Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik, Selasa 9 Februari 2021: BERAGAMA YANG SEJATI
Kiranya kita melaksanakan dengan kesadaran dan sepenuh hati. Kiranya kita menerapkan dengan bijaksana agar orang sungguh hidup sesuai kehendak Allah.
Renungan Harian Katolik, Selasa 9 Februari 2021: BERAGAMA YANG SEJATI (Markus 7:1-13)
Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Agama selalu mengarahkan orang untuk bertumbuh dan berkembang hidup rohaninya. Untuk itu dibentuklah lembaga hukum, aturan, tata cara, upacara, dan sebagainya, sebagai sarananya.
Dalam kenyataan, kerap tujuan kerohanian dan sarananya saling bertukar tempat. Kadangkala tata cara, ritus, aturan agama menjadi begitu ditekankan dan dipentingkan, sedangkan yang lain tersingkir atau disingkirkan karena dianggap tak sejalan.
Akibatnya, sarana atau kelembagaan lambat laun seakan menjadi tujuan beragama. Tak heran dalam kondisi macam ini, muncul gerakan pembaharuan untuk menjernihkan tujuan semula.
Hidup beragama memang biasanya berada dalam dua kutub itu. Ada kecenderungan untuk berfokus pada tujuan, sehingga sarana disepelekan; tapi ada pula tarikan untuk mementingkan sarana dengan akibat tujuan menjadi kabur.
Permasalahan ini tercermin dalam kisah yang dicatat penginjil Markus seperti berikut. Yesus didatangi serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem. Mereka mempertanyakan, mengapa beberapa murid-Nya makan dengan tangan najis alias tak mencuci tangan terlebih dahulu (Mrk 7:1-2). Mereka curiga bahwa Yesus dan murid-murid-Nya adalah kaum yang tak peduli lagi pada lembaga agama.
Yesus menanggapi dengan mengemukakan sebuah contoh nyata. Bahwa anak-anak mempunyai kewajiban untuk menghormati dan memelihara orang tuanya. Namun kewajiban itu justru dibatalkan atau tidak dilakukan oleh anak-anak Yahudi dengan dalil yang nampaknya amat suci, yakni harta sudah dipersembahkan kepada Allah.
Memang ada kewajiban menurut agama Yahudi bahwa orang harus mempersembahkan sebagian atau seluruh hartanya kepada Allah di Bait Suci Yerusalem. Persembahan semacam ini disebut korban dan dipandang sebagai semacam kaul yang tak dapat dibatalkan.
Dengan begitu, anak-anak Yahudi pasti mengucapkan kaul demikian, yakni akan mempersembahkan hartanya sebagai korban kepada Allah dan mereka akan menjadikan kaulnya itu sebagai alasan untuk tidak memberikannya kepada orang tuanya.
Jadi, kaul sebagai kewajiban menurut hukum agama sehubungan dengan harta yang akan dipersembahkan sebagai korban dianggap lebih penting dari pada sikap hormat terhadap orang tua.
Dengan ilustrasi yang diberikan-Nya, Yesus ingin menunjukkan bagaimana manusia dapat terpaku pada suatu peraturan yang sesungguhnya sebagai sarana bantu demi tercapainya sesuatu yang agung. Ia ingin memurnikan bahwa sarana tak pernah dapat disamakan dengan "yang agung". Sarana apa pun harus terarah membentuk orang untuk menjadi sungguh-sungguh batiniah, yaitu selalu mementingkan satu hal saja, yakni kehendak Allah.
Kehendak Allah adalah perintah Allah. Dan, Allah tak pernah memerintahkan orang untuk membawa persembahan kepada-Nya dengan mengabaikan perintah-Nya untuk memelihara dan berbuat baik kepada orang tua.
Allah tak pernah memerintahkan manusia untuk mencuci tangan sebelum makan. Allah justru menghendaki agar orang memuliakan Dia dengan hatinya.
"Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia" (Mrk 7:6-7).
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/pater-steph-tupeng-witin-svd.jpg)