Anak Muda Lembata Melawan Stigma Dengan Film dan Pentas Seni 'Suku Bajo'
Balo merupakan seorang nelayan asli Suku Bajo yang menempati Pulau Meko, Adonara
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | LEWOLEBA - "Balo merupakan seorang nelayan asli Suku Bajo yang menempati Pulau Meko, Adonara. Ia dan keluarganya sudah lama bermukim di Pulau Meko sehingga ia sangat mencintai pulau tersebut. Takdir memaksa Balo dan keluarga berpindah ke selatan demi kelangsungan hidup.
Dengan berat hati, Balo mengikuti kemauan keluarganya. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Maksud hati hanya mencari nafkah di Pulau Lomblen, Balo kemudian berkenalan dengan Ainun, gadis kampung yang membuatnya jatuh hati."
Inilah sepenggal sinopsis dari film pendek dan pentas seni berjudul 'Bajo: Sebuah Perjalanan, Cinta dan Lautan' yang akan dirilis tepat pada peringatan Statement 7 Maret 2021 mendatang.
• Pemuda di Alas Selatan Dapat Ilmu Pangkas Rambut dari TNI
Sesuai dengan judulnya, film ini akan mengangkat kisah perjalanan Suku Bajo dari Pulau Meko, Adonara, Kabupaten Flores Timur hingga ke Pulau Lomblen atau Lembata.
Mengapa harus Suku Bajo?
Sang penulis naskah, Elmundo Alesio, memang punya keresahan tersendiri di hatinya. Sebagai anak muda asli Lembata, Elmundo ingin melawan stigma 'Suku Bajo' yang jamak ditemukan di tengah-tengah masyarakat terutama yang berada di Kabupaten Lembata.
• Pilkades Serentak Tahap III Lanjut Tahun Ini
"Kali ini saya mau angkat film budaya, karena saya lihat suku Bajo sudah lama sekali ada di Lembata tapi seakan terpinggirkan dan didiskriminasi oleh masyarakat setempat. Banyak pelesetan yang merujuk pada orang Bajo," ujar salah satu Film Maker asli Lembata tersebut saat ditemui di Bilangan Wangatoa, Senin (8/2/2021).
Elmundo tak asal membuat naskah. Untuk menambah referensinya terhadap kehidupan orang-orang pesisir itu, dia melakukan riset mendalam tentang kehidupan, kebudayaan dan sejarah perjalanan orang Bajo dari Pulau Meko ke Lembata.
Selain sumber buku, Elmundo juga terjun langsung bertemu dan mewawancarai orang-orang tua Suku Bajo yang ada di Lembata.
Orang Bajo yang dikenal sebagai suku pelaut memang berada di banyak wilayah pesisir di NTT. Elmundo hanya mengambil titik fokus perjalanan mereka dari Meko ke Adonara.
Alasannya, orang Bajo yang ada di Meko secara kultural memiliki kedekatan dengan orang Lamaholot yang ada di Lembata.
Dia mencontohkan, di wilayah Ile Ape kedekatan budaya itu nampak. Ada ritual-ritual adat yang harus melibatkan orang Bajo. Itu artinya, kontak orang Lamaholot yang ada di Lembata dan orang Suku Bajo sudah berlangsung sejak lama.
Oleh sebab itu, selain di Meko, proses syuting akan dilakukan di Desa Balauring, Desa Waijarang, Kompleks Kubur Cina Lewoleba dan Rayuan Kelapa Lewoleba.
"Kita bawa semua dalam film tentang Suku Bajo, ada silat, pakaian daerah, kebudayaan yang sudah mulai hilang tapi kita tetap masukan dalam film," katanya.
Membuat film bertemakan budaya seperti ini rupanya merupakan tantangan tersendiri bagi Elmundo.
"Tantangan paling berat itu film seperti ini, daripada film fiksi dan indie. Kalau film budaya betul-betul harus banyak riset, sumber terpercaya dan memang cukup berat," kata dia mengakui.
Elmundo Alesio membawa misi besar dengan film ini. Dia berharap film 'Bajo' ini bisa jadi representasi untuk mengangkat kepercayaan diri orang-orang Suku Bajo.
Dia tidak ingin ada masyarakat yang disisihkan atau ditinggalkan lagi di tengah masyarakat.
Film ini akan ditayang atau dipentaskan pada 7 Maret 2021 di Perkampungan Bajo, Tepi Laut Rayuan Kelapa Lewoleba. Dan film ini sebagai kado spesial, memperingati hari bersejarah Lembata, Statement 7 Maret.
Vu'u Delos Lamabakang Kepala Suku pemeran dalam film Bajo mengatakan, film Bajo merupakan karya sekumpulan anak-anak muda yang tergabung dalam "Ruang Seni Pertunjukan Lembata".
Sekitar 6 (enam) komunitas anak muda yang menggagas dan memproduksi film Bajo tersebut. Di antaranya, komunitas 13 frame, Persiraja, Sekolah Gembira, Teater Suara, Pramuka Kwarcab Lembata dan Komunitas Ta'an Tou.
Pekerja seni lulusan Sastra Universitas Sanatha Dharma Yogyakarta ini berujar seni itu tidak akan mati, seni itu akan hidup dan abadi sampai kapan pun. Dan keabadian itu, ditunjukkan dalam situasi saat ini, di tengah bangsa ini diterpa Covid-19.
"Itu seni yang mengabadi dalam ruang dan waktu. Kreativitas yang perlu selalu dihidupkan di masa ini dan akan datang. Kita mau katakan kepada bangsa ini bahwa inilah kami anak muda Lembata yang tidak akan mati memberikan yang terbaik buat bangsa ini dan khususnya Lembata," kata Vu'u Delos.
Lanjutnya, film pendek Bajo sebenarnya menjadi spirit baru bagi anak-anak muda Lembata untuk terus berkreasi. Bahwa karya seni berupa film Bajo, menjadi salah satu dari sekian banyak jawaban atas apa yang dirasakan anak-anak muda, dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik yang terjadi saat ini.
"Film Bajo menjadi spirit baru kreativitas karya seni orang muda di tengah situasi saat ini. Jangan karena Covid-19, kita tidak kreatif. Dan sekilas saya mau katakan, film Bajo yang akan ditayang, sarat pesan dan makna bahwa Bajo sebuah suku yang menjadi bagian dari Lembata yang terlupakan. Jangan lupa saksikan," pungkas Vu'u Delos. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo)