UU Cipta Kerja
Cerita UU Cipta Kerja, Hotman Paris: Selama Ini Banyak Perusahaan Tidak Bayar Pesangon Buruh
Saat ini UU Omnibus Law Cipta Kerja masih menjadi polemik. Ada kelompok yang pro, namun tak sedikit juga yang kontra.
POS KUPANG, COM - Saat ini UU Omnibus Law Cipta Kerja masih menjadi polemik. Ada kelompok yang pro, namun tak sedikit juga yang kontra.
Pengacara Hotman Paris singgung soal polemik disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang memicu kontroversi.
Felicia Hutapea anak Hotman Paris (instagram.com/hotmanparisofficial)
Baik pemerintah maupun DPR, sampai saat ini belum merilis draf final UU Cipta Kerja.
Menurut Hotman, berdasarkan pengalamannya puluhan tahun menjadi advokat, permasalahan yang sering dihadapi pekerja atau buruh adalah sulitnya menuntut hak pesangon.
"Terlepas setuju atau tidak omnibus law, dalam 36 tahun pengalaman saya menjadi pengacara. Masalah yang dihadapi buruh adalah dalam menuntut pesangon, karena prosedur hukumnya sangat panjang," ucap Hotman dikutip dari akun Instagram resminya, Minggu (11/10/2020).
Selama ini, banyak kasus perusahaan yang tidak membayarkan hak pesangon sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Namun pekerja korban PHK dihadapkan pada kondisi sulit karena prosedur menuntut pesangon hingga sampai ke pengadilan bukan perkara gampang.
Tuntutan pesangon hingga ke meja pengadilan seringkali terpaksa ditempuh pekerja korban PHK karena selama ini Kementerian Ketenagakerjaan maupun Dinas Ketenagakerjaan di daerah umumnya tak banyak membantu menekan perusahaan.
Di sisi lain, untuk menuntut hak pesangon ke pegadilan, butuh pengacara yang memakan biaya yang tak sedikit. Itu pun belum tentu putusan pengadilan memenangkan pekerja korban PHK.
"Dimulai dengan kalau majikan menolak lalu melalui dewan pengawas Depnaker (Departemen Tenaga Kerja). Depnaker tidak punya power hanya berupa syarat, mau tidak mau si buruh harus ke pengadilan," ungkap Hotman Paris.
"Di pengadilan bisa sampai peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA), bayangkan bayar honor pengacara berapa, bisa-bisa honor pengacara lebih besar daripada pesangonnya," kata dia lagi.
Ia berujar, terlepas apakah besaran pesangon mengacu pada aturan lama yakni UU Ketenagakerjaan ataupun direvisi di UU Cipta Kerja, pemerintah juga seharusnya prioritas memastikan pekerja atau buruh korban PHK mendapat pesangonnya sesuai aturan yang berlaku.
Contohnya, lanjut Hotman, pemerintah bisa mengeluarkan aturan yang memudahkan dan mempersingkat pengajuan tuntutan hak pesangon bagi pekerja korban PHK di pengadilan.
"Itulah masalah utama yang dihadapi buruh. Sementara si buruh tidak punya kemampuan beracara di Pengadilan. Jadi rubah hukum acaranya, persingkat itu kalau mau menolong buruh," tegas Hotman.
Sebagai informasi, salah satu pasal kontroversial dalam UU Cipta Kerja adalah besaran uang pesangon bagi karyawan korban PHK yang dinilai menyusut.