Cerita Penggerak Inklusi di Ngada Hingga Mendapatkan Inclusive Education Award dari Mendikbud RI
Cerita Penggerak Inklusi di Ngada Hingga Mendapatkan Inclusive Education Award dari Mendikbud RI
Penulis: Gordi Donofan | Editor: Kanis Jehola
Cerita Penggerak Inklusi di Ngada Hingga Mendapatkan Inclusive Education Award dari Mendikbud RI
POS-KUPANG.COM | BAJAWA -- Dunia pendidikan yang serba teknologi dengan berbagai kemajuan ini rupanya menjadi tantangan dan peluang bagi setiap warga negara.
Dunia pendidikan semakin maju, menuntut setiap warga harus paham teknologi. Semangat dan terus belajar menjadi kebiasaan untuk terus bertahan hidup di tengah arus globalisasi.
Siswa-siswi dituntut untuk paham teknologi, harus bisa akses internet dan yang penting harus miliki gedget atau handphone android.
• Nikmati Promo Belanja di Informa Kupang, Diskon 50 Persen Tambahan 10 Persen
Namun bagaimana dengan pendidikan inklusi? Apakah diabaikan begitu saja. Apakah hanya sebagai hiasan untuk dijadikan pariwara? ataukah hanya sebagai batu loncatan untuk mendapatkan perhatian untuk menghadirkan negara di tengah masyarakat.
Pendidikan inklusi menjadi sangat vital. Vital karena ini mengurus orang-orang yang memang memiliki keterbatasan tertentu.
• Pemerintah Sumba Timur Sesuaikan Tarif Swab dan Rapid Test
Mereka adalah generasi masa depan bangsa dan negara Indonesia. Mereka harus dibekali, dibimbing penuh kasih dan sayang.
Tak hanya itu. Pendidikan inklusi harus menjadi perhatian pemangku kepentingan direpublik ini sehingga hak dan kewajiban yang berkebutuhan khusus terakomodir oleh negara.
Hal itulah yang mendorong seorang pria asal Kabupaten Ngada ini hingga sejumlah sekolah di Ngada menjadi sekolah yang pro pendidikan inklusi.
Pria yang bernama lengkap Martinus Seo, S.Pd merupakan sosok penggerak pendidikan inklusi di Ngada.
Pria yang akrab disapa Tinus ini beberapa tahun terakhir gencar melaksanakan edukasi dan sosialisasi serta menggerakan semua komponen agar memperhatikan pendidikan inklusi.
Tinus mengisahkan pada tahun 2012 dirinya bertemu dengan kepala bidang pendidikan khusus dan layanan khusus (PKLK) Dinas Pendidikan NTT Drs.Valentinus Bhalu.
Drs. Valentinus mengajak dirinya untuk mensosialisasikan pendidikan inklusif yang saat itu dirinya belum mengerti hal Ikhwal nya pendidikan inklusif.
Setelah mendengar penjelasan dari Drs.Valentinus Bhalu,
semangatnya berkobar-kobar untuk membelah hak anak yang selama ini ada diskriminasi oleh orang tua atau guru.
"Ketika saya ingat, saya sebagai guru tugasnya saya adalah mencerdaskan bangsa yang tertuang dalam undang-undang pasal 31 ayat 1 dan 2 yaitu: setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan baik yang normal ataupun yang berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan dan tidak boleh ada diskriminasi dalam memperoleh pendidikan. Kalau dulu yang berkebutuhan khusus atau inklusif sekolahnya di SLB namun karena ada Permendikbud nomor 70 Tahun 2009 semua sekolah reguler baik SD, SMP, SMA dan SMK dapat bersekolah di sekolah reguler karena itu saya berjuang dari kampung ke kampung bersama pak Valentinus melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah di Ngada," kisah Tinus saat dijumpai POS-KUPANG.COM di Bajawa Jumat (9/10/2020).
Lanjut dia, namun tidak semua sekolah yang respon. Hanya ada 24 sekolah yang respon untuk mau menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Ketika Drs. Valentinus Bhalu kembali ke Kupang, lalu dirinya melakukan asesmen bersama guru-guru untuk menentukan anak-anak yang disabilitas atau inklusif.
Koordinator penggerak pendidikan inklusi Kabupaten Ngada ini, menyatakan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang diberikan kepada anak-anak yang mempunyai perbedaan mental, fisik, hambatan pendengaran, penglihatan, bicara, hambatan ekonomi atau hambatan topografi serta anak-anak yang mempunyai kemampuan cerdas istimewa yang IQ diatasnya 125 serta anak yang mempunyai bakat istimewa.
"Lalu saya mengirim data ke kementerian PKLK di Jakarta serta mengurus dokumen ijin operasional oleh gubernur NTT yang saat itu Drs. Frans Leburaya tidak lama kemudian kurang lebih 2 bulan dari kementerian mengirim beasiswa anak inklusif setiap anak 1,5 juta hingga 1,7 juta rupiah ke rekening kepala sekolah masing-masing SD, SMP, SMA dan SMK," ujarnya.
Dia menyebutkan tahun 2013 seorang Dirjen datang ke kabupagen Ngada untuk klarifikasi dana yang terserap di Ngada.
"Siapa kira-kira yang melakukan sosialisasi pendidikan inklusif di Ngada setelah mendapat penjelasan dari saya bahwa saya melakukan sosialisasi lalu Dirjen pulang ke Jakarta tepatnya tanggal 24 November 2014 saya di undang untuk mendapatkan penghargaan dari kementerian Direktorat Jendral pendidikan dasar pendidikan khusus dan layanan khusus tepatnya pada tanggal 2 Desember 2014 cek in tepat hotel Grand Artos Aero Wisata Magelang Jawa tengah untuk mengikuti acara penyerahan penghargaan inklusif (Inclusive Education Award ) saat itu yang menerima adalah para Gubernur, walikota, bupati, rektor dan media elektronik program Kikc Andi metro tv, program hitam putih Trans7 dan perorangan adalah saya sebagai guru SDK Naru dan kepala sekolah SMPN 4 Sidoarjo Jawa Timur," ujarnya.
Ia menceritakan yang mendorong dirinya untuk inklusif yaitu banyak anak yang putus sekolah karena tidak mampu secara ekonomi atau merasa malu dengan keadaan fisik atau keadaan emosional lainnya.
Dengan program inklusif anak-anak tersebut mendapatkan bantuan untuk membayar uang sekolah atau uang komite dan pakaian seragam serta alat tulis menulis lainnya.
Kepala SDK Naru ini mengisahkan yang membedakan pendidikan inklusif dan pendidikan biasa yaitu pendidikan yang biasa dilaksanakan secara reguler sedangkan pendidikan inklusif mengajar dan membimbing anak anak yang lamban belajar, kesulitan belajar, ataupun hambatan fisik atau emosional lainnya.
"Contoh, anak yang cerdas istimewa akan merasa bosan jika guru yang mengajar mengulang ulang bahan ajar yang sudah di ajarkan sedangkan anak yang lamban belajar tetap diam dan tidak menerima respon apa-apa," ujarnya.
Ia melanjutkan oleh karena itu, Guru Pendamping Khusus (GPK) melakukan pendampingan personal itu dilakukan terus-menerus atau ada anak yang bisa menulis tapi tidak tau membaca sebaliknya anak bisa membaca tapi tidak tau menulis atau bisa menghitung tapi tidak tau membaca.
Ia menyebutkan pengalaman pendidikan inklusif gampang- gampang sulit. Dengan kunjungan rumah melakukan perbaikan proses belajar mengajar dan pendekatan pada orang tua menyampaikan tentang kesulitan kesulitan belajar yang dihadapi anak di rumah.
"Tapi ada enaknya setiap tahun saya selalu di undang oleh kementerian untuk mengikuti bimbingan teknik inklusif pelatihan- pelatihan tentang disabilitas atau rapat koordinasi tingkat nasional dan tidur di hotel mewah naik pesawat pulang pergi negara yang bayar," ujarnya.
Ia menyampaikan di Ngada kondisinya belum berjalan secara baik sesuai diharapkan karena kurangnya Guru Pendamping Khusus (GPK) setiap sekolah.
GPK tidak mendapat insentif apapun yang berhubungan dengan anak- anak inklusif dan sekarng ini negara sedang melaksanakan bimbingan teknik secara daring oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan RI.
Ia mengaku kedepannya pendidikan inklusif akan lebih baik apabila kepala sekolah dan guru-guru mendapatkan bimbingan dan pelatihan baik tingkat kabupaten, provinsi, nasional maupun tingkat internasional.
"Harapan saya semua elemen masyarakat pemerintah orang tua mengetahui tentang pendidikan inklusif. Dan bisa mengetahui cara-cara mengatasi jika anak berkesulitan belajar atau lamban," ujarnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gordi Donofan)