Berita Kupang Terkini
Care dan CIS Timor Beberkan Data Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
Care Indonesia bersama mitra kerja CIS Timor membeberkan data jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak di 3 kabupaten di NTT yakni
Penulis: Edy Hayong | Editor: Ferry Ndoen
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Edy Hayong
POS-KUPANG.COM I KUPANG-- Care Indonesia bersama mitra kerja CIS Timor membeberkan data jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak di 3 kabupaten di NTT yakni Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS
Kasus – kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak setiap hari terjadi, namun banyak yang tidak terlaporkan. Perempuan dan anak kehilangan hak – haknya untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Gender Officer Program PfR Care -CIS Timor, Lusia Carningsih Bunga S .Pd menyampaikan ini dalam rilis berita yang dikirim ke Pos-Kupang, Jumat (23/10).
Dikatakan Ningsih, dari data pada bulan Agustus 2019 sampai dengan bulan Februari 2020 di Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, jenis kasus dengan angka tertinggi adalah kekerasan seksual sebesar 76 kasus (49%), diikuti kasus KDRT sebesar 39 kasus (25%), dan Kekerasan terhadap Anak sebesar 14 kasus (9%).
Kasus-kasus yang lain yang dilaporkan adalah Kekerasan fisik sebesar 10 kasus kasus dan Anak Berhadapan dengan Hukum sebesar 5 kasus, Ingkar Janji Menikah sebesar sebesar 4 kasus, Kekerasan fisik sebesar 4 kasus, 1 kasus perdagangan orang dan lainnya 1 kasus.
Kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang tertinggi sepanjang bulan Agustus 2019-Februari 2020.
Dari hasil pantauan melalui Media yang dilakukan oleh LBH APIK NTT tahun 2019 melaporkan bahwa sepanjang tahun 2019 terdapat 56 kasus atau sebesr 56% kasus kekerasan seksual yang diliput oleh media.
Dari kasus kekerasan seksual, 22 kasus merupakan kasus perkosaan dan 34 kasus merupakan kasus percabulan .
Catatan Tahunan LBH APIK 2019 menginformasikan bahwa kekerasan seksual sangat dominan ke dua setelah KDRT Data dari Yayasan Sanggar Suara Perempuan (SSP) menunjukkan bahwa anak-anak rentan menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan dengan orang dewasa.
SSP melaporkan bahwa trend selama lima tahun (2015-2019), berkisar 75-80% korban kekerasan seksual adalah anak-anak.
Penyebabnya antara lain karena semakin mudahnya anak-anak mengakses situs porno, kurangnya pengawasan orangtua, terbatasnya pendidikan seks dalam keluarga oleh karena seksualitas masih dianggap tabu, dan tingginya kepercayaan anak terhadap orang-orang yang dekat dengan kehidupan mereka seperti om, kakek dan tetangga.
Laporan SSP dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa 90% pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang yang dikenal dan berada di lingkungan terdekat anak seperti om, ayah, tetangga, pacar . Kasus KDRT adalah kasus tertinggi berikutnya.
Dalam catatan pendampingan Yayasan Sanggar Suara Perempuan, dalam lima tahun terakhir yakni dari tahun 2015 s/d tahun 2019 trend KDRT menduduki kasus terbanyak yang dilaporkan.
Berdasarkan latar belakang pendidikan, korban terbanyak yang berpendidikan SLTA, SLTP, SD, perguruan tinggi dan yang tidak bersekolah. Pelaporan terbanyak berasal dari wilayah Kota SoE, karena memiliki akses kedekatan dengan lembaga pengada-layanan serta dekat dengan media informasi.
Berdasarkan tingkat penyelesaian kasus KDRT, 59% diselesaikan di tingkat keluarga, 43% di tingkat kepolisian, 16 % di tingkat pengadilan dan 9,2 % diselesaikan di tingkat desa.
YSSP melaporkan bahwa mayoritas kasus KDRT yang telah dilaporkan ditarik kembali oleh korban/keluarga untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Kepolisian dan lembaga pengadalayanan akan membantu memfasilitasi perdamaian.
Pelaku KDRT, yang umumnya adalah suami dari korban biasanya akan membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa dia tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Untuk data Kekerasan pada Masa COVID – 19, Ningsih menuturkan, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTT sepanjang tahun 2020, mencapai angka 255 kasus.
Berdasarkan Data Simfoni (Sistem Informasi Online) Dinas P3A NTT, angka kekerasan ini tersebar di 12 Kabupaten/kota di NTT, di antaranya Kota Kupang 56 kasus, Kabupaten Kupang 8 kasus, Kabupaten Alor 7 kasus.
Kabupaten Belu 13 kasus, Kabupaten Ende 46 kasus, Kabupaten Flores Timur 1 kasus, Kabupaten Rote Ndao 2 kasus, Kabupaten Sabu Raijua 5 kasus, Kabupaten Sumba Tengah 1 kasus, Kabupaten Sumba Timur 1 kasus, Kabupaten TTS 57 kasus, Kabupaten TTU 58 kasus .
Tentunya data – data tersebut sangat tinggi selama masa COVID – 19, kehilangan pekerjaan, sulitnya mendapatkan sumber pendapatan, kebijakan untuk tetap di rumah, dan pembatasan sosial menimbulkan tekanan baru bagi perempuan khususnya, bila mana kekerasan terjadi maka akan menempatkan perempuan dan anak kesulitan untuk mendapatkan akses pelayanan.
Menurutnya, non aktifnya pusat layanan akan menghambat mereka untuk mendapatkan pertolongan yang mereka butuhkan pada saat mereka mengalami kekerasan.
Oleh karena itu upaya – upaya yang dilakukan CARE dan CIS Timor untuk menguatkan peran para pendamping, kader, atau kelompok perempuan di desa diharapkan akan dapat maksimal dalam memberikan bantuan awal dan segera yang dibutuhkan korban terutama perempuan dan anak.
Kendala-kendala dalam Pendampingan Korban di Masa COVID – 19 adalah, meskipun telah ada protokol yang mengatur tentang penanganan kasus KTP/A, penanganan kasus pada masa pandemi menjadi semakin terbatas.
Hotline atau pendampingan melalui per telepon seringkali terhambat karena tidak semua korban memiliki HP/telepon atau mempunyai pulsa untuk menelepon lembaga pengada layanan.
Selain itu, korban/penyintas merasa lebih nyaman bertemu dan menceritakan persoalannya kepada pendamping. Pendekatan hotline juga tidak selamanya berhasil karena jaringan internet yang buruk terutama korban yang berasal dari daerah pendesaan yang sinyalnya tidak terlalu bagus.
Juga biaya pendampingan menjadi lebih mahal dan berisiko. Lembaga penyedia layanan harus menerapkan protokol covid anatara lain wadah penampung cuci tangan, air, sabun dan handsanitizer dan pengukur suhu.
Menurutnya, Pengadilan telah menerapkan sistem pengadilan online atau E-Court. Namun sistem online yang digunakan belum bisa diterapkan di daerah, karena selain keterbatasan teknonolgi, user/ pengguna masih belum bisa mengakses dengan baik.
Peningkatan kasus kekerasan tidak diikuti dengan kebijakan penambahan anggaran bantuan hukum terutama bagi korban yang berasal dari keluarga miskin.(*)

Area lampiran
Baca juga: Uang Rp 250 Juta Milik Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ende Hilang
BalasBalas ke semuaTeruskan