IRJEN HAMIDIN L'ASCESA DELL'AMORE IN NTT: Laut dan Budaya Membangkitkan Cinta
DALAM sebuah percakapan di lantai 18 Hotel Aston Kupang pada tahun baru 2020 penulis bertemu dan duduk satu meja dengan seorang turis Italia
POS-KUPANG.COM - DALAM sebuah percakapan di lantai 18 Hotel Aston Kupang pada tahun baru 2020 yang lalu penulis bertemu dan duduk satu meja dengan seorang turis cantik dari italia. Dia mengatakan pada penulis "Mare e cultura qui e'l'inizio dell'ascesa dell'amore in NTT".
Ini adalah ungkapan tulus dan jujur seorang turis asing yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di bumi flobamorata Indonesia. Bagi turis wanita Italia itu cintanya telah bangkit saat dia mengenal dan menikmati indahnya panorama dasar laut, dan setelah mengunjungi beberapa desa adat selama seminggu roadshow keliling di beberapa kabupaten di NTT.
• Gisella Anastasia: Rasa Bersalah
Bagi penulis ini adalah ungkapan tulus dan paling jujur dari seorang turis sebagai wujud ekspresi kekaguman akan laut dan budaya NTT yang harus kita syukuri dan selanjutnya kita respon sebagai sarana promosi bagi industri parawisata NTT yang tengah menggeliat bangkit.
Kunjungan yang hanya seminggu bagi sang turis seperti wanita Italia ini, mulai dari desa adat Wai Rebo, ke desa adat Takpala, wisata Dugong Alor, juga pengalaman penyelaman di Labuan bajo, telah membuat sang turis ini memberikan reaksi puja puji dan kekaguman yang luar biasa pada keindahan alam dan budaya NTT.
Pertanyaan Konstruktif
Masih dalam suasana menyeruput kopi di lantai 18 Aston Kupang tersebut, penulis mencoba menggali dan merangkai beberapa hal yang signifikan, yang bisa dijadikan masukan bagi NTT. Penulis saat itu menanyakan kesan apa yang dia peroleh atas kunjungan wisatanya di bumi Flobamorata ini?
Sungguh diluar dugaan, jawabannya adalah pertanyaan balik dan retorik pada penulis, pertama, mengapa semua desa yang ada budaya unik yang kami kunjungi biaya masuknya sangat murah? Menurutnya biaya menginap di desa adat Wae Rebo, sungguh tidak masuk akal, murah sekali.
• Empat Traffic Light di TTS Rusak
Kedua, kenapa guide di sini juga dibayarnya juga murah? Kenapa guide dan pemandu jalan seperti di Wae Rebo justru orang dari luar NTT, mereka datang dari Lombok? Kenapa tidak orang lokal yang asli dan tahu adat istiadat lokal dengan detail? Bahasa Inggris guide itupun juga "poor", sungguh kurang bagus.
Penjelasan pemandu juga kurang meyakinkan. Mau cari literatur di google, sinyal di sana juga tidak ada.
Ketiga, kenapa di desa adat Kabola Alor, dimana masyarakat adat masih bertahan menggunakan pakaian tradisional kulit kayu -bark clothes -, mungkin ini budaya tradisional dan satu satunya di dunia yang masih tersisa namun tidak ada penjelasan lengkap dan detail dalam literatur dokumen sejarah global maupun lokalnya.
Di google juga tidak Lengkap, dia juga bertanya tentang sejarah tentang cara membuat api dengan bambu dan rokok dari daun nipah, juga tidak ditemukan literaturnya.
Keempat, Sang turis juga menanyakan kenapa di Labuan Bajo tidak cukup spot mouring atau bui penambat untuk mengikat kapal untuk kegiatan penyelaman dan kenapa spot mouring tidak dibebani biaya bayar mouring untuk tambat? Kenapa serba gratis?
Kelima, di Alor ada ikan Dugong yang jinak yang selalu mendekat ke perahu turis dan diberi nama "mawar"? Kenapa turis lokal Indonesia suka membelai serta menyentuhnya?
Beberapa Pemikiran Konstruktif
Bergerak dari konsep psikologis dan pemikiran bahwa turis atau traveler akan memanjakan hatinya dan akan membayar berapapun demi kepuasan batin mereka, maka memasang tarif premium sesuai dengan standart imternational termasuk penentuan tarif masuk -entry ticket- sudah saatnya untuk diterapkan.
Misalnya dengan menetapkan kurs USD untuk ticket memasuki daerah wisata adat atau desa adat. Semakin klasik dan tua suatu budaya dan adat, maka seharusnya semakin mahal juga harga entry ticketnya.
Untuk masuk daerah wisata air dalam suatu kawasan, maka turis selain membayar entry ticket untuk masuk wilayah, juga dikenakan biaya tambat atau Mouring Pay.
Untuk kegiatan penyelaman maka diwajibkan membayar per kegiatan penyelaman, bukan paket penyelaman. Kalau rombongan sepuluh orang maka ticket dive juga membayar sepuluh ticket dive sekali menyelam. Kalau sehari tiga kali penyelaman, maka rombongan harus membayar tiga puluh ticket dive.
Untuk memasuki wilayah satwa seperti Komodo maka entry ticketnya lebih mahal lagi, dengan logika bahwa komodo adalah binatang terlangka di dunia