Wawancara Khusus Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo: Komunisme Sudah Mati

Wawancara Khusus Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo: Komunisme Sudah Mati

Editor: Kanis Jehola
ISTIMEWA
Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo 

Wawancara Khusus Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo: Komunisme Sudah Mati

POS-KUPANG.COM - Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional ( Gubernur Lemhannas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo berbicara mengenai isu Partai Komunis Indonesia ( PKI) yang kerap kali muncul setiap tahun di bulan September.

Dalam wawancara eksklusif bersama Tribun Network, Agus berbicara mengenai sejumlah isu nasional. Wawancara dipandu News Director Tribun Network Febby Mahendra Putra, News Vice Director Domu Ambarita dan Staf Direksi Cecep Burdansyah dan News Manager Tribun Network, Rachmat Hidayat.

Prakiraan BMKG, Enam Wilayah Kecamatan di Manggarai Hari Ini Berpotensi Diguyur Hujan

Agus berbicara panjang lebar tentang PKI dan pandemi Covid 19. Bagaimana PKI menjadi isu tahunan dan Covid 19 bisa mengganggu Ketahanan Nasional.

Sebagai putra Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo yang menjadi korban 30 September 1965, Agus terlibat aktif dalam rekonsiliasi dan penguakan sejarahnya.  Ia adalah Ketua Dewan Pengarah Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" yang dilangsungkan tahun lalu.

Berpolitik Praktis, ASN Bisa Dipecat

Menurut Agus, isu komunis akan selalu digunakan oleh mereka yang mempunyai kepentingan tertentu dan hingga kini masih laku dijual untuk mencapai kepentingan politik. "Komunisme di dunia itu sudah mati. Walaupun masih ada partai tunggal, partai komunis, istilah-istilah itu masih ada," ujar Agus.

Bulan September selalu ada isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Apa pendapat Anda tentang fenomena ini?

Pertama adalah bahwa payung hukum atau sebagian lebih senang menggunakan istilah dasar hukum untuk melarang menyebarkan ajaran dan paham komunisme, marxisme, leninisme, itu sudah kuat. Pertama dari TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Yang sudah juga disertai dengan ancaman sanksinya.

Kalau ada gejala-gejala itu tinggal laporkan ke pihak berwenang untuk ditindak. Mungkin juga Undang-Undang itu tidak cukup konkrit untuk menjadi dasar indikator.Apa sih yang dikatakan sebagai usaha penyebaran ajaran dan paham komunisme, marxisme, dan leninisme. Bentuknya bagaimana? Kalau orang mempunyai atribut palu arit apakah itu menyebarkan ajaran.

Kalau orang punya buku tentang sejarah PKI dalam konteks politik sejarah Indonesia apakah itu juga termasuk menyebarkan paham komunisme?

Jadi harus lebih konkrit lagi untuk bisa dilihat di dalam kenyataan dan terukur. Mungkin ini yang perlu kita lihat. Selama itu masih jadi perdebatan, itu pertanda Undang-Undang itu belum cukup konkrit untuk dijabarkan menjadi indikator-indikator yang bisa diukur. Jadi untuk negara kita payung hukum, dasar hukum, sudah sangat kuat. Tinggal ditegakan sejauh mana aparat kita, pemerintah mau menegakkan itu. Kalau dilihat belum cukup efektif, apa permasalahannya?

Apakah memang Undang-Undang itu belum cukup kuat. Yang kedua, kita lihat bahwa komunisme di dunia itu sudah mati. Walaupun masih ada partai tunggal, partai komunis, istilah-istilah itu masih ada.

Dan biasanya komunisme di masa lalu. Di masa perang dingin, di negara dunia ketiga, itu biasanya berkait dengan komunisme internasional. Sedangkan sekarang gerakkan komunisme internasionalnya sudah tidak ada.

Sehingga pertanyaannya apakah mungkin ada gerakkan komunisme nasional. Kemudian tujuannya apa. Mereka dapat dukungan dari mana. Secara politis sangat lemah. Mereka tidak akan mendapat dukungan dari siapapun itu.

Dan kalau ada sampai tanda-tanda, terus terang menunjukkan atribut-atribut komunisme, atribut-atribut Partai Komunis itu menurut logika adalah sebuah tindakan bodoh. Pasti tidak ada dukungan kuat untuk mereka.

