Opini Pos Kupang

Janus dan Gerak Perubahan Tahun Baru 2021

Adalah seorang dewa bernama Janus (Latin: lanus = pintu). Dewa dalam Mitologi Romawi yang lazimnya dikaitkan dengan setiap perayaan Tahun Baru

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Janus dan Gerak Perubahan Tahun Baru 2021
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Wajah Depan Janus dan Gerak Perubahan Tahun Baru 2021

Sejenak menengok gagasan tentang perubahan. Perubahan dilirik dalam tindak beralihnya dari keadaan sebelumnya (the before condition) menjadi keadaan setelahnya (the after condition). Atau pun dalam defenisi Lili KF (2007) menilik "perubahan adalah membuat sesuatu menjadi lain".

Kita bergerak dari the before condition masa lalu, kecamuk Covid -19 di tahun 2020 menuju tahun harapan 2021, masa depan, menjadi yang lain -terbebas dari kecamuk situasi Covid-19.

Searah dengan konsep perubahan tersebut, dalam dunia filsafat konsep perubahan boleh dilihat di dalam pemikiran Heraclitus, Filsuf kelahiran Efesus, Asia Kecil (540-480 SM). Ia dijuluki "si gelap", karena pemikiran-pemikirannya yang tidak mudah untuk dimengerti.

Pemikirannya tentang perubahan menjadi yang pertama dalam dunia filsafat. Ia menelurkan makna perubahannya dengan ungkapan khasnya "panta rhei kai uden menei" (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap).

Makna ungkapannya itu, ia analogikan dengan pandangannya bahwa "you cannot step twice to the river, for the fresh waters are ever flowing up on you" -kamu tidak akan dapat terjun pada sungai yang sama untuk ke dua kalinya karena air sungai itu telah mengalir.

Panta rhei kai uden menei, mau menampakan bahwa segala sesuatu yang ada itu tidak akan tinggal tetap, semuanya akan berubah dan selalu ada dalam kemenja dian.

Karena kita tidak dapat masuk ke aliran sungai yang sama untuk kedua kalinya. Aliran sungai yang kita pijaki sebelumnya akan berbeda dengan aliran sungai yang saat ini. Aliran sungai akan terus mengalir.

Covid-19 dengan mode fatalisme-nya ada dalam pemaknaan kemenjadian ini. Ia dapat berubah dan kita yang meniti hidup di tengah fatalisme-nya dapat menikmati perubahan tersebut.

Dengan demikian, satu hal yang dapat ditilik dari konteks perubahan itu, ialah adanya pemahaman adaptasi yang mesti selalu hadir dalam sebuah fakta perubahan.

Sebagaimana dalam pandangan Charles Darwin, bukan spesies yang paling kuat atau paling cerdas yang mampu bertahan terhadap perubahan; melainkan yang paling mampu untuk beradaptasi.

Cukup memungkinkan bahwa problem Covid-19 telah melahirkan secercah harapan perubahan dengan hadirnya kemajuan teknologi vaksin. Ini menjadi sinyal positif bahwa Covid-19 itu panta rhei kai uden menei-Ia akan berlalu dan tidak akan tinggal tetap.

Meski demikian, Covid-19 telah mengklaim sebuah gaya fatalisme kehidupan yang turut memengaruhi ketergantungan hidup kita, untuk mau tak mau harus beradaptasi dengan ragam aspek kehidupan, yang begitu bergantung penuh dengan pergerakan pandemi Covid-19.

Adaptasi kita di tengah konteks perubahan fatalisme Covid-19, ialah bagaimana kita mesti bergerak ke dalam, serta ada bersama dengan gerak perubahan itu. Kita mesti bergerak (berubah) dari konteks kehidupan wajah belakang, masa lalu tahun 2020, yang terlalu banyak bermain dalam keegosentrisan -bertindak dengan pusat pergerakan adalah diri sendiri (my self).

Kita hidup dan bergerak demi kepentingan kebutuhan personal tanpa ada perhatian penuh pada pelaksanaan protokol kesehatan. Sehingga tidak heran bila sifat egosentris kita, memicu naiknya kurva kasus Covid-19, misalkan yang banyak hadir akibat kasus transmisi lokal.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved