Papua Bergolak Lagi, Benny Wenda Mengaku Jadi Presiden Lalu Sebut Ini: Sudah Saatnya Indonesia Pergi
Benny Wenda mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara Papua Barat pada Selasa 1 Desember 2020 bertepatan dengan momen hari
OPM mengklaim sebagai kelompok pro-kemerdakaan Papua tertua, yang didirikan pada 1965 untuk memisahkan diri dari Indonesia yang menguasai Papua sejak 1963.
Sementara itu, ULMWP dibentuk pada 2014 untuk menyatukan tiga gerakan pro-kemerdekaan Papua, yakni Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Koalisi Pembebasan Nasional Papua Barat (WPNCL) dan Parlemen Nasional Papua Barat melalui Deklarasi Saralana.

Apa Sikap Pemerintah Indonesia?
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, membantah legitimasi Wenda dan langkah ULMWP untuk membentuk pemerintahan sementara.
Sementara, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Kedeputian V bidang Politik, Hukum dan Pertahanan Keamanan, dan HAM, Laus Deo Calvin Rumayom, menegaskan bahwa otonomi khusus (otsus) sebagai 'jalan tengah' penyelesaian masalah Papua.
"Kami di KSP fokus pada persoalan pembangunan yang mandek," kata Laus.
"Isu utama di Papua adalah isu pembangunan dan bagaimana kita bisa melakukan percepatan sehingga kita keluar dari ketertinggalan yang selama ini dikeluhkan oleh sejumlah masyarakat kita di Papua dan Papua Barat, terkait dengan prioritas-prioritas pembangunan yang ada di otsus, yaitu pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, ekonomi, infrastruktur dan lain-lain," jelas Laus kemudian.
Lebih lanjut, Laus menjelaskan selama dua puluh tahun penerapan otsus sejak 2001 silam "masih ada banyak kekurangan yang dibenahi" dengan "pendekatan antropologis dan kesejahteraan".
"Tentu otsus harus dievaluasi dari sisi keuangan dan kewenangan, yang belum secara maksimal terakomodir dalam undang-undang Otsus. Perbaikan itu akan dilakukan secara bertahap," kata dia.
Sejak tahun 2002 hingga 2020 ini, Papua dan Papua Barat telah memperoleh dana otonomi khusus (otsus) yang jumlahnya mencapai sekitar Rp94 triliun.
Tiap tahunnya, dana yang diperoleh kedua provinsi itu pun meningkat. Pada 2021, pemerintah menganggarkan Rp7,8 triliun untuk dua provinsi itu, meningkat 3,3% dari tahun 2020.
Di sisi lain, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, mengatakan evaluasi otsus secara keseluruhan diperlukan, tak hanya soal dana.
Pasalnya, kata Timotius, banyak hal yang diatur dalam otsus yang hingga saat ini belum terlaksana.
Beberapa di antaranya adalah mengenai pembentukan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua, hingga Komisi Hukum Ad Hoc.
Akan tetapi, gelombang penolakan otsus hingga kini masih terjadi.