Opini Pos Kupang

Kota Toleran Dengan Toleransi Yang Benar

JEFRI Terima Penghargaan kota toleran", judul sebuah berita kecil pada halaman satu PK (26/2/2021). Berita tersebut diberi ratser

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Kota Toleran Dengan Toleransi Yang Benar
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Orang dianggap toleran karena melakukan apa yang tidak harus dia lakukan. Sedangkan orang yang berpegang teguh pada aturan dan tidak memberikan pengertian apapun bagi yang melanggar aturan, disebut intoleran.

Dalam pertimbangan pragmatis, kita menerima dan membiarkan sesuatu ada, selama kita tidak berdaya meniadakan atau mengubahnya. Sesuatu itu semestinya tidak boleh ada. Selama kita tidak berdaya meniadakannya, kita mentolerirnya. Supaya kita sendiri tidak dirugikan.

Jika diterapkan dalam kaitan dengan pembangunan rumah ibadat, toleran di sini berarti sikap dermawan yang ditunjukkan satu masyarakat agama, yang memperkenankan kehadiran agama-agama lain, walaupun sebenarnya kehadiran mereka menyalahi pandangan dasar agamanya sendiri.

Kehadiran agama-agama lain ada dalam batas toleransi, dan hanya sejauh itu mereka diterima. Juga karena kita tak mampu menolaknya karena hukum, politik, atau alasan faktual lainnya.

Tuntutan yang semakin besar untuk membentuk komunitas perjuangan, menunjukkan bahwa kita tidak dapat lagi mempertahankan toleransi seperti di atas. Toleransi dalam sebuah kebersamaan perjuangan tidak dapat lagi didasarkan hanya pada kebaikan agama kita yang membiarkan kehadiran agama lain dalam batas yang bisa ditolerirnya. Juga tidak dapat dibangun di atas basis keterpaksaan karena kita tidak berdaya meniadakannya.

Kalau dideskripsikan secara positif, toleransi yang benar adalah suasana di mana orang saling memahami dan sanggup menyelesaikan perbedaan pendapat secara damai.
Toleransi dalam arti ini hanya dapat terwujud di dalam kebebasan. Kebebasan merupakan syarat mutlak bagi toleransi.

Tanpa kebebasan beragama, toleransi antarumat beragama yang diciptakan tidak lebih dari sekadar kehidupan berdampingan yang dipaksakan. Toleransi hidup umat beragama yang langgeng dan bermutu menuntut pengakuan dan jaminan kebebasan beragama.

Membangun struktur dan menciptakan perangkat hukum penting, tetapi juga musti dilandasi pemahaman demokratis dan gagasan teologis yang kuat dari masing-masing agama. Pemerintah memberikan perspektif demokrasi, agama-agama memberikan basis teologis.

Dengan demikian, peran yang dirasa terlampau dominan dari negara dalam urusan kehidupan beragama, sebenarnya bukan hanya merupakan kesalahan negara, melainkan juga menjadi tanggungjawab agama-agama.

Betapa sering kita menemukan kecenderungan agama-agama memperkuat argumentasi pragmatis pemerintah, tanpa sungguh-sungguh melaksanakan tugas internalnya yang memang sulit, yakni membangun dan mempromosikan gagasan teologis mengenai kebebasan beragama.

Akibatnya, ketika peran negara yang dominan mulai disoroti dan melemah, kita menemukan bahwa toleransi kita tidak dibangun di atas dasar esensial yang kokoh. Sebab itu, kalau kita menghadapi ancaman karena sejumlah aksi intoleran atas nama agama, hal itu tidak hanya menunjukkan kegagalan negara, tetapi juga masalah agama-agama itu sendiri.

Kedewasaan umat beragama dalam menghayati toleransi menjadi semakin jelas dan patut dibanggakan, apabila agama-agama tidak selalu bersandar pada pemerintah untuk mengurus sikap keagamaan yang mesti diambil umatnya.

Ini tidak berarti bahwa pemerintah sama sekali bebas dari tanggungjawab atas kehidupan agama warganya.

Tugas pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan suasana, sistem dan fasilitasi agar kesadaran dan kebiasaan saling menghargai di antara para warga yang berbeda keyakinan, semakin ditingkatkan.

Namun, pemerintah tidak memiliki hak untuk membatasi apa yang normatif dalam agama-agama. Hal yang terakhir ini mesti menjadi urusan agama masing-masing.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved