Gunung Lewotolok Erupsi Pemda Lembata Imbau Warga Waspada
Gunung Ile Lewotolok di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, erupsi, Jumat (27/11/2020) pagi

"Saya sampaikan ke masyarakat kalau ini gejala alam yang biasa kita alami, jadi tidak perlu panik. Yang punya aktivitas mendaki gunung agar dibatasi dulu dan menjauhi zona-zona bahaya," ujar Thomas.
Sementara itu, pada Jumat pukul 14.00 Wita, Kota Lewoleba diguyur hujan lebat sejak pukul 14.00 Wita. Ini merupakan hujan dengan intensitas tinggi dan terlama.
Tujuh Kali Meletus
GUNUNG Lewotolok atau Ile Lewotolok dengan ketinggian .423 meter di atas permukaan laut. Nama Ile Lewotolok berasal dari bahasa daerah setempat (Lamaholot) yang berarti gunung api.
Ile Lewotolok pernah meletus dahsyat berkali-kali sejak tahun 1666 hingga 1920-an. Di antaranya letusan yang terjadi pada tahun 1660, 1819, 1849, 1852, 1864, 1889, 1920.
Dampak letusan-letusan yang terjadi di gunung tersebut disebut telah meluluhlantakkan seluruh Pulau Lembata dan pulau-pulau di sekitarnya.
Pada 7 Oktober 2017, Gunung Lewotolok dinaikkan statusnya menjadi waspada. Masyarakat dilarang mendekati zona perkiraan bahaya di area kawah dan di seluruh area dengan radius 2 km.
Selang beberapa hari dari kenaikan status itu, wilayah Lembata juga diguncang gempa berkali-kali, yang mengakibatkan 671 warga diungsikan.
Harian Kompas memberitakan, 11 Oktober 2017, gempa merupakan akibat aktivitas sesar lokal, namun tidak dapat disimpulkan gempa berkaitan dengan peningkatan aktivitas Gunung Lewotolok.
Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday saat itu mengatakan Gunung Lewotolok merupakan gunung yang tidak punya hutan dan pohon. Adapun, lereng adalah batu wadas diselingi pasir dan tanah.
Sehingga saat guncangan gempa terjadi, material berjatuhan dari arah gunung dan menimpa ladang maupun pemukiman warga.
Masyarakat sekitar Ile Lwotolok memiliki kepercayaan erupsi merupakan kemarahan leluhur. Sementara, belerang yang mengeluarkan bau menyengat dimaknai sebagai pengingat kemarahan tersebut.
Bagi masyarakat Ile Ape adalah adalah sentral kehidupan, setiap kegiatan harus mendapatkan izin leluhur di atas puncak.
Oleh karena itu, terdapat upacara utan werun (kacang tumbuh) yang dilakukan masyarakat adat Lamarian. Pesta adat itu bertujuan meminta hujan, kesuburan, keselamatan, kesejahteraan, perdamaian, bebas dari musuh, dan gangguan penyakit.
Masyarakat sekitar juga mempercayai belerang memberi dampak pada warna dan keutuhan gigi. Belerang dianggap dapat menyebabkan gigi hitam yang bisa mengakibatkan keropos. Karena itu, warga lereng Gunung Lewotolok yang ingin gigi anaknya berwarna normal kerap menitipkan anaknya kepada keluarga di Lewoleba, sekitar 45 kilometer dari Ile Api. (ll/kompas.com)