Pilkada Ngada
Milenial Ngada Adakan Diskusi Virtual Bahas Isi Debat Pilkada, Ini Isu yang Paling Disoroti!
Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Ngada, telah mengadakan acara Debat Kandidat Calon Bupati dan Wakil Bupati Ngada putaran pertama
Penulis: Gordi Donofan | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | BAJAWA - Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Ngada, telah mengadakan acara Debat Kandidat Calon Bupati dan Wakil Bupati Ngada putaran pertama pada 2 Oktober 2020 di aula Jhon Tom Bajawa dalam rangka menyongsong Pilkada yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Acara debat kandidat tersebut paling tidak telah memberikan suguhan menarik bagi masyarakat Ngada guna mengukur kesiapan para calon termasuk kemampuan mereka dalam mengadu konsep gagasan yang telah tertuang dalam visi, misi, dan arah program kerja mereka 5 tahun ke depan.
Pasca debat yang telah dilakukan, Upaya untuk melahirkan masukan konstruktif ini coba dilakukan oleh Yayasan Arnoldus Wea melalui kegiatan focus group discussion (FGD) yang dilakukan secara virtual untuk membedah hasil debat putaran pertama Pilkada Ngada dengan menghadirkan para peserta dari kaum milenial Ngada.
Baca juga: Bawaslu RI Sebut NTT Rawan Sedang
Hadir dalam FGD itu, tiga pemantik utama atas nama Nikolaus Loy, pengajar pada Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Petrus Kanisius Siga Tage, pengajar pada Universitas Citra Bangsa, dan Yuventus Nawindari Procuremnt Watch, sedangkan pemandu jalannya diskusi adalah Arnoldus Wea, penggagas Gerakan Degha Nua.
Secara umum, diskusi berjalan dengan santai. Selaku pemantik pertama, Nikolaus Loy mengatakan bahwa debat adalah saluran demokrasi yang penting agar publik dapat melihat dan menilai sejauh mana para calon merumuskan program kerja mereka.
Baca juga: Partai Golkar Bantu Air Minum Bersih untuk Masyarakat Nagekeo
"Sebaiknya paslon tidak terlalu mengandalkan debat untuk menarik dukungan suara. Debat hanya efektif sebagai alat mobilisasi pendukung dalam konteks perilaku pemilih rasional. Jenis pemilih ini melihat tawaran program untuk menentukan dukungan. Pilkada di NTT, termasuk di Ngada, bekerja dalam kultur politik campuran. Sistem pemilu modern, tetapi bekerja dalam budaya tradisional dan kekeluargaan yang kuat. Karena itu, perilaku pemilih tidak hanya melihat program tetapi hubungan keluarga. Si A memilih karena Paslon adalah juga paman, mertua, kakak, om dari om, ponakan, kakak dan ikatan keluarga lainnya. Jadi variabel suku, klan, keluarga dan ikatan primordial lain seperti orang sekampung mempengaruhi pilihan politik," jelas Nikolaus kepada POS-KUPANG.COM Kamis (15/10/2020).
Karena itu, dalam pandangan Nikolaus Loy, agak sulit mengukur hubungan antara paparan visi dan misi dalam debat dan pengaruhnya pada keputusan memilih.
Seharusnya ada polling pasca debat untuk menilai efek debat pada kemungkinan pilihan. Para pemilih di Ngada mungkin sudah menentukan pasangan yang akan dipilih terlepas ada debat atau tidak.
Apalagi, ide-ide para paslon yang muncul dalam debat menunjukkan kemiripan gagasan yakni berpusar pada isu pertanian, pariwisata, kemiskinan dan reformasi birokrasi.
Sementara dua partisipan diskusi lain yakni Bernadus Gapi dan Reinard L Meo melihat debat yang ada justru hanya sekadar tindakan seremonial.
Secara umum, debat tidak memberikan sumbangsih yang signifikan bagi masyarakat pemilih karena terlampau datar.
Selebihnya Bernadus berpandangan bahwa, dalam konteks debat kandidat, masyarakat tentu berharap agar dapat melihat ketajaman kualitas dan kapabilitas paslon yang tercermin dalam visi, misi, dan program kerja mereka.
Menurutnya, dalam debat tersebut masyarakat justru tidak melihat letak diferensiasi secara substantif antara paslon yang satu dengan paslon lainnya.
Padahalnya, pembeda merupakan nilai tambah tersendiri bagi masyarakat sehingga bisa memiliki pertimbangan-pertimbangan objektif dalam mendukung paslon mana yang dijagokan.
"Gagasan para calon yang relatif sama secara substantif dalam debat tersebut dapat menyebabkan pemilih tiidak mempunyai referensi lebih untuk menentukan paket mana yang unggul. Ini hanya dapat dilihat dari ketajaman dan kedalaman visi, misi serta program-program kerja yang telah dikemas. Daya dobrak yang nyaris tidak ditemukan pada salah satu paket tertentu, menghambat pilihan obyetif dan rasional, mengapa mendukung paket tertentu. Masyarakat akan hanya menggunakan standar-standar normatif untuk memilih misalnya, siapa yang lebih cerdas beretorika, gestur mana yang lebih mengigit, dan calon mana yang lebih santun," katanya.