda.
Suara burung berkicau, gemericik air sungai, desir angin yang menyisip di antara dedaunan dan petikan kalimat mantra dalam Bahasa Lamaholot yang keluar dari mulut sang Molan (Dukun) sungguh mengajak penonton mendengarkan suara alam.
Unsur sinematografi Keru Baki keluar dari pakem film komersial biasanya. Aldino menyebut Keru Baki sebagai film eksperimental yang dibuat berdasarkan respon dia terhadap alam. Surealisme Keru Baki tidak sampai membuat para penikmat film mengernyitkan dahi. Walau terkesan abstrak, pesan-pesan yang ditonjolkan tetap kuat dan nyata.
Sineas berdarah Lamalera ini memang identik dengan produksi film indie yang tidak mau tunduk pada tuntutan industri film komersial. Beberapa film sebelumnya, seperti A Book For Ollie, dan Kebarek dan Kwatek juga memiliki karakter yang sama; kuat dan bernyawa.
"Film yang diputar di bioskop banyak aturan karena mengikuti tuntutan pasar. Sudah berbicara bisnis. Sedangkan film indie lebih kepada ide," ungkapnya.
"Dengan gaya indie, saya lebih bebas berkreasi dan berekspresi," tambah Aldino.
Lebih dari itu, karya-karya salah satu punggawa Lelak Production ini tak asal ditayangkan di kanal Youtube untuk dinikmati banyak orang. Bagi dia, jika ingin menonton karyanya, maka siapkan waktu dan ruang untuk menonton kemudian berdiskusi langsung. Dia ingin para penonton bertemu muka dengan sutradara, penulis naskah, seniman, komunitas lalu berdiskusi, merespon sebuah karya film dengan bertukar gagasan. Itu semua lebih dari sekadar tombol like, share, comment atau subscribe yang disediakan kanal video Youtube. Setidaknya inilah cara dia merawat idealisme agar tidak usang.
Apa yang Aldino harapkan itu terjadi saat penayangan Film Keru Baki yang diselenggarakan Masyarakat Sinema Lembata di Omah Bu'e Artspace Lamahora. Puluhan penonton, mayoritas anak muda dan remaja, menikmati Keru Baki sebagaimana mereka juga seharusnya menikmati alam.
Jurnalis Alexander Taum menuturkan film yang diperankan aktor tunggal Johni Kayowuan itu sejenak membawa kesan yang damai dan nyaman.
"Ketika kita kembali ke tradisi dan budaya, kita merasa damai dan nyaman. Kedamaian lahir bukan karena kita punya sesuatu yang mahal, kedamaian ada ketika kita berdamai dengan alam," tandas Taum dalam resensinya terhadap Film Keru Baki.
Pekerja seni Lembata Haris Dores memuji keindahan Keru Baki dari sisi estetika yang baginya sangat menarik dan memanjakan mata.
Dalam tradisi Lamaholot, kata Haris, Keru Baki bermakna penyucian atau dalam Teologi Katolik disebut pengkudusan. Oleh sebab itu, Keru Baki mengajak manusia untuk bersahabat dengan alam. Maknanya tentu sangat dalam, tentang bagaimana manusia memperlakukan alam sebagai sahabat dan bukan mengeruknya sampai rusak.
"Kita selalu mensyukuri apa yang diberikan alam," ungkapnya.
Dari sudut pandang lingkungan, film tersebut aktual dengan situasi di Lembata saat ini. Isu lingkungan selalu jadi poin utama dalam dinamika pembangunan di Lembata. Keru Baki seolah hadir di tengah perbincangan hangat masyarakat madani perihal pembabatan tanaman pandan di Pantai Mingar, Nagawutung dan penggusuran bakau di pesisir desa Merdeka, Kecamatan Lebatukan oleh investor lokal.
Abdul Gafur Sarabiti, salah satu pegiat budaya, berkata alam punya kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Akan tetapi, dia butuh waktu. Sayangnya, kemajuan yang diciptakan manusia bergerak begitu cepat hingga alam tak sanggup beradaptasi. Kerusakan justru makin masif terjadi dan terstruktur.
Alih-alih merawat dan melestarikan, manusia justru termotivasi untuk merusak alam atas nama pembangunan. Keru Baki mengirim sinyal akan kerusakan itu sekaligus menawarkan solusi dari kearifan lokal masyarakat Lembata yang sudah diwariskan turun temurun.