Opini Pos Kupang
Revolusi Mental Dalam Dunia Pendidikan
Tampaknya kita akan memasuki era perubahan yang signifikan melalui konsep Revolusi Mental yang dikumandangkan
Dan untuk mendukung Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), maka lahirlah pendidikan karakter sebagai basis Revolusi Mental, yang muaranya melahirkan generasi emas, generasi yang cerdas dan berkarakter. Jadi, makna revolusi mental bagi satuan pendidikan adalah terjadinya perubahan pola/cara pikir yang diiringi perubahan sikap dan perilaku warga sekolah, dengan komitmen yang tinggi serta konsisten yang bermuara pada lahirnya generasi emas, generasi muda yang cerdas dan berkarakter untuk membangun bangsa, dan inilah sekolah yang berkualitas.
Jadi, sesungguhnya sekolah berkualitas bukan terletak pada angka atau nilai UN yang menjadi ukuran kualitas satuan pendidikan, melainkan pada karakter (sikap, perilaku), atau pada hati yang terwujud dalam tindakan.
Oleh kareana itu, harapnnya, kiranya setiap satuan pendidikan harus menjadi garda terdepan dan pelopor ataupun agen penggerak revolusi mental yang akan melahirkan generasi yang cerdas dan cekatan dalam berpikir dan bertindak (efisien, efektif) serta berkarakter. Dalam hal ini, peran pendidik menjadi sangat penting sebagai orang kunci (key person) dalam melahirkan generasi yang cerdas dan cekatan (generation of intelligent and deft) serta berkarakter.
Makna Reformasi
Kata Reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation yang artinya adalah perbaikan atau pembentukan baru. Secara harfiah reformasi memiliki makna yaitu suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat.
Makna serta pengertian reformasi pada saat sekarang banyak disalah artikan, sehingga gerakan masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak sesuai dengan pengertian reformasi itu sendiri.
Dalam konteks satuan pendidikan, reformasi menjadi sangat penting guna menciptakan iklim kerja yang kondusif. Iklim kerja yang kondusif hanya terjadi jika setiap pendidik saling mendengarkan, saling mendukung, saling menghormati dan menghargai, saling bekerjasama atau bersinergi, serta saling menggerakan yang dilandasi oleh cinta persaudaraan. didalam "saling" itulah, ada proses take and give.
Dengan demikian, reformasi lebih kepada reformasi diri para pendidik dan tenaga kependidikan, yakni memperbaiki diri atau membaharui diri, agar menjadi manusia baru.
Selain memperbaiki diri juga memperbaiki kinerja. Jika setiap pendidik bisa mereformasi kinerjanya dari yang "sekedar"atau minimalis menjadi maksimalis, maka dia adalah seorang reformis yang profesional. Pendidik yang reformis tidak hanya bisa mengoreksi orang lain, tetapi juga harus mengintrospeksi diri atau mengaca diri.
Ingatlah pula filosofi lima jari tangan, 1 jari menunjuk orang lain, dan 4 jari menunjuk diri sendiri. Lebih lanjut, jika setiap pendidik dan tenaga kependidikan dapat memperbaiki diri, dan kinerjanya, bukan tidak mungkin akan tercipta sekolah yang berkualitas yang tercermin dalam kualitas diri peserta didik.
Reformasi memang tidak seradikal revolusi mental yakni perubahan dalam waktu yang relatif singkat. Namun, apakah itu revolusi mental atau reformasi yang terpenting muaranya adalah perubahan diri menjadi manusia baru, yang memiliki hati dan budi yang baru, yang tercermin dalam tindakan dan sikap yang baik nan positif, juga melalui kinerja, melalui 3P (Performance/Penampilan, Pelayanan dan Prestasi), pada diri pendidik dan tenga kependidikan, .serta akan berdampak pada perubahan pada diri peserta didik, secara holistik, baik itu intelektual, spiritual, emosional, sosial, moral, sebagai buah dari hasil belajar. Inilah sesungguhnya makna GuRu yang dalam bahasa sansekerta secara eimologi berasal dari dua suku kata, yaitu Gu artinya darkness (kegelapan) dan Ru artinya light (cahaya, sinar, terang).
Oleh karana itu, secara harafiah, GuRu atau pendidik adalah orang yang menunjukan "cahaya, terang, sinar atau pengetahuan atau kepandaian atau kebijaksanaan (widya) dan memusnahkan kebodohan atau kegelapan (awidya). Menurut Sudira (2012:2):proses transformasi dari "Gu" ke "Ru", atau gelap (awidya) menuju terang (widya) berjalan secara terus menerus tanpa henti sebagai proses long life education.
Itu artinya bahwa GuRu sendiri harus terlebih dahulu berpengetahuan (Widya) atau menjadi cahaya, sinar, terang, pelita (Ru), bagi peserta didik yang masih berada dalam kegelapan (Gu) atau kurang berpengetahuan (Awidya), sebagaimana yang tersurat dalam lirik lagu hymne GuRu.
Sebab tidak mungkin seorang GuRu memberi dari apa yang tidak dimilikinya atau dalam bahasa latinnya NEMO DAT QUOD NON HABET. Sehingga, dengan demikian tugas guru adalah menciptakan perubahan pada sikap dan perilaku (changes in attitudes and behavior) peserta didik.
"Aku yang sekarang adalah pilihan yang aku ambil di masa lalu. Sekarang aku harus lebih bijak memilih langkah selanjutnya".