Opini Pos Kupang

Menggali Ulang Gagasan New Normal dalam Situasi Abnormal

Mari membaca Opini Pos Kupang: menggali ulang gagasan new normal dalam situasi abnormal

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Menggali Ulang Gagasan New Normal dalam Situasi Abnormal
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Saya kira, saat ini bukan waktu yang tepat untuk saling mempersalahkan, atau mencari mana yang benar dan mana yang salah. Kita harus ingat bahwa sudah banyak dokter yang gugur, itupun belum terhitung tenaga kesehatan dan tenaga medis lainnya.

Peristiwa ini, hendaknya dijadikan bahan refleksi bagi kita agar lebih mawas diri dalam beraktivitas di luar rumah, di tempat kerja, maupun di pusat perbelanjaan. Kita tidak boleh berjalan sendiri dan menjadi individualis dalam perjuangan melawan wabah ini, sebab semangat kita adalah `gotong royong'.

Karena itu, sikap saling memperingati, saling membantu, saling berbagi, dan saling peduli harus terpatri dalam nurani kita. Situasi `new normal' tidak boleh membuat kita menjadi individualis, egois, dan tidak peduli dengan sesama, apalagi tidak taat pada protokol kesehatan.

Justru sebaliknya, `new normal' harus membuat kita menjadi semakin peka, peduli, dan disiplin dalam menjaga kesehatan diri.

Hemats aya, gagasan `new normal' yang sudah/sedang berjalan ini belum optimal. Mengapa? Karena esensi dari `new normal' bukan saja soal mengikuti protokol kesehatan, melainkan lebih kepada new paradigm, new behavior, dan new activity yang lebih tertib, lebih disiplin, dan saling menjaga satu sama lain. Pertanyaan sekarang adalah, mampukah kita menjalaninya?

Sudah tertib dan disiplin kah kita dalam setiap aktivitas? Saya kira, jawabannya kembali ke pribadi kita masing-masing. Karena itu, untuk mengetahui mengapa aktivitas masyarakat saat ini seolah `kurang' peduli terhadap protokol kesehatan, maka saya coba menganalisisnya dengan pendekatan teori atribusi dalam psikologi sosial.

Secara sederhana, teori atribusi menjelaskan bagaimana orang menyimpulkan penyebab tingkah laku yang dilakukan diri sendiri atau orang lain. Teori ini menjelaskan proses yang terjadi dalam diri kita sendiri sehingga memahami tingkah laku orang lain.

Setidaknya ada dua bentuk atribusi yakni atribusi situasional dan atribusi disposisional. Sebagai contoh, kalau kita melihat perilaku orang ketika berada di keramaian, atau di pasar/pusat perbelanjaan, banyak dari mereka yang tidak mematuhi protokol kesehatan.

Lantas, mengapa demikian? Kalau menggunakan atribusi situasional, kita bisa menjawab bahwa banyak orang kurang mematuhi protokol kesehatan di tengah keramaian pasar/pusat perbelanjaan karena mereka memang membutuhkan barang/jasa, butuh makan, butuh bekerja untuk bisa bertahan hidup, harus berjualan untuk mendapat penghasilan, dan seterusnya.

Akan tetapi, kalau menggunakan atribusi disposisional, maka jawabannya adalah, orang tidak mengindahkan protokol kesehatan karena memang pribadi dan karakter atau watak orang tersebut pada dasarnya tidak displin, tidak taat, dan tidak peduli.
Jelas ada dua perspektif berbeda dari jawaban di atas.

Karena itu, kita jangan sampai salah kaprah dalam menilai perilaku masyarakat saat ini. Kita harus objektif dalam menyimpulkan hubungan sebab-akibat terhadap aktivitas kita sendiri maupun orang lain. Kita jangan terlalu cepat menyimpulkan berdasarkan petunjuk yang tersedia, atau bahkan berdasarkan faktor emosional saja.

Perilaku masyarakat saat ini bisa saja terlihat kurang peduli. Akan tetapi, kita juga harus maklum bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah, tetap harus beraktivitas di luar rumah agar bisa hidup.

Kalau serangan Covid-19 ini membuat pemerintah kemudian menerapkan kembali PSBB secara total, maka saya yakin, banyak masyarakat yang akan protes. Persoalan melawan Covid-19 memang kompleks dan tidak mudah. Perilaku masyarakat pun selalu memiliki alasan yang rasional, sehingga kita tidak bisa memaksa kehendak untuk menertibkan kegiatan/aktivitas masyarakat kecil dan menengah ke bawah.

Sebab hidup mereka bergantung pada usaha UMKM harian. Jadi, sekali lagi, kita perlu bekerjasama memecahkan persoalan ini dengan pendekatan yang elok. Ingatlah bahwa kita sedang mengalami `badai' yang sama, tetapi `kapal' kita berbeda.

Kita harus jeli dan bijak dalam berperilaku, beraktivitas, berbagi, dan menilai, sehingga situasi `abnormal' saat ini dapat tergantikan dengan`new normal' yang tepat. *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved