Pasca Merdeka, Timor Leste Bak Neraka, Perempuan Dilecehkan, Disiksa Bahkan Dibunuh Seperti Penjahat
Olehnya, ketika Timor Leste telah merdeka pun, gejolak untuk saling menyerang masih tetap ada sehingga kaum perempuan pun menjadi sasaran amukan.
Namun, setelah kekerasan mereda, ketegangan yang lebih dalam, lebih langgeng terungkap ketika orang-orang dari tentara pemberontak Timor Timur, Falentil, kembali ke rumah yang tidak mereka lihat sejak 1975.
Ketika Indonesia menyerang, mereka meninggalkan keluarga mereka di kota-kota dan di pertanian, dan menuju pegunungan dan hutan untuk menyusun kekuatan baru.
Lima jam perjalanan dari ibu kota Dili, di lembah Ulimori, pertempuran untuk Timor Leste merdeka dilakukan oleh orang-orang yang bertahan hidup dengan makan rusa, kerbau, monyet, dan buah-buahan.
Kode perilaku sangat ketat, tidak ada seks untuk kaum revolusioner dan satu-satunya wanita yang hadir adalah juru masak.
Di antara laki-laki yang ikut berperang adalah Adtik Lintil, yang mengaku jarang bertemu istri dan anak-anaknya selama 17 tahun bersama Falantil.
"Saya tidak menyesal," katanya. "Kami harus berjuang untuk apa yang benar."
Setelah 24 tahun pendudukan Indonesia, orang-orang seperti Falantil kembali ke rumah, ke dunia yang telah berpindah.
Sementara itu, ketika para pria bersembunyi di pegunungan, para wanita Timor melanjutkan pendidikan mereka di pengasingan atau memegang benteng di rumah, seperti yang dilakukan wanita Inggris selama dua perang dunia.
"Wanita terlibat di setiap tingkatan," kata Pires, yang keluarganya sendiri mengasingkan diri ketika dia berusia sembilan tahun dan kemudian belajar sosiologi dan sastra Inggris di Australia.
"Mereka membantu menjalankan kamp, mengirim perbekalan, menyelundupkan informasi. Dan sekarang, saat para lelaki keluar dari persembunyian, mereka tidak ingin kembali ke peran tradisional mereka."
Salah satu kasus yang menimpa wanita Timor Leste setelah negaranya merdeka, yaitu ketika lima wanita yang mengenakan kaos lengan pendek dilempari batu di pasar sentral Dili karena berpakaian tidak pantas dan berbicara di telepon seluler.

Lainnya yaitu kekerasan meletus di pantai keluarga ketika sekelompok pria muda menyerang dua wanita yang mengenakan atasan bikini dan sarung.
"Ini adalah masyarakat Katolik yang sangat tradisional yang telah dibekukan oleh tahun-tahun perang," kata Pires.
"Orang-orang itu mencoba menegaskan kembali otoritas mereka," katanya.
Tingginya tingkat pengangguran juga membuat situasi negara yang baru merdeka tersebut kacau.