Dan mereka menunjukkan identitas secara sangat terbuka, itu namanya bunuh diri. Walaupun di sisi lain harus kita waspadai. Apa yang kita waspadai, yaitu mereka, individu, golongan yang dulu terkena oleh tindakan pemerintah untuk menghancurkan komunisme sekitar tahun 1965, 66, 67, 68.

Itu sudah dipulihkan hak politiknya. Ada yang menjadi anggota DPR, siapa tahu banyak juga yang tidak kita ketahui karena sudah dianggap sama dengan warga negara lainnya. Sudah ikut Pemilu, sudah ikut Pilkada mungkin.Jadi mereka sudah ada di mana-mana, bukan tidak mungkin terjadi bonding karena persamaan nasib di masa lalu.

Dan karena persamaan nasib di masa lalu, bisa saja terjadi katakanlah dari hal-hal yang bersifat untuk nostalgia, reunikah itu, tetapi juga mungkin untuk bisa merebut sesuatu yang lebih berarti.Jadi tetap kita waspadai.

Tetapi jangan terus kemudian menjadi alat politik sebagai alat untuk memobilisasi kekuatan tertentu.Untuk digunakan bagi tujuan-tujuan politik tertentu. Yang sebetulnya itu tidak didasarkan kepada pernyataan yang ada.

Sedangkan Hari Kesaktian Pancasila sudah jelas. Karena bukti keganasan PKI ada di Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965. Dan ini merupakan kelemahan bagi mereka. Mereka menganggap bahwa keganasan dari peristiwa 1965 hanya dimulai dari 2 Oktober ke depan.

Jadi, mari kita buka semuanya dan kalau dikatakan kenapa menjelang tanggal 1. Saya cenderung untuk menduga bahwa itu digunakan sebagai alat politik. Dipolitisasi untuk tujuan-tujuan tertentu.

Sebagai putra pahlawan revolusi sering bertemu keluarga G30S PKI? bagaimana rekonsiliasi yang terjadi?

Rekonsiliasi itu berdamainya sebuah bangsa dengan masa lalunya. Walaupun masa lalu itu terdapat kesalahan yang telah membelah bangsa ini menjadi bagian-bagian yang menyebabkan polarisasi di dalam bangsa. Merekatkan kembali bangsa yang sudah pecah itulah yang namanya rekonsiliasi.

Yang dikatakan sekarang rekonsiliasi kultural, waktu itu inisiatif yang diambil wali kota Palu, beliau terlibat di dalam peristiwa G30S PKI, memberikan pernyataan dan akhirnya menyatukan anak-anak generasi II dan generasi III dari kedua belah pihak yang terlibat di dalam tragedi 1965. Mereka disatukan dalam kegiatan kepemudaan, seperti upacara bendera, perkumpulan lainnya. Itu rekonsiliasi kultural.

Banyak juga saya dengar, sudah dilakukan generasi muda dari kalangan Islam. Cenderung lebih banyak dari kalangan NU, yang sudah mengadakan pendekatan kembali dengan keluarga-keluarga eks PKI di masa lalu.

Satu hal yang belum dilakukan dalam rekonsiliasi kultural, yaitu pencarian kebenaran. Tanpa itu, kita tidak bisa belajar dari kesalahan di masa lalu agar tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Saya tidak bisa melihat, tanpa rekonsiliasi itu kita bisa menyongsong tantangan masa depan. Saya salah satu penggagas untuk membentuk forum silaturahmi anak bangsa. Terdiri dari generasi II dan III keluarga-keluarga yang terlibat dalam konflik masa lalu. Di sana ada anak Kartosoewirjo, anak-anak pahlawan revolusi, ada kalangan keluarga PSI, ada anak DN Aidit.

Rekonsiliasi hanya bisa dilakukan orang-orang berjiwa besar. Selama orang itu masih menentukan sifatnya bertahan dan defensif, maka sebenarnya kita belum bergerak maju. Bila demikian, maka Indonesia belum bergerak maju, masih ada di posisi tahun 1965 karena orang-orangnya masih menempatkan diri di tahun 65. Ini kendala besar dalam rekonsiliasi.

Rekonsiliasi itu sebuah kesepakatan, bukan dipaksa, tetapi kesukarelaan untuk menuju ke tengah agar bisa dicapai kesepakatan dan membangun bangsa yang baru menyongsong tantangan masa depan. Itu yang belum bisa diwujudkan, bahwa masyarakat kita belum bisa beranjak dari kondisi psikologis tahun 1965. (tribun network/denis destryawan)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved