Berita Lembata Terkini
WASPADA Gunung Ile Lewotolok Muntahkan Debu hingga 500 Meter, Warga Agar, INFO
Gunung Ile Lewotolok di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, erupsi, Jumat (27/11/2020) pagi. Ile Lewotolok menyemburkan asap tebal dan debu se
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Ferry Ndoen

POS-KUPANG.COM LEWOLEBA - Gunung Ile Lewotolok di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, erupsi, Jumat (27/11/2020) pagi. Ile Lewotolok menyemburkan asap tebal dan debu setinggi 500 meter pasca terjadi letusan vulkanik satu kali dengan amplitudo 34 mm dengan durasi 120 detik.
Erupsi Ile Lewotolok juga disertai letusan vulkanik dalam sebanyak empat kali dengan amplitudo 3-9 mm dan berdurasi 5-8 detik. Warga yang berdomisili sekitar lereng gunung itu diimbua menjauh dari zona bahaya.
Kepala Pos Pengamatan Gunung Lewotolok, Stanislaus Arakian menjelaskan, erupsi mulai menurun, namun aktivitas vulkanis masih fluktuatif. Sedangkan status Ile Lewotolok masih di level waspada.
Menurut Stanis, belum adanya peningkatan yang lebih tinggi. Saat ini, masih proses pengamatan baik seismik ataupun visual dan data pendukung lainnya.
Baca juga: Ile Lewotolok Erupsi Wabup Langoday Minta Warga Jangan Panik
"Menurut data seismik yang diterima, erupsi Gunung Lewotolok yang terjadi sejak pukul 05.57 Wita tersebut disertai gempa vulkanik dalam dan tremor menerus," kata Stanislaus, Jumat siang.
Stanis menjelaskan, pada periode pengamatan Jumat (27/11) pukul 00.00-06.00, tampak cuaca cerah. Angin bertiup lemah ke arah barat laut dengan suhu udara 30 derajat Celsius.
Gunung tampak terlihat jelas. Asap kawah bertekanan kuat teramati berwarna kelabu dan hitam dengan intensitas tebal dan tinggi 500 meter di atas puncak kawah. Teramati pula letusan dengan tinggi 500 m dan warna asap kelabu dan hitam.
Baca juga: Debu Vulkanik Guyur Ile Ape Gunung Lewotolok Lembata Erupsi
Sedangkan tremor menerus (Microtremor) terekam dengan amplitudo 2-3 mm (dominan 2 mm)
Ia mengimbau masyarakat sekitar, termasuk pendaki gunung dan wisatawan tidak beraktivitas dalam zona bahaya dengan radius 2 kilometer.
"Tidak berada, tidak melakukan pendakian dan tidak beraktivitas dalam zona perkiraan bahaya dalam radius 2 kilometer dari puncak atau pusat aktivitas Gunung Lewotolok," tandasnya.
Penyelidik Bumi Madya, Ugan Saing menambahkan, sebelum terjadi erupsi, terekam terjadi enam kali gempa vulkanik dalam pada hari Kamis (26/11) selama pukul 19.47-22.00 Wita.
Empat gempa vulkanik dalam juga terpantau sejak pukul 00.00 Wita hingga terjadinya erupsi pada pukul 05.57 Wita.
Menurut Ugan, rekaman gempa vulkanik dalam ini menunjukkan adanya aktivitas di kawah gunung Ile Lewotolok. Aktivitas itu berupa adanya material gunung yang ingin membuka jalan keluar kawah hingga terjadinya erupsi.
"Sepertinya ada yang sedang aktif di gunung," kata Ugan saat ditemui di Pos Pemantau Gunung Api Ile Lewotolok, Desa Laranwutun, Kecamatan Ile Ape, Jumat kemarin.
Pasca terjadinya erupsi, kata Ugan, sempat ada tremor dan aktivitasnya kemudian berangsur menurun pada pukul 07.50 Wita."Nanti kita lihat perkembangannya lagi menurun atau stabil," ujarnya.
Ia menegaskan, status aktivitas Gunung Lewotolok sudah ditingkatkan dari normal menjadi waspada sejak 7 Oktober 2017. "Belum pernah kita turunkan statusnya karena gunung ini harus terus diwaspadai," imbuh Ugan.
Level statusnya pada saat itu ditingkatkan karena terjadi gempa tektonik kemudian diikuti peningkatan gempa vulkanik. "Kita naikkan menjadi waspada, setelah itu aktivitasnya cenderung menurun dan konsisten sampai sebelum erupsi Jumat pagi," jelas Ugan.
Ugan mengingatkan warga tidak panik dengan situasi tersebut, tetap waspada dan selalu mengikuti perkembangan terkini aktivitas Gunung Lewotolok.
"Sejak pukul 6.30 Wita, terpantau kalau Ile Lewotolok asap dari dalam kawah sudah kembali putih. Tidak ada lagi abu kehitaman dan tidak ada lagi material abu," sebut Ugan.
Menurut Ugan, sejak 2012 ini merupakan kejadian erupsi pertama. Lalu pada tahun 2017 statusnya ditingkatkan menjadi waspada karena adanya gempa tektonik kemudian diikuti peningkatan vulkanik.
Kepala Desa Waimatan, Kecamatan Ile Ape Timur, Mus Betekeneng menjelaskan, warga merasakan adanya hujan pasir bercampur debu, menderu-deru di atas atap rumah selama beberapa jam. Menurutnya, kejadian itu sejak Jumat pukul 3 dini hari dan berangsur reda.
Mus mengakui, awalnya mereka tidak tahu kalau hujan pasir tersebut akibat erupsi Gunung Lewotolok. "Rasanya seperti hujan karena pasir dan abu yang beterbangan di atap rumah, tetapi tidak ada hujan yang turun," ujar Mus.
Camat Ile Ape, Simon Langoday mengatakan, abu vulkanik menghujani beberapa desa di Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur.
Simon menerangkan warga masih melakukan aktivitas seperti biasanya karena kondisi belum terlalu mengkhawatirkan. Warga juga tidak merasa panik secara berlebihan karena menurutnya hal-hal semacam ini sudah biasa dialami masyarakat yang bermukim di lereng Ile Lewotolok.
"Mulai dari Desa Waowala sampai Napasabok itu kalau kita keluar rumah pagi itu masih ada butiran-butiran debu di atap rumah dan halaman," terang Simon saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin.
Informasi yang dihimpun Pos Kupang, abu vulkanik juga melanda Desa Waimatan, Desa Lamagute dan Desa Aulesa, Kecamatan Ile Ape.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lembata, Kanis Making menerangkan, masyarakat Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur sudah diimbau untuk tidak mendekat ke arah zona perkiraan bahaya.
Menurut Kanis, erupsi mulai terjadi pukul 05.57 Wita. Gunung Lewotolok menyemburkan abu berpasir dan asap.
Berdasarkan informasi dari Pos Pemantau Gunung Ile Lewotolok sebelum erupsi sempat ada gempa vulkanik dalam yang terekam sejak Kamis kemarin.
Visual asap teramati dengan intensitas berwarna abu-abu kehitaman dengan tinggi kolom asap sekitar 500 meter di atas puncak condong dan terbawa angin ke arah barat.
"Masyarakat di desa setempat sudah diimbau pertama menghindari jarak 5 kilometer dari lereng gunung dan selalu menggunakan masker, di desa biasa digantung toa dan langsung disampaikan," katanya.
"Petugas sudah ada di pos pemantau Lewotolok. Kita stand by, levelnya waspada II sehingga rekomendasi masyarakat bisa menghindari zona bahaya. Asap sudah mulai turun dan tidak sampai di kampung," tambah Kanis.
Wakil Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday mengimbau masyarakat tetap tenang dan tidak panik. Permintaan itu disampaikan melalui kepala desa, tokoh masyarakat dan aktivis LSM.
"Saya sampaikan ke masyarakat kalau ini gejala alam yang biasa kita alami, jadi tidak perlu panik. Yang punya aktivitas mendaki gunung agar dibatasi dulu dan menjauhi zona-zona bahaya," ujar Thomas.
Sementara itu, pada Jumat pukul 14.00 Wita, Kota Lewoleba diguyur hujan lebat sejak pukul 14.00 Wita. Ini merupakan hujan dengan intensitas tinggi dan terlama.
Tujuh Kali Meletus
GUNUNG Lewotolok atau Ile Lewotolok dengan ketinggian .423 meter di atas permukaan laut. Nama Ile Lewotolok berasal dari bahasa daerah setempat (Lamaholot) yang berarti gunung api.
Ile Lewotolok pernah meletus dahsyat berkali-kali sejak tahun 1666 hingga 1920-an. Di antaranya letusan yang terjadi pada tahun 1660, 1819, 1849, 1852, 1864, 1889, 1920.
Baca juga: Gunung Inerie Batuk-Batuk, Tapi Pengamat Ini Kata Aman Saja, Simak INFO
Dampak letusan-letusan yang terjadi di gunung tersebut disebut telah meluluhlantakkan seluruh Pulau Lembata dan pulau-pulau di sekitarnya.
Pada 7 Oktober 2017, Gunung Lewotolok dinaikkan statusnya menjadi waspada. Masyarakat dilarang mendekati zona perkiraan bahaya di area kawah dan di seluruh area dengan radius 2 km.
Selang beberapa hari dari kenaikan status itu, wilayah Lembata juga diguncang gempa berkali-kali, yang mengakibatkan 671 warga diungsikan.
Baca juga: Ini yang AKan Dilakukan RSUD SK Lerik Kota Kupang ke Depannya, Simak YUK INFO
Harian Kompas memberitakan, 11 Oktober 2017, gempa merupakan akibat aktivitas sesar lokal, namun tidak dapat disimpulkan gempa berkaitan dengan peningkatan aktivitas Gunung Lewotolok.
Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday saat itu mengatakan Gunung Lewotolok merupakan gunung yang tidak punya hutan dan pohon. Adapun, lereng adalah batu wadas diselingi pasir dan tanah.
Sehingga saat guncangan gempa terjadi, material berjatuhan dari arah gunung dan menimpa ladang maupun pemukiman warga.
Masyarakat sekitar Ile Lwotolok memiliki kepercayaan erupsi merupakan kemarahan leluhur. Sementara, belerang yang mengeluarkan bau menyengat dimaknai sebagai pengingat kemarahan tersebut.
Bagi masyarakat Ile Ape adalah adalah sentral kehidupan, setiap kegiatan harus mendapatkan izin leluhur di atas puncak.
Oleh karena itu, terdapat upacara utan werun (kacang tumbuh) yang dilakukan masyarakat adat Lamarian. Pesta adat itu bertujuan meminta hujan, kesuburan, keselamatan, kesejahteraan, perdamaian, bebas dari musuh, dan gangguan penyakit.
Masyarakat sekitar juga mempercayai belerang memberi dampak pada warna dan keutuhan gigi. Belerang dianggap dapat menyebabkan gigi hitam yang bisa mengakibatkan keropos. Karena itu, warga lereng Gunung Lewotolok yang ingin gigi anaknya berwarna normal kerap menitipkan anaknya kepada keluarga di Lewoleba, sekitar 45 kilometer dari Ile Api. (ll/kompas.com)
