Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik, Minggu 24 Januari 2021, Minggu Biasa 3/A: Menjadi Cahaya di Tengah Pandemi
Nabi Yesaya bernubuat bahwa rakyat Galilea yang diangkut ke Asiria akan melihat terang dari Tuhan. Janji itu memberi harapan di tengah kegelapan
Renungan Harian Katolik, Minggu 24 Januari 2021, Minggu Biasa 3/A: Menjadi Cahaya di Tengah Pandemi (Yes 8:23b-9:3; 1Kor 1:10-17; Mat 4:12-22).
Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD
POS-KUPANG.COM - Nabi Yesaya bernubuat bahwa rakyat Galilea yang diangkut ke Asiria akan melihat terang dari Tuhan. Janji itu memberi harapan di tengah kegelapan masa pembuangan.
Cahaya Tuhan itu bersinar untuk semua orang tanpa batas agama dan geografi. Janji ini merawat harapan ketika realitas pembuangan di tanah Asiria di maknai sebagai masa yang suram.
SabdaTuhan bagai air segar yang menumbuhkan harapan. “Bangsa yang berjalan dalam kegelapan telah melihat terang yang besar. Mereka yang diam di negeri kekelaman atasnya terang telah bersinar” (Yes 9:1).
Israel dituntut merawat harapan itu melalui koneksi spiritual dengan Tuhan dan sesama. Setiap masa, betapa pun kelam, selalu saja ada cahaya yang menerobos. Saat orang berada dalam sebuah gua hidup yang gelap, orang yang setia dan tekun akan mendapatkan terobosan cahaya itu melalui lubang gua yang kecil sekali pun. Hanya orang yang setia dan tekun akan dicahayai.
Selalu ada keluhan, kegelisahan dan sumpah serapah kemanusiawian di hadapan kenyataan yang kelam. Tapi iman kepada Tuhan menjadi berkas-berkas cahaya religiositas yang menerbitkan harapan akan sebuah hari esok yang penuh sukacita seperti “sukacita di waktu panen dan sukacita di waktu membagi-bagi jarahan” (Yes 9:2).
Saat hidup dinaungi kegelapan, harapan adalah satu-satunya energi rohani yang meneguhkan. Harapan itu bersumber pada Tuhan yang selalu setia menuntun. Kegelapan adalah simbol kefanaan hidup yang akan menguji kualitas komitmen iman kita.
Selalu hadir kesadaran yang terkadang melampaui pikiran manusiawi. Ada sebuah kekuatan agung yang mencahayai kesadaran kemanusiaan kita, terutama ketika hidup terasa menjemukan diliputi kekelaman.
Penulis Kitab Mazmur mengingatkan bahwa Tuhanlah cahaya dan penyelamat. Setialah berharap pada Tuhan. Tinggallah selalu seumur hidup di rumah-Nya. Inilah jalan religiositas yang meneguhkan dan menabahkan kemanusiaan kita (Mzm 1:3.12).
Satu bahaya besar dalam kebersamaan di tengah represi kegelapan adalah keterpecahan. Egoisme menyeruak di tengah ketakberdayaan. Setiap orang terkadang merasa kuat dan mampu di tengah hamparan mayoritas sesama yang kehilangan harapan.
Saat sebuah perahu motor dihantam badai, orang sibuk mencari jalan keselamatan personalnya. Orang menjadi buta melihat kegelisahan sesama di sampingnya. Orang jadi tuli hanya untuk mendengar jerit gelisah orang-orang sekeliling. Rasa ingat diri berlebihan terkadang menjadi momen kritis kehancuran hidup. Mencari upaya selamat diri sendiri membuka ruang kebinasaan yang lebih lebar.
Situasi ini diingatkan oleh Rasul Paulus. “Hendaknya kamu seia sekata dan menghindarkan perpecahan” (1Kor:1:1).
“Seia sekata” berarti menjadi satu dalam harapan bersama sesama yang lain. Menjadi satu berarti mengibarkan bendera “kita” dan bukan “aku, kami.”
Bagi Paulus, hanya dalam kebersamaan berbasis Kristus-lah, jalan keselamatan itu terbuka bagi semua orang. Yesus pernah mengingatkan kita, “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Namaku, Aku hadir di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Sabda ini mesti selalu menginsafkan kita bahwa persatuan, persaudaraan dan kebersamaan adalah jalan menuju keselamatan.