Obituari Pater Dr. Peter C. Aman OFM: Jejak Keterlibatan Abadi

PESAN “kepergian” Direktur JPIC OFM Indonesia, Pater Dr. Peter C. Aman OFM di tengah malam, Selasa (15/12/3-2020) sangat mengagetkan.

Editor: Agustinus Sape
Hidupkatolik.com
Pater Dr. Peter C. Aman OFM 

Jejak Keterlibatan Abadi ( Obituari Pater Dr. Peter C. Aman OFM)

Oleh Steph Tupeng Witin

Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa” (JPIC OFM, 2018)

PESAN “kepergian” Direktur JPIC OFM Indonesia, Pater Dr. Peter C. Aman OFM di tengah malam, Selasa (15/12/3-2020) sangat mengagetkan. Putra Lambaleda Manggarai ini memiliki kenangan istimewa dalam ruang batin. Sosok yang human, intelektual yang humoris, penulis yang peka terhadap berbagai soal di ruang publik dan Imam yang terlibat dalam advokasi kemanusiaan dan masalah lingkungan hidup.

Rakyat Lembata di wilayah Kedang dan Leragere tidak akan pernah melupakan jejak kaki keterlibatan Pater Peter Aman saat Pemkab dan DPRD Lembata asyik bermimpi bahwa solusi kesejahteraan adalah monster pertambangan (2006-2008).

Penulis ingat betul saat kami, para pastor OFM dan SVD Ende tidur bersesak-sesakan di rumah tokoh muslim Hingalamengi, Kedang, Abu Samah yang kemudian dibawa oleh OFM ke Jakarta menjadi saksi militan tolak tambang Lembata dalam sebuah seminar nasional.

Orang-orang sederhana di seluruh pelosok tanah Manggarai tidak akan pernah lupa dengan sosok ini yang bersama mempertahankan tanah dari incaran investor tambang yang berkolusi dengan elite pemerintah lokal yang lihai memperdaya sebagian warga lokal.

Kasus-kasus penolakan tambang di tanah Flores dan Lembata tidak akan pernah terpisahkan dari advokasi profetis para Religius Ordo Fratrum Minorum (OFM) Indonesia.

Societas Verbi Divini/SVD) mesti mengakui dengan jujur bahwa OFM adalah “guru” dalam advokasi tolak tambang. Pater Dr. Peter C. Aman OFM terlibat aktif dalam gerakan menyelamatkan tanah Flores dan Lembata ini.

Saat menempuh studi Magister Jurnalistik di Jakarta (2009-2011), penulis selalu datang ke Kantor JPIC OFM di Galur Tanah Tinggi Senen Jakarta Pusat. Pater Peter Aman, Pater Mike Peruhe (sebelum jadi pembesar OFM Indonesia), Valens Dulmin dan beberapa frater OFM tinggal di tempat sederhana ini. Kantor ini sangat asri karena ruang depan dipenuhi ribuan pot bunga dari beragam jenis. Sebuah oase hijau di tengah “padang gurun” kota Jakarta yang sumpek, macet dan kumuh.

Perpustakaan sangat lengkap dengan beragam referensi khususnya masalah sosial, kemanusiaan dan lingkungan hidup. Membaca di perpustakaan, makan siang bersama disertai diskusi beragam topik menjadi “budaya” yang membuat penulis lupa pulang ke Cikini.

Pater Peter Aman adalah Dosen STF Driyarkara yang cerdas, gagasannya mengalir lancar, ide kadang mengejutkan nalar dan kritik pedas tapi dibarengi solusi konkret. Logat Manggarai (umumnya) tidak pernah tergerus zaman walau telah sekian lama meninggalkan Lambaleda.

Saat libur, penulis mendapatkan momen spesial bersama OFM Indonesia mengelilingi tanah Manggarai, berjalan dari kampung ke kampung, bertemu rakyat di lokasi tambang dan terlibat dalam gerakan advokasi tolak tambang. Nama-nama kampung abadi di hati: Serise, Satarteu, Lengkololok, Tumbak dan lainnya. Wajah orang-orang sederhana tak pernah lekang dilibas waktu. Penulis berutang budi kepada Pater Peter C. Aman OFM yang sangat berperan besar dalam penerbitan buku ke-6: Politik Dusta di Bilik Kuasa (JPIC OFM, 2018). 

Setia Berbagi Pikiran

Selama hidupnya, Pater Peter sering menulis dan memiliki fokus perhatian pada pelbagai isu sentral seperti lingkungan hidup, isu politik, moral Gereja, dan berbagai isu lainnya terkait dengan keadilan dan korupsi yang kerap terjadi di negeri ini.

Tercatat dalam tahun ini, Pater Peter Aman menulis setidaknya lima tulisan untuk Majalah HIDUP dan website Hidupkatolik.com. Pertama, Seruan Paus terkait kebakaran hutan di Amazon. Kedua, pandangannya tentang “Kandang Natal” sebuah refleksi dari Surat Apostolik Mirabile Signum yang dikeluarkan Paus Fransiskus. Ketiga, pandangannya tentang Industri Pertambangan di Manggarai Flores, Nusa Tenggara Timur. Keempat, tema korupsi khususnya menjelang Pilkada Serentak 2020. Kelima, bencana alam dan kelalaian manusia, sebuah refleksi teologis tentang keadilan dan keutuhan ciptaan dengan koherensinya bagi Indonesia (Hidupkatolik.com 15/12/2020).

Tahun 2017, Pater Peter Aman OFM menjadi pengamat selama 3 hari studi para Uskup membedah tema: “Gereja yang Signifikan dan Relevan: Panggilan Gereja Menyucikan Dunia.” Setelah mendengarkan pemaparan para narasumber dan melalui diskusi panjang di antara para Gembala serta debat-debat alot di antara mereka, akhirnya membuahkan hasil berupa sebuah rangkuman dari pengamat proses Hari Studi Para Uskup 2017 yang terbit sebagai Nota Pastoral KWI 2018 “Panggilan Gereja Dalam Hidup Berbangsa. Menjadi Gereja yang Relevan dan Signifikan.”

Menurutnya, di tengah karut-marut kondisi bangsa dan negara saat ini, Gereja Katolik tidak kehilangan asa dan gagasan untuk merajut kesatuan dan mengupayakan keadilan serta merawat keutuhan keluarga bangsa Indonesia. Gereja mesti tetap menjadi “Lumen Gentium” dan mesti menegaskan peranannya di tengah dunia modern dengan mengintegrasikan “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat Indonesia zaman ini.” Kondisi Indonesia saat ini berpotensi menghancurkan bangunan kebangsaan. Maka Gereja ditantang untuk menjadi kekuatan masyarakat warga dalam memperjuangkan kebersamaan dan merawat Pancasila, demi mewujudkan keluarga bangsa Indonesia atas dasar Pancasila.

Pertanyaan, bagaimana Gereja merumuskan perannya di tengah masyarakat Indonesia saat ini? Pater Peter Aman menggagas beberapa langkah.

Pertama, Gereja perlu berjerih payah dan bekerja keras dengan semua yang berkehendak baik, serta mengoptimalkan potensinya sendiri untuk berkiprah dan terlibat di banyak bidang dan lembaga-lembaga publik. Gereja dalam sejarah dikenal karena memberi kontribusi besar bagi bangsa dan negara Indonesia di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial-karitatif.

Kedua, mengupayakan pemurnian dan optimalisasi tugas Gereja menyucikan dunia melalui perjuangan perwujudan nilai-nilai Pancasila, dengan demikian Gereja akan tetap relevan dan signifikan bagi dunia, khususnya Indonesia. Menyucikan dunia berarti menjadikannya selaras kehendak Bapa. Maka di sini seruan Evangelii Gaudium dari Paus Fransiskus mendekati kenyataan, menjadi “Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, bukan Gereja yang menutup diri dalam kenyamanannya sendiri” (EG 49). Lorong kemartiran mungkin mesti dilalui Gereja sebagai konsekuensinya.

Ketiga, para Gembala perlu semakin menyadari bahwa padang rumput Indonesia semakin gersang. Maka, para Gembala ditantang untuk tetap setia, menyerupai Sang Gembala Agung. Para gembala berbau domba adalah tuntutan nyata, merajut kesatuan dan hadir dalam kehidupan umat, bahkan memberi terang pengarah atau menjadi suara hati dunia, seperti kata Paus Paulus VI. Gereja diminta bersuara untuk keadilan dan perampasan hak-hak masyarakat, merevitalisasi organisasi-organisasi Katolik agar lebih terlibat dalam persoalan bangsa, serta meretas jalan bagi evangelisasi yang memperhitungkan soal-soal sosial, budaya serta keadilan sosial-ekologis.

Keempat, Gereja ditantang untuk keluar menebarkan kasih sayang tulus bagi masyarakat Indonesia, di tengah realitas masyarakat yang semakin eksklusif berdasar agama atau kepercayaan. Berdialog dengan tulus, berbagi kebaikan tanpa ingin menguasai adalah pintu lebar bagi dialog iman dan perwujudan kebersamaan persaudaraan. Untuk itu Gereja Katolik ditantang mengintegrasikan spirit dialog dalam kebijakan pastoral dan formasi tenaga pastoral ke depan. Nilai-nilai Pancasila, yang memang sejalan dengan nilai-nilai Kristiani, dapat diangkat dalam pastoral dan refleksi teologis Gereja (Teologi Pancasila).

Kelima, memajukan peran Gereja (kerja sama awam-hierarki) dalam pendidikan nilai-nilai Pancasila serta mendorong awam untuk terjun ke bidang politik, ekonomi dan pemerintahan. Mengasah kepekaan dan mendorong aksi: mewujudkan tugas dan tanggung jawab sosial awam Katolik agar menjadi pelaku keadilan dan pemulih keutuhan ciptaan.

Menggalakkan usaha pembangunan ekonomi dengan memperhatikan hak-hak masyarakat (adat), keadilan dan perlindungan lingkungan hidup. Jurang kaya miskin mesti menjadi komitmen awam Katolik untuk mencegah semakin lebarnya kesenjangan itu dan pencabutan hak-hak masyarakat serta kecemburuan sosial.

Kerasulan kepada awam-awam kaya perlu dilakukan. Kedamaian hanya dapat terwujud jika ada keadilan. Mewujudkan keadilan adalah saripati dari tugas mewartakan Injil. Pendampingan dan panduan pemimpin Gereja untuk awam agar berani terlibat di pelbagai lini kehidupan terasa makin perlu.

Keenam, para gembala Gereja diharapkan menjadi promotor utama untuk mendekatkan Gereja dengan masyarakat, agar Gereja tidak terkesan eksklusif, tetapi hadir dalam gerakan afirmatif melalui aksi sosial, pemberdayaan masyarakat serta membangun kebersamaan hidup demi mengikis kecemburuan, antipati dan penolakan. Kerja sama dengan pemerintah, pemimpin-pemimpin masyarakat/adat dan agama menjadi pilihan penting untuk pemimpin Gereja. Memajukan peran masyarakat awam, terutama tokoh-tokoh adat, yang sebenarnya masih signifikan, kendati sering diperalat korporasi (bdk dokpenkwi.org).

Kita bersyukur atas pikiran bernas yang ditinggalkan almarhum bagi Gereja khususnya dan Indonesia umumnya. Gagasan brilian yang merupakan perpaduan “sempurna” antara kecerdasan intelektual dan kepekaan membaca konteks pastoral. Gagasan intelektual terasa adem penyentuh tanah yang konkret.

Perpaduan antara kecerdasan intelektual dan kepekaan atas realitas yang merupakan narasi dari keterlibatan menjadi “gembala berbau domba” mengulminasi dalam kebijaksanaan: komit merawat bumi dan setia mengkritik demi sebuah pembaruan dan perubahan wajah bumi.

Selamat jalan Pater Dr. Peter C. Aman OFM. Requiecat in pace et vivat ad vitam aeternam! *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved