Opini Pos Kupang

Kontroversi Pembangunan Jembatan Pancasila Palmerah, PHP atau Urgensi ? (2)

Kontroversi Pembangunan Jembatan Pancasila Palmerah, PHP atau Urgensi? (2)

Editor: Kanis Jehola
ISTIMEWA
JEMBATAN PALMERAH - Jembatan Pancasila Palmerah di Kabupaten Flores Timur. 

Kontroversi Pembangunan Jembatan Pancasila Palmerah, PHP atau Urgensi? (2)

Oleh : Andre Koreh, Kadis PUPR NTT 2009-2019 dan Saat Ini Staf Khusus Gubernur NTT

POS-KUPANG.COM - KETIKA rencana pembangunan jembatan yang akan menghubungkan Pulau Flores dan Pulau Adonara mulai diwacanakan pada tahun 2014, langsung memicu kontroversi di masyarakat apalagi sampai dianggarkan dana dalam APBD NTT 2015 untuk kegiatan Pra- FS ( pra - feasibility study ), dilanjutkan dengan pembiayaan melalui APBN 2016 di Balai Jalan Nasional Wilayah X ( waktu itu wilayah VIII -Kupang ) untuk kegiatan FS ( feasibility study ) sebagai kelanjutan Pra- FS tahun sebelumnya.

Banyak yang mendukung walau tidak sedikit yang mencibir dan menolak dengan argumen masing-masing. Yang mendukung alasannya karena memang itu kebutuhan dan layak dibangun.

Bagi yang menolak ataupun yang mencibir, alasan pembangunan jembatan itu, bukan kebutuhan tapi sekedar keinginan untuk kepentingan pecintraan rezim waktu itu.

Baca juga: Jumlah Pelaku Perjalanan di Sumba Timur Mencapai 22.182 Orang

Apalagi saat ini setelah 5 tahun berlalu, berita tentang kelanjutan proyek ini hilang begitu saja. Sehingga wajar sebagian publik merasa ini adalah proyek gagal bahkan ada yang mengatakan telah terjadi pembohongan publik dibalik rencana pembangunan jembatan tersebut.

Sebagai salah satu pihak yang terlibat langsung dalam seluruh proses perencanaan, mulai dari ide awal sampai pada pengembangan gagasan dan pemenuhan persyaratan teknis maupun admintrasi untuk merealisasikan jembatan tersebut, Penulis dalam kapasitas sebagai Kepala Dinas PUPR NTT waktu itu, merasa perlu mengurai apa dan bagaimana proyek itu dimulai dan bagaimana kelanjutannya agar menjadi jelas dan publik dapat menilainya secara objektif.

Baca juga: Ayah Pembunuh 2 Anak Kandung di Adonara Dijerat Pasal Pembunuhan Berencana

Bermula dari kebutuhan konektivitas antar wilayah yang menghubungkan jalan provinsi yang ada di pulau Flores dan jalan provinsi yang ada di pulau Adonara.

Saat ini memang terlihat telah terjadi keterpaduan antar moda transportasi darat dan laut dimana kedua pulau terhubung dengan" bus laut " atau "ojek laut". Kondisi ini telah berlangsung ratusan tahun lamanya.

Namun perbaikan dan peningkatan kwalitas pelayanan publik sebagai perwujudan kehadiran negara dalam bidang transportasi menjadi sebuah keharusan.

Oleh karena itu Perda Kabupaten Flores Timur No. 13/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW) untuk tahun 2007-2027 menyebutkan bahwa " salah satu bentuk pengembangan sarana transportasi adalah pengembangan jaringan jalan provinsi.

Untuk menghubungkan jalan provinsi dari Larantuka ke jalan provinsi di Pulau Adonara maka dibutuhkan JEMBATAN PENYEBERANGAN yang menghubungkan Pulau Adonara dan Pulau Flores daratan " .

Pernyataan dalam Perda ini menjadi titik tolak munculnya ide untuk membangun jembatan yang menghubungkan kedua pulau ini.

Pemda Flotim dan DPRD Kabupaten Flotim sebagai yang menyusun dan mengesahkan Perda ini, pernah ataupun sering melintasi selat sempit ini, tentunya berharap hadirnya sebuah jembatan yang menghubungkan kedua pulau ini, dengan pertimbangan selain karena jaraknya relatif pendek, hanya -/+ 850 m, atau 10-15 menit lama perjalanan bila menggunakan speed boat apabila cuaca bagus, tapi juga arus lautnya yang kuat sehingga diberi nama arus Gonzalo ( Spanyol: serigala ).

Kuatnya arus laut di selat ini membuat para penyeberang was-was akan keamanan penyebarangan , karena sering terjadi kecelakaan perahu tenggelam saat menyeberang.

Dengan demikian kehadiran sebuah jembatan antar pulau Flores dan Pulau Adonara merupakan kebutuhan dan harapan masyarakat Kabupaten Flores Timur sendiri yang tertuang dalam Perda Kabupaten Flotim No.13/2008.

Namun untuk mewujudkan harapan masyarakat Flotim yakni terbangunnya sebuah jembatan penyeberangan, tentunya tidak mudah karena selain membutuhkan kajian yang mendalam juga pembiayaan yang tidak sedikit.

Hasil perhitungan kasar saat pembuatan Pra - FS , biaya yang dibutuhkan cukup fantastik karena mencapai hampir Rp. 5 T. Angka ini membuat warga kembali berpolemik.

Ada yang berpendapat untuk apa bangun jembatan yang demikian mahal sementara jalan provinsi masih ribuan km belum ditangani.

Ada pula yang mengatakan impian membangun jembatan ini sulit terwujud karena negara tidak akan mampu dan mau membiayainya, sebab manfaat yang akan didapat, tidak menguntungkan secara signifikan dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.

Bahkan ada juga yang secara satire, mengatakan bahwa kehadiran jembatan itu hanya untuk menyeberangkan ikan asin dan ubi saja .

Semua polemik ini menjadi tantangan dan motivasi tersendiri bagi Pemerintah pada waktu itu. Di satu sisi adanya kebutuhan akan konektivitas tapi disisi lain keterbatasan anggaran menjadi kendala utama. Kondisi dilematis ini membutuhkan inovasi dan kreativitas, serta keberanian mengambil langkah terobosan untuk bisa menemukan solusi ideal agar jembatan dibangun dan manfaat didapat secara optimal.

Maka kehadiran investor menjadi alternatif solusi, walau persoalannya tetap klasik, investor dapat apa jika membangun jembatan ini ? Tidak mungkin investor mau menginvestasikan uangnya begitu saja tanpa tahu keuntungan apa yang akan mereka dapatkan, dan berapa lama rentang waktu untuk bisa meraih laba.

Disinilah proses inovasi dan kreativitas dilakukan, yaitu menemukan dan mengkondisikan potensi dan menjualnya menjadi revenew bagi investor.

Karena jika revenew yang didapat hanya dari traffick kendaraan yang melintasi jembatan dengan pungutan biaya , maka membutuhkan waktu -/+ 50 tahun baru mendapatkan break efent point ( BEP).

Tentunya ini waktu yang panjang bagi sebuah investasi besar, dan belum tentu ada investor yang tertarik dengan waktu BEP yang demikian lama, apalagi tidak mudah membuat publik menerima beban biaya semacam toll saat melewati jembatan tersebut.

Maka perlu dicarikan sumber pendapatan lain yang menarik investor agar mau membiayai jembatan ini, dengan memberi kemudahan maupun keuntungan yang menggiurkan.

Ada banyak potensi yang teridentifikasi dan cukup menjanjikan untuk dijual kepada investor antara lain : perikanan dan kelautan ( hasil laut sangat melimpah ), pertanian dan perkebunan,Pariwisata ( Samana santa, Meko, Ile boleng ) , perindustrian ( galangan kapal, air mineral ) dan energi ( arus laut yang kencang berpeluang diolah menjadi energi listrik ).

Semua potensi ini memberi nilai tambah bagi siapapun yang akan mengeluarkan uangnya untuk mengeksploitasi potensi menjadi keuntungan, namun potensi arus laut yang deras dan konstan sepanjang waktu dengan kecepatan arus rata rata antara 3,4 mtr - 4.3 mtr /detik, adalah potensi paling menarik yang menggiurkan.

Menarik karena arus laut yang kencang ini bisa dirubah menjadi energi. Menggiurkan karena energi yang dihasilkan adalah energi baru terbarukan ( renewable energi ) dengan potensi produksi besar, dimana energi ini sangat "sexy" untuk digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga arus laut sebagai pengganti energi fosil ( minyak bumi, batu bara, dll ) yang jumlahnya makin menipis dari waktu ke waktu.

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengatakan di Jakarta pada tahun 2017 bahwa energi fosil dunia hanya bertahan hingga 18 tahun ke depan.

Oleh karena itu energi baru terbarukan perlu dikembangkan sedini mungkin. Apalagi penggunaan energi baru terbarukan di Indonesia menurut Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan, Kementrian ESDM , Harris, baru mencapai 19,5 % dari target 23% saat virtual coference GNSSA 2.0 di Jakarta ( Rabu /,16/9/2020).

Sementara menurut Peppres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional ( RUEN ) , penggunaan energi baru terbarukan harus mencapai 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.

Tentunya potensi arus laut yang ada di selat sempit Larantuka -Adonara ini memang perlu dikembangkan agar bisa memberi nilai tambah bagi masyarakat dan Pemerintah.

Persoalannya adalah, adakah investor yang mau mengembangkan potensi ini dengan biaya besar ?

Pemda NTT pada waktu itu berusaha mencari investor agar mau mengeksploitasi potensi yang ada di Flores Timur dan sekitarnya. Pilihan pertama jatuh di JICA ( Japan Internasional Corporate Agency ) sebuah badan kerja sama internasional yang berkedudukan di Tokyo- Jepang , karena keberadaan TPI Amagarapaty - Larantuka dibiayai oleh lembaga tersebut.

Namun JICA tidak begitu berminat untuk membiayai pembangunan jembatan tersebut walau mereka tahu ada banyak potensi di perairan ini.

Namun demikian, informasi tentang rencana pembangunan jembatan ini ramai diberitakan media ,sehingga dibaca oleh beberapa orang Indonesia yang ada di Belanda, salah satunya adalah Pak Latief Gau, putera Makasar yang sudah lebih dari 25 tahun menetap di Einhooven - Belanda.

Pak Latief dan mitranya di Belanda sedang mencari sumber energi baru terbarukan di seluruh dunia , baik itu dari rumput laut maupun dari arus laut.

Info inilah yang membawa Pak Latief cs bersama perusahaan jasa konstruksi multi nasional yang ada di Belanda , STRUCTON bekerja sama dengan Tidal BV( mitra STRUCTON ), tiba di Kupang untuk mendapatkan informasi lebih detail.

Sebelumnya BPPT pada tahun 2008 pernah memasang Turbin di dasar laut selat sempit ini, dan mencoba menggunakan kekuatan arusnya dirubah menjadi energi listrik.

Hasilnya cukup signifikan dimana listrik menyala dengan kekuatan 1 MW dan warga di sekitar Wureh-Adonara sempat menikmati listrik dari arus laut

ini. Namun sayang Turbin yang dipasang didasar laut dengan kedalaman 25-28 meter itu hanyut, rusak dan hilang akibat derasnya arus di selat ini.( Dr. Erwandi , tenaga pengajar ITS- BPPT ).

Info tentang "kesuksesan" BPPT merubah arus laut menjadi tenaga listrik menjadikan STRUCTON dan Tidal BV serius ingin mengeksploitasi potensi ini menjadi sumber energi baru terbarukan yang memang sedang dibutuhkan oleh seluruh umat manusia manakala energi fosil terus menyusut.

Apalagi jika berbicara teknologi keairan, maka Belanda adalah kiblatnya , karena sebagian besar wilayah Belanda dikelilingi air.

Dan mereka sangat yakin akan kemampuan teknologinya.

Setelah mengkaji hasil pra FS dan FS yang dibuat Pemda NTT dan Kementrian PUPR , Tidal BV melakukan FS yang lebih detail dan mendalam, akhirnya Tidal BV bersedia dan berminat menjadi investor untuk mengekploitasi potensi arus laut ini.

Sehingga pada tanggal 22 April 2016, Head of Agreement ( HoA ) antara Pemprov NTT ( Gubernur Frans Leburaya ) dengan Tidal BV ( Mr. Erick van Denajden) ditandatangani di DenHag - Belanda , dengan nilai investasi $300 juta, disaksikan oleh seluruh delegasi Pemerintah Indonesia saat mendampingi Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja perdananya di Belanda.

Beberapa point penting dalam HoA antara lain, selain kesepakatan nilai investasi , tapi juga ada kewajiban investor untuk melakukan transfer of knowledge selama proses konstruksi ,maupun saat operasional kepada warga NTT dan adanya profit sharing dengan Pemda NTT dan Flotim.

Sedangkan kesiapan lahan dan sosial menjadi tanggung jawab Pemda NTT .

Pemda NTT memberikan kepercayaan pada perusahaan multinasional dari Belanda ini untuk mengeksploitasi energi arus laut di Larantuka menjadi tenaga listrik adalah keputusan tepat karena selain Belanda memiliki teknologinya , hingga disebut negara kincir angin, karena sangat berpengalaman dalam teknologi Turbin.

Tapi lebih dari itu Belanda juga menyiapkan pendanaannya yang dibiayai oleh FMO( Financierings Maatschaapaij voor Ontwikelinglanden atau Bank Pembangunan Belanda untuk negara berkembang ) atau Nederland Intrepreneurial Bank ( NIB)

Mengapa Harus Membangun Jembatan?

Pertanyaan ini menjadi salah satu sumber polemik, karena walaupun sudah tertera di Perda RTRW Kabupaten Flores Timur, bahwa dibutuhkan sebuah jembatan penyebarangan yang menghubungkan Pulau Flores dan Pulau Adonara, tetap saja memicu perdebatan karena awam masih menganggap jembatan hanya berfungsi sebagai sarana yang menghubungkan dua titik yang terpisah oleh sungai, legongan , jurang dan lekukan .( KBBI / Kamus Besar Bahasa Indonesia ).

Apalagi kondisi jalan provinsi NTT masih -/+ 1000 km yang belum mantap. Sehingga lebih baik bangun jalan dari pada membangun jembatan.

Yang perlu diketahui adalah, jembatan ini memiliki keunikan tersendiri, karena selain berfungsi menghubungkan dua titik tapi juga bisa menjadi sarana digantungkannya utilitas publik ( pipa air, gas, kabel dan turbin penghasil listrik.).

Menggantungkan pipa gas. pipa air, kabel dll di badan jembatan adalah hal yang lumrah dan jamak terjadi hampir di semua jembatan di Indonesia.

Demikian juga Turbin yang dipasang tunggal di lautan ataupun di sungai sebagai mikro hidro hingga menghasilkan tenaga listrik, juga banyak ditemui.

Tapi jembatan antar pulau yang badan jembatannya digantungkan Turbin yang diputar oleh kekuatan arus laut, dan energi kinetiknya menghasilkan energi listrik dengan potensi bisa mencapai hingga 300 MW, belum pernah ada dimanapun di dunia ini.

Jikapun ada satu- satunya di dunia yaitu di jembatan Oosterscheldekiering - Belanda , tapi turbinnya hanya dipasang sebagai uji coba di salah satu span jembatan dengan bentang 100 meter, Itupun hanya menghasilkan arus listrik sebesar 1 MW.

Sehingga jembatan ini nantinya akan menjadi jembatan pertama di dunia dengan multiguna yang berpotensi menghasilkan energi listrik sebesar 300 MW dengan bentang jembatan sepanjang 800 meter.

Tentunya ini memberi keunikan tersendiri dan memberi nilai lebih dibandingkan jembatan konvensional lainnya. Itulah mengapa membangun jembatan adalah pilihan terbaik karena akan menjadi ikon tersendiri, unik dan sekaligus menjadi pilot project dalam pemanfaatan potensi arus laut menjadi energi listrik yang belum dieksploitasi maksimal .

Hal ini sejalan dengan PP No.79/ 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional, Pasal 12 ayat 1, huruf I sebagai berikut : "pemanfaatan sumber energi gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut didorong dengan membangun percontohan sebagai langkah awal yang tersambung dengan jaringan listrik "

Oleh karena itu, untuk merespon pendapat bahwa , lebih baik membangun jalan yang masih ribuan kilometer belum mantap dari pada membangun satu jembatan yang " hanya " di satu kabupaten, maka pertanyaannya adalah , bila jembatan ini tidak dibangun, apakah dengan sendirinya jalan provinsi akan menjadi mantap?

Tentunya akan berbeda nilai manfaat dan spektrum dampak yang dihasilkan. Atau apakah investor jembatan mau membangun jalan provinsi dengan revenew dari traffick lalu lintas ?

Sementara regulasi di Indonesia untuk mendapatkan revenew dari pembangunan jalan adalah dengan membangun jalan bebas hambatan ( high way ) dan investor memungut toll dari pengguna jalan saat melintasinya.

Tentunya tidak mungkin semua jalan di NTT dibuat seperti high way agar bisa dipungut biaya.

Yang sudah pasti karena sudah melalui study dan kajian yang detail dan mendalam, adalah membangun jembatan yang biaya pembangunannya "ditanggung" oleh jembatan itu sendiri, karena menghasilkan revenew dalam bentuk energi listrik yang bisa dijual oleh investor ke pihak lain serta benefit lainnya yang akan didapat sebagai dampak ikutan.

Apalagi sebagai Project percontohan maka teknologi serupa bisa digunakan untuk mengeksploitasi potensi listrik arus laut di seluruh dunia yang menurut Internasional Maritim Organisation ( IMO) saat ini berjumlah sekitar 7800 TWh/ Year (tera watt hour/Year ) dan belum dieksploitasi maksimal.

Tentunya mata dunia akan mengarah ke jembatan ini sebagai kiblat energi baru terbarukan dari energi arus laut.

Mengapa di Flores Timur ?

Kontroversi yang tidak kalah ramai dipolemikan adalah mengapa jembatan ini dibangun di Flores timur? Padahal ada banyak pulau di NTT yang juga berdekatan.

Kenapa tidak membangun jembatan Tablolong - Papela, Kupang - Semau, Kupang - Sulamu ? Berbagai spekulasi mencuat.

Yang paling gencar adalah karena gubernurnya waktu itu berasal dari Flores Timur , dan Penulis sebagai Kadis berupaya " mencari muka " untuk menyenangkan Gubernur.

Jawabannya adalah, diantara 1.192 buah pulau di NTT , banyak pulau yang berdekatan bahkan ada yang jarak antar pulau lebih pendek dari Pulau Flores - Pulau Adonara, tapi yang memiliki banyak potensi terutama arus lautnya yang sangat kencang dan konstan sepanjang tahun, hanyalah antara pulau Flores dan Adonara.

Bahwa pada saat itu Gubernur berasal dari Flores Timur, tentunya tidak ada larangan bila seorang kepala daerah membangun kampung halamannya sendiri sepanjang memiliki potensi yang layak dikembangkan.

Bahkan adalah kewajibannya sebagai kepala daerah membangun kampung halamannya walau dengan potensi yang minimal sekalipun, karena dengan demikian dia memberikan legacy dan kebanggaan bagi kampung halamannya.

Mengapa Diberi Nama Pancasila Palmerah ?

Jembatan ini diberi nama Pancasila untuk memberi kesan monumental sekaligus mengimbangi nama besar Jembatan Soekarno di Sulut dan Jembatan Merah Putih di Papua.

Selain itu untuk mengenang lahirnya Panca Sila di Ende - Flores sehingga memiliki nilai historis .

Sedangkan Palmerah adalah akronim yang diambil dari nama Desa Palo di Pulau Flores dan Desa Tanah Merah di Pulau Adonara, dimana kedua desa ini adalah desa pertama yang dihubungkan oleh jembatan tersebut.

Sehingga nama Jembatannya adalah Pancasila dan Palmerah adalah lokasi jembatannya.

Mengapa Perlu Didukung Semua Pihak ?

Masyarakat, Pemerintah dan dunia usaha perlu mendukung kerja besar ini. Karena dengan dibangunnya jembatan ini akan membuka lapangan kerja baru, menambah ilmu pengetahuan dan teknologi , menciptakan titik tumbuh baru dan destinasi wisata baru, serta menciptakan energi baru terbarukan dari arus laut yang saat ini sangat dibutuhkan oleh peradaban manusia di saat cadangan energi fosil terus menipis.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi warga NTT sebagai intangible benefit ( keuntungan yang tidak dilihat namun dapat dirasakan) karena ada jembatan di NTT sebagai yang pertama dan satu satunya jembatan di dunia yang menghubungkan antar pulau tapi menghasilkan energi baru terbarukan karena arus lautnya dapat diubah menjadi energi listrik.

Kapan Mulai Pelaksanaanya dan Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan?

Sebagai warga NTT penulis berharap jembatan ini segera dibangun , lebih cepat lebih baik. Namun Proses administrasi dan teknis, membutuhkan waktu yang tidak sedikit, belum lagi sebagai jembatan yang memadukan teknologi civil bridge ( jembatan sipil ) dan tidal bridge ( jembatan arus laut) yang dibangun secara bersamaan adalah yang pertama kali di Indonesia bahkan di dunia, sehingga terbentur soal kewenangan dan regulasi di Pemerintah Indonesia.

Mulai dari kewenangan koordinasi . Apakah jembatan yang menghasilkan arus listrik dan listriknya akan digunakan oleh PLN akan berada dibawah koordinasi kementrian PUPR ataukah di bawah kementrian ESDM ?

Soal ini saja membutuhkan koordinasi lintas kementrian dengan waktu pembahasann yang panjang dan lama karena harus disesuaikan dengan regulasi yang ada.

Jika regulasinya belum ada , maka dibuatkan regulasi baru agar semua proses sesuai dengan standar kepatuhan dan kepatutan sehingga mengakomodir semua kepentingan.

Belum lagi Tarif listrik yang dihasilkan oleh arus laut belum pernah ditetapkan oleh pemerintah. Maka dibuatlah daftar harga jual listrik arus laut yang membutuhkan waktu untuk kajian dan analisa yang komprehensip.

Setelah tarifnya ditentukan dan ditetapkan oleh Pemerintah , masih perlu dimasukkan ke dalam RUPTL ( Rencana Umum Penggunaan Tenaga Listrik) sebagai acuan bagi PLN untuk boleh membeli listrik tersebut.

Itupun masih dibutuhkan study konektivitas untuk meyakinkan PLN bahwa listrik yang dihasilkan dari arus laut bisa terkoneksi dengan sistem jaringan yang dimiliki oleh PLN saat ini.

Demikian juga dibutuhkan waktu untuk membahas Skema pembiayaan dan sistem pembayaran yang akan dilakukan oleh PLN kepada Tidal BV.

Karena teknologi yang digunakan masih tergolong baru bagi Pemerintah Indonesia maka diperlukan studi pembuktian lagi dari para ahli kelautan di ITS Surabaya apakah teknologi tidal bridge memiliki daya tahan yang lama ?

Walau oleh tidal bridge jembatan ini di desain dengan umur rencana mencapai 50 tahun, namun semua itu perlu pembuktian secara ilmiah.

Dan pada bagian akhir yang wajib dilakukan adalah study mengenai AMDAL ( Analisa Mengenai Dampak Lingkungan ) sejauh mana pembangunan jembatan ini memberi dampak kepada warga , baik sosial, ekonomi , budaya dan lingkungan.

Semua tahapan proses ini membutuhkan waktu yang panjang dan berliku, sehingga dibutuhkan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa dengan biaya yang tidak sedikit yang sudah dikeluarkan oleh investor.

Setelah semua proses admintrasi selesai dilakukan, maka pelaksanaan pembangunan bisa dimulai.

Dan berdasarkan kajian teknis dan pengalaman para Engeneer dari Tidal BV, mereka membutuhkan waktu antara 18 s/d 24 bulan.

Saat tulisan ini dibuat, seluruh tahapan proses adminitrasi dan teknis sudah selesai dilakukan termasuk AMDAL, tinggal satu lagi langkah administrasi yang dibutuhkan yakni Perijinan dari Pemda NTT dan Flotim.

Jika Perijinan sudah didapat, maka penandatangan kontrak dengan PLN sebagai pembeli energi listrik ini bisa dilakukan, pembiayaan dari FMO tinggal menunggu kelengkapan semua persyaratan admintrasi dipenuhi, maka proses ground breaking ( GB ) bisa segera dilakukan.

Kesimpulan

Untuk menjawab apakah ide pembangunan jembatan Pancasila Palmerah adalah PHP ( pemberi harapan palsu) ataukah ini sebuah urgensi?

Jawabannya adalah pembangunan jembatan ini adalah sebuah urgensi, namun karena baru pertama kali direncanakan untuk dibangun di Indonesia bahkan di dunia, prosesnya butuh waktu lama dengan jalan panjang yang berliku sehingga kesannya seperti sebuah PHP.

Untuk itu dibutuhkan kesabaran agar bisa melihat hasil, karena NTT sedang mencatat sejarah dalam dunia teknologi jasa konstruksi, energi arus laut dan energi baru terbarukan.

Pembaca bayangkan jika jembatan ini selesai dibangun, dengan bentuk dua ikan paus saling berhadapan yang membelah selat sempit Larantuka, saat malam tiba ,kelap kelip lampu memancar dengan indahnya dari badan jembatan ini.

Patung Bunda Maria dan Patung Yesus Kristus berdiri dengan anggun di kedua sisi jembatan .
Saat yang sama di kejauhan peserta prosesi ziarah Samana Santa yang Sudah ratusan tahun di laksanakan menjelang pesta Paskah, hadir peziarah dari seluruh dunia mengikuti prosesi ini ,sayup sayup terdengar lagu" Jangan lupa Ya Maria" .

Semua mata memandang ke arah jembatan, yang dengan anggun dan kokoh berdiri karena membiayai dirinya sendiri dan siap menebar kebaikan bagi umat manusia.

Sementara di dasar lautan, arus Gonzalo tetap dengan " keganasannya". Saat itu dunia melihat ada cahaya harapan dari wilayah timur Indonesia.

Rasa bangga dan haru melingkupi hati setiap anak NTT.

Ada pertanyaan reflektif buat kita, " JIKA KITA PUNYA KEBUTUHAN NAMUN KITA HANYA MEMILIKI POTENSI, SEMENTARA ADA PIHAK YANG MENAWARKAN TEKNOLOGI YANG BISA MENGEKSPLOITASI POTENSI YANG KITA MILIKI, DEMI KEUNTUNGAN BERSAMA , SEKALIGUS MENYIAPKAN PEMBIAYAANNYA DENGAN KONSEP BAGI HASIL, APAKAH KITA MENOLAK ATAU MENDUKUNGNYA ?" (*)

JEMBATAN PALMERAH  -  Jembatan Pancasila Palmerah di Kabupaten Flores Timur.
SIMAK PENJELASAN  -  Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, sedang menyimak penjelasan Kadis PUPR NTT, Ir. Andre W Koreh, MT tentang rencana pembangunan Jembatan Pancasila Palmerah, di Larantuka, Selasa (31/10/2017).
Menteri ESDM, Ignasius Jonan, Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, dan Direktur Utama Tidal Bridge Indonesia, Latif Gau (duduk) bersama Gories Mere dan Yapi Manafe (berdiri), foto bersama seusai pertemuan di Kantor Kementerian ESDM di Jakarta, Selasa (12/9/2017).
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved