Penyintas Soroti Grand Design Pemetaan Persoalan Covid-19 di NTT

informasi soal Covid19 bertebaran tak terkendali laiknya tsunami bahkan tidak sedikit yang mengalami distorsi.

Penulis: Ryan Nong | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/RYAN NONG
Diskusi virtual Menyingkap stigma penyintas Covid-19 di NTT" melalui aplikasi zoom meeting pada Rabu (17/3) sore.  

Penyintas Soroti Grand Design Pemetaan Persoalan Covid-19 di NTT

POS-KUPANG.COM | KUPANG --  Penyintas Covid-19 di Provinsi NTT menyoroti penanganan persoalan Covid-19 oleh pemerintah. Menurut mereka, pemerintah  tidak memiliki grand design untuk memetakan persoalan Covid-19 sehingga informasi soal Covid19 bertebaran tak terkendali laiknya tsunami bahkan tidak sedikit yang mengalami distorsi.

"Ini seperti tidak ada grand design memetakan persoalan Covid-19 sehingga  informasi bertebaran tidak karuan," ujar Michael Riwu Kaho, salah satu penyintas Covid-19 yang berasal dari Kota Kupang saat diskusi virtual dengan tema Menyingkap stigma penyintas Covid-19 di NTT melalui aplikasi zoom meeting pada Rabu (17/3) sore. 

Dalam diskusi yang digagas Yayasan Plan International Indonesia itu, Riwu Kaho juga menyebut cara kerja pemerintah melalui Gugus Tugas maupun Satgas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 tidak terstruktur. Karena itu, ia mengajak seluruh komponen yang terlibat dalam diskusi untuk terus mendorong pemerintah dan satgas memperbaiki persoalan itu.

"Kita harus terus mendorong pemerintah dan satgas. Cara kerjanya tidak terstruktur dengan baik karena tidak ada grand design," kritiknya. 

Apa yang disampaikan, kata dia berangkat dari pengalaman selama masa terpapar Covid-19 hingga pasca perawatan. Menurutnya, sistem kontrol terhadap masyarakat yang masih lemah demikian pula pengawasan tim Satgas Covid19 terhadap pasien positif maupun kelompok orang dalam pemantauan (ODP) hingga pasien dalam pengawasan (PDP).

"Berapa lemahnya sistem kita, orang berkumpul ramai dibubarkan tapi orang positif dibiarkan bergentayangan kemana-mana. Sementara itu, tim medis yang menangani kami janji pantau untuk catat tapi sampai bulan Maret kami belum bertemu juga," ungkap dosen Undana ini.

Dalam keluarga yang terdiri dari istri, 5 anak dan menantu serta 4 cucu itu, sebanyak 6 orang diantaranya terinfeksi Covid19 sehingga memilih melakukan isolasi mandiri di rumah.

Penyintas lain, Edu Mandala menyebut, masa awal terpapar Covid-19 merupakan masa masa sulit karena tekanan dan diskriminasi dari masyarakat, tak terkecuali dari keluarga. Bahkan, mereka sampai tidak bersentuhan dengan media komunikasi pribadi terlebih media sosial yang disebutnya memiliki efek sangat besar. 

Mandala mengatakan, tekanan itu akhirnya berhasil dikendalikan setelah ia dan keluarganya memutuskan untuk "berdamai dengan keadaan" saat mereka dirawat di rumah sakit. Usai kebangkitan itu, ia memutuskan untuk memanfaatkan waktu bersama di rumah sakit sebagai waktu berkualitas (quality time) bagi keluarganya.

Oleh karena itu, dalam rangka menyebarkan virus baik dan aksi aksi positif dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid-19, ia menginisiasi komunitas penyintas Covid-19 di NTT.

"Paling tidak kami (penyintas)  sudah berhasil melewati hal itu. Jadi salah satu hal yang kami lakukan adalah mendorong edukasi bagi para pasien positif dan masyarakat," kata dia. 

Berangkat dari pengalaman dia dan keluarga, tekanan dan stigma yang dihasilkan masyarakat dapat mempengaruhi kondisi pemulihan kesehatan orang dengan positif Covid-19.

Selain mereka, Serafina Bete Persani NTT dan Baim, dari Himpunan Masyarakat Tuna Netra Sumbawa mendorong edukasi yang inklusi tidak hanya kepada masyarakat non Disabilitas tapi juga kepada kelompok kelompok disabilitas yang tersebar. 

Edukasi, menurut Serafina Bete merupakan hal fundamental dan penting karena banyak masyarakat yang tidak menerima informasi secara utuh. 

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved