Berita Timor Leste
Nama 7 Jendral Indonesia yang Dituduh PBB Lakukan Kekerasan di Timor Leste, Media Inggris Ungkap Ini
Nama 7 Jendral Indonesia yang Dituduh PBB Lakukan Kekerasan di Timor Leste, Media Inggris Ungkap Ini
POS KUPANG.COM -- Nama 7 Jendral Indonesia yang Dituduh PBB Lakukan Kekerasan di Timor Leste, Media Inggris Ungkap Ini
Lepasnya Timor Leste dari Indonesia untuk menjadi negara merdeka ternyata tidak membuat RI ini lepas dari urusan dengan Bumi Lorosae
Ada-ada saja tuduhan yang datang dari lembaga internasional terhadap pemerintah Indonesia bersama TNI.
Baca juga: TERBARU FREE FIRE Kode Redeem FF 29 November 2020, Dapatkan Karakter Terbaru DASHA The PARTY GIRL
Baca juga: PROMO KFC Hari Ini 30 November 2020 Free KFC Soup dan Perkedel Khusus Home Delivery KFC
Baca juga: Ramalan Zodiak Senin 30 November 2020, Sagitarius Asmaramu Bergejolak Tetap Tenang Jangan Buru-buru
Baca juga: 4 Zodiak Ini Paling Tak Percaya Diri, Selalu Merasa Kurang dari yang Lain, Kamu Termasuk?
Pada tahun 1975, Indonesia menginvasi Timor Timur (sebelum berganti menjadi Timor Leste), melakukan pencaplokan pada wilayah bekas penjajahan Potugis
Setelah 24 tahun melakukan perjuangan, rakyat Timor Leste menyerukan kemerdekaan pada tahun 1999.
Namun, seruan kemedekaan itu diwarnai pertumpahan darah oleh milisi pro-Indonesia di mana lebih dari 1.000 orang, diperkirakan tewas.
Dakwaan PBB mengatakan milisi tersebut bertindak dengan dukungan militer Indonesia.
Hingga kemudian, PBB juga melakukan referendum pemungutan suara untuk menentukan kemerdekaan Bumi Lorosae.
Tahun 2002 dilakukan referendum untuk menegaskan keinginan rakyat Timor Leste, memilih merdeka atau berada di bawah Indonesia.
Rakyat Timor Leste memilih utuk merdeka, hal itu membuat wilayah itu dinyatakan sebagai sebuah negara yang berdiri sendiri.
Namun, meski telah merdeka kerugian besar dialami Timor Leste , invasi Indonesia meninggalkan kerusakan dan kematian yang cukup besar.
Dalam hal ini, PBB juga menuduh beberapa pejabat hingga jenderal Indonesia yang terlibat dalam pertumpahan darah di Timor Leste.
Diungkap media inggris The Guardian , tahun 2003, Jenderal Wiranto dianggap sebagai salah satu yang bertanggung jawab atas pertumpahan darah tersebut.
Dia didakwa oleh PBB bersama dengan enam jenderal lainnya, termasuk mantan gubernur Timor Letse Abilio Soares
Namun, waktu itu Indonesia menolak menyerahkan salah satu terdakwa ke pengadilan di Dili, ibu kota Timor Leste.
Jakarta memilih menolak untuk menghormati surat perintah penangkapan PBB, dan mengatakan akan mengabaikan permintaan PBB tersebut.
"Dia (Jenderal Wiranto) adalah orang bebas. Mengapa mengambil tindakan?" kata Menteri Luar Negeri Indonesia kala itu, Hassan Wirayuda . "
"Siapa yang memberi mandat kepada (PBB) untuk mendakwa orang Indonesia, atas dasar apa, wewenang apa?" katanya.
PBB mengatakan dalam sebuah pernyataan, "Semua terdakwa telah dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena pembunuhan, deportasi dan penganiayaan."
Kejahatan yang dituduhkan semuanya dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil Timor Timur dan secara khusus menargetkan mereka yang diyakini sebagai pendukung kemerdekaan Timor Timur
Mandat pengadilan Dili mencakup semua kejahatan yang dilakukan pada tahun 1999 di Timor Timur , terlepas dari apakah tersangka orang Timor-Leste atau orang Indonesia.
Pada waktu itu telah didakwa 178 orang, tetapi 106 dari mereka termasuk 12 tentara Indonesia tetap bebas di Indonesia.
Namun, Indonesia belum mengirimkan satupun warganya ke Timor Leste untuk diadili dalam kasus-kasus tersebut.
Jaksa di Dili telah mengirimkan surat perintah untuk delapan surat dakwaan terakhir ke kantor jaksa agung dan akan meneruskannya ke badan penegakan hukum internasional, Interpol.
Di bawah hukum Timor Lorosae , dakwaan tersebut memiliki hukuman maksimal 25 tahun penjara.
"Saya menerima bahwa saat ini kami tidak dapat menjalankan surat perintah penangkapan itu," kata Stuart Alford, seorang jaksa penuntut di unit kejahatan berat di Dili.
"Tapi itu tidak berarti kami adalah satu-satunya orang yang dapat memainkan peran mereka dalam hal ini. Sekarang terserah orang lain di luar kantor kejaksaan di Timor Leste untuk memutuskan ke arah mana penyelidikan dan penuntutan ini akan diambil," katanya.
Kelompok hak asasi manusia, yang telah lama menyerukan agar Jenderal Wiranto dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa Agustus 1999.
Surat dakwaan tersebut menuntut Jenderal Wiranto, enam jenderal yang bertanggung jawab atas keamanan di Timor Leste dan mantan gubernur Soares dengan pendanaan, pelatihan dan mempersenjatai milisi pro-Indonesia yang bergabung dengan militer Indonesia dalam membunuh lebih dari 1.000 orang dan memaksa 250.000 orang Timor untuk melarikan diri.
Keenam jenderal tersebut adalah Mayjen Zacky Anwar Makarim , Mayjen Kiki Syahnakri , Mayjen Adam Rachmat Damiri, Kolonel Suhartono Suratman, Kolonel Mohammad Noer Muis, dan Letkol Yayat Sudrajat.
Tahun 2002 Indonesia membentuk pengadilan hak asasi manusia khusus untuk menangani kasus-kasus yang meliput kekerasan di Timor Timur.
Beberapa dari mereka yang didakwa hari ini termasuk di antara 18 pejabat militer dan polisi yang telah diadili di Jakarta atas dugaan keterlibatan mereka dalam kekerasan tersebut.
Baca juga: TERBARU FREE FIRE Kode Redeem FF 29 November 2020, Dapatkan Karakter Terbaru DASHA The PARTY GIRL
Baca juga: Ramalan Zodiak Senin 30 November 2020, Sagitarius Asmaramu Bergejolak Tetap Tenang Jangan Buru-buru
Baca juga: 4 Zodiak Ini Paling Tak Percaya Diri, Selalu Merasa Kurang dari yang Lain, Kamu Termasuk?
Baca juga: BPN Sumba Timur Terapkan Layanan Sertifikat HT Elektronik Pioner di NTT
Soares telah dijatuhi hukuman tiga tahun, tetapi tetap bebas saat naik banding, sementara persidangan Damiri dan Pak Suratman terus berlanjut.
Yayat Sudrajat telah dibebaskan dari semua tuduhan.
Jakarta menunjuk persidangan sebagai bukti komitmennya untuk menjamin keadilan.
Tapi aktivis hak asasi manusia mengkritik persidangan, Karena secara total, hanya empat tersangka yang dinyatakan bersalah.
Surat dakwaan hari ini menuduh orang-orang itu terlibat dalam 280 pembunuhan dalam 10 serangan terpisah.
Diantaranya adalah pembantaian gereja di Liquica, serangan terhadap rapat umum di Dili dan serangan terhadap kompleks gereja di Dili.
* Makin Memburuk, Kondisi Ekonomi Timor Leste Tahun 2020 Prihatin, Minyak Hampir Habis Tabungan Ludes
Timor Leste, negara ini memperoleh kemerdekaan dari Indonesia tahun 1999, dan secara resmi melalui referendum tahun 2002.
Meskipun merdeka kurang lebih 20 tahun lamanya, negara ini terus mendapat sorotan karena ekonominya yang tak kunjung membaik.
Ladang minyak yang dikuasai Australia, hingga kesejahteraan masyarakatnya yang dianggap cukup buruk.
Pada 29 Agustus 2016, negara ini melakukan proses rekonsiliasi PBB, di Den Haag, untuk menyelesaikan sengketa minyak dengan Australia.
Timor Leste berharap hal ini akan menyelesaikan kebuntuan, tentang sengketa batas laut yang kaya akan minyak bumi.
Kepentingan utama Timor Leste adalah mengamankan kepemilikan ladang gas Greater Sunrise.
Menurut New Mandala, minyak gas tersebut mendukung ambisi industri minyak yang selama ini dielu-elukan Timor Leste.
Strategi diplomasi ini dirancang menekan pemerintah Australia untuk tunduk pada pengadilan internasional mengenai penetapan batas.
Pada tahun 2002, Australia menarik diri dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan Pengadilan Internasional untuk instrumen arbitrase Hukum Laut.
Hal itu memaksa Timor Leste untuk bernegosiasi secara bilateral dalam konteks asimetri kekuatan yang signifikan.
Namun, strategi Timor Leste untuk membawanya ke Den Haag gagal untuk menghindari rintangan utama.
Perselisihan yang tidak bisa diselesaikan ini mencegahnya mencapai tujuan Greater Sunrise.
Tantangan kebijakan yang sebenarnya bagi Timor Leste adalah kerentanannya yang meningkat yang disebabkan oleh situasi ekonomi yang menurun dengan cepat.
Terus terang, Timor Leste kehabisan waktu.
Sekitar 95 persen dari anggaran negara Timor Leste berasal dari pendapatan minyak dan gas dari Wilayah Pengembangan Minyak Bersama.
Merupakan sumber penghasilan sekitar 80 persen dari seluruh PDB Timor-Leste.
Pemantau ekonomi La'o Hamutuk memperkirakan bahwa ladang minyak Bayu-Undan akan berhenti berproduksi pada tahun 2022 dan dana kekayaan negara senilai 16 miliar dollar AS dapat habis pada tahun 2025.
Tanpa bantuan arbitrator pihak ketiga untuk tujuan penetapan batas, ketergantungan minyak Timor Leste yang signifikan menciptakan kerentanan yang telah dieksploitasi oleh pemerintah Australia berturut-turut.
Timor-Leste memandang Perjanjian 2006 tentang Pengaturan Maritim Tertentu di Laut Timor (CMATS) sebagai tidak valid karena tuduhan mata-mata Australia selama negosiasi 2004.
Tuduhan mata-mata bukanlah hal baru, tetapi tampaknya digali sebagai taktik yang sengaja dirancang untuk memisahkan Timor Leste dari CMATS.
Kasus Pengadilan Internasional untuk menentukan validitas CMATS saat ini sedang menunggu keputusan.
Jika Timor Leste menang, itu berarti kembali ke titik awal dengan negosiasi Greater Sunrise.
Sulit untuk melihat bagaimana ini menyajikan solusi praktis dan jangka panjang untuk menyelesaikan perselisihan.
Terlepas dari retorika simbolis tentang batas-batas dan kedaulatan, persaingan sebenarnya seputar batas-batas maritim permanen menyangkut di mana batas-batas itu harus ditarik.
Hal ini berkaitan dengan perbedaan interpretasi Timor Leste dan Australia terhadap hukum internasional, khususnya pedoman yang diberikan oleh UNCLOS dalam penentuan batas.
Satu klaim menyesatkan yang berulang dalam komentar tentang masalah ini adalah Timor Leste akan memiliki minyak dan gas Laut Timor jika perbatasan ditetapkan sesuai dengan prinsip garis tengah UNCLOS.
Memang benar bahwa garis tengah tersebut didukung oleh hukum perjanjian kontemporer, praktek kenegaraan dan yurisprudensi internasional.
Namun, garis krusial dalam menentukan kepemilikan Greater Sunrise secara spesifik bukanlah garis median, melainkan batas lateral timur.
Menetapkan garis tengah akan memberikan JPDA kepada Timor Leste, tetapi itu sudah menerima bagian 90 persen dari sumber daya yang menipis itu.
Agar Timor Leste dapat menguasai Greater Sunrise, batas lateral timur yang memisahkannya perlu bergeser secara substansial ke timur.
Sengketa Laut Timor semakin menyerupai permainan jurang, yang mungkin terbukti membawa malapetaka bagi kenegaraan Timor.
Australia dapat memperpanjang perselisihan, dan sejarah memberi tahu kita bahwa ia akan terus melindungi kepentingan nasionalnya.
Tetapi bagaimana Timor Leste akan memenuhi anggaran negara jika rencana eksploitasi untuk Greater Sunrise tidak disepakati pada tahun 2025?
Bahkan jika Timor-Leste dapat meyakinkan Australia untuk menyelesaikan perbatasan di ICJ, resolusi akan memakan waktu bertahun-tahun lagi.
Apakah pengadilan dapat memperlakukan ini sebagai sengketa bilateral masih dipertanyakan karena Indonesia muncul di latar belakang sebagai calon penggugat ketiga.
* Mati-matian Ingin Gabung ASEAN, Timor Leste Sama Apesnya dengan Australia, Ternyata Ini Penyebabnya
Sejak 2011 silam, Timor Leste telah mengajukan permohonan resmi untuk bergabung dengan Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN.
Namun, negara yang secara resmi telah merdeka selama 18 tahun ini masih belum berhasil, ia masih ditolak.
Hingga saat ini, Timor Leste sendiri masih menjadi negara termiskin di Asia Tenggara juga di dunia.
Ia juga tengah berupaya bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Keputusannya hendak bergabung dengan WTO juga tak lepas dari keinginan negara ini menjadi anggota ASEAN.
Menurut The Jakarta Post dikutip dari Pos Kupang, Timor Leste memulai pembicaraan resmi untuk bergabung dengan WTO pada Jumat (3/10/2020).
Selain dilakukan sebagai upaya untuk memulihkan perekonomiannya, ternyata tujuan Timor Leste bergabung dengan WTO juga sebagai batu loncatan untuk aksesi ke ASEAN.
Menteri Koordinator Perekonomian Timor Leste, Joaquim Amaral mengatakan, Timor Leste bergabung dengan WTO akan "mempercepat pertumbuhan dan diversifikasi ekonomi".
"Itu juga akan menjadi batu loncatan untuk aksesi (Timor Leste) ke Asean," katanya.
Amaral mengatakan negaranya "berkomitmen penuh untuk melaksanakan reformasi struktural, legislatif dan kebijakan" untuk memenuhi aturan WTO.
Prosedur aksesi WTO biasanya berlangsung beberapa tahun mengingat kompleksitas perdagangan modern dan kebutuhan akan konsensus di antara anggota, dikutip Pos Kupang.
Disebut bahwa pertemuan berikutnya untuk kasus Timor bisa dilakukan awal tahun depan.
Ambisi Timor Leste untuk bergabung dengan ASEAN cukup tinggi.
Timor Leste mati-matian bergabung anggota ASEAN, untuk mencari perlindungan perbatasan dari invasi dan kekuatan yang lebih kuat.
Bergabung dengan ASEAN, artinya akses ke pasar bebas dan pergerakan bebas di Asia Tenggara, ini dipandang m
Jangankan Timor Leste yang memang tengah membutuhkan jalan untuk keluar dari kemiskinan, negara sekelas Australia pun rupanya juga sangat ingin bergabung dengan ASEAN.
Jika Timor Leste masih ditolak, Australia justru hampir mustahil bisa bergabung dengan organisasi negara-negara Asia Tenggara ini.
Hal itu dipengaruhi oleh rekam jejaknya dalam menjalin hubungan dengan tetangganya sendiri, yang tak lain Timor Leste.
Seperti banyak diketahui, Australia terlibat skandal penyadapan yang menargetkan pemerintah Timor Leste dalam kesepakatan mereka soal batas maritim kedua negara yang mencakup ladang minyak.
Kesepakatan Australia dengan negara kecil itu dapat mempengaruhi upayanya untuk bergerak lebih dekat, secara diplomatis dan secara ekonomi, ke wilayah tersebut.
“Tidak ada keraguan bahwa reputasi Australia telah terpukul, dan memang seharusnya demikian. Maksud saya, memata-matai tetangga Anda untuk menipu mereka dari sumber daya alam adalah tindakan nyata, "kata Clarke, yang juga direktur kampanye di Pusat Hukum Hak Asasi Manusia Australia, dikutip dari southeastasiaglobe.com.
“Negara lain di wilayah kami akan dibenarkan untuk bersikap skeptis tentang niat Australia," katanya.
Meskipun menjadi sekutu AS, Australia semakin terikat dengan China secara ekonomi, meninggalkan apa yang disebut "Negara Beruntung" menghadapi beberapa pilihan sulit.
Hal itu karena kedua negara adidaya itu semakin terlibat persaingan di tengah meningkatnya ketegangan seputar tarif, teknologi, dan pernyataan China tentang kepemilikan Laut Cina Selatan.
Mantan Perdana Menteri Malcolm Turnbull mengakui selama masa jabatannya baru-baru ini, mengisyaratkan pada tahun 2017 bahwa Australia dan Asia Tenggara - yang juga terperangkap di tengah-tengah ketika hubungan AS dan China memburuk - dapat meningkatkan daya tawar kolektif mereka dengan kedua raksasa tersebut dengan bekerja lebih dekat bersama.
Menepis anggapan bahwa Australia harus memilih antara China dan AS sebagai "pilihan yang salah", Turnbull memberikan pidato di Singapura di mana ia berbicara tentang pertemuan para pemimpin Asia Tenggara pertama yang diselenggarakan oleh Australia sebagai "kesempatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, untuk memperkuat kemitraan strategis Australia dengan ASEAN ”
Namun, hubungan Australia dengan Asia Tenggara telah berkembang dan menyusut selama bertahun-tahun.
Perdana Menteri lama Singapura Lee Kuan Yew pernah memperingatkan pada tahun 1980 bahwa Australia bisa berakhir sebagai "sampah putih" Asia jika ekonominya terus berkinerja buruk seperti saat itu.
Artikel ini telah tayang di https://intisari.grid.id/read/032442163/pantas-saja-timor-leste-mati-matian-ingin-gabung-asean-tapi-gagal-negara-besar-sekelas-australia-saja-juga-sangat-ingin-jadi-sekutu-asean-tapi-hampir-mustahil-d?page=all