IRJEN HAMIDIN L'ASCESA DELL'AMORE IN NTT: Laut dan Budaya Membangkitkan Cinta
DALAM sebuah percakapan di lantai 18 Hotel Aston Kupang pada tahun baru 2020 penulis bertemu dan duduk satu meja dengan seorang turis Italia
Misalnya dengan menetapkan kurs USD untuk ticket memasuki daerah wisata adat atau desa adat. Semakin klasik dan tua suatu budaya dan adat, maka seharusnya semakin mahal juga harga entry ticketnya.
Untuk masuk daerah wisata air dalam suatu kawasan, maka turis selain membayar entry ticket untuk masuk wilayah, juga dikenakan biaya tambat atau Mouring Pay.
Untuk kegiatan penyelaman maka diwajibkan membayar per kegiatan penyelaman, bukan paket penyelaman. Kalau rombongan sepuluh orang maka ticket dive juga membayar sepuluh ticket dive sekali menyelam. Kalau sehari tiga kali penyelaman, maka rombongan harus membayar tiga puluh ticket dive.
Untuk memasuki wilayah satwa seperti Komodo maka entry ticketnya lebih mahal lagi, dengan logika bahwa komodo adalah binatang terlangka di dunia. Hal yang sama berlaku juga untuk sang Dugong Mawar.
Untuk kain tenun ikat juga harus relatif mahal, karena dimana mana, di seluruh dunia, kerajinan tenun itu memang mahal. Untuk memperlancar aktifitas wisata Pemerintah juga harus menyiapkan pemandu turis profesional dengan pengetahuan sejarah dan kemampuan bahasa asing yang memadai.
Pemerintah harus juga mempublikasikan parawisata global melalu blog dan laman dumay lainnya secara masif. Semua tentu harus didahului oleh peraturan daerah yang tidak bertentangan aturan yang lebih tinggi sebagai regulasi yang otonom.
Akan lebih signifikan lagi apabila ada badan yang memiliki otoritas penuh yang secara organisatoris di bawah langsung kendali gubernur. Bisa semacam Badan Terpadu Satu Pintu yang membidangi otoritas pelayanan, keuangan, suvervisi dan koordinasi. Semoga! (mantan Kapolda NTT Irjen Pol Hamidin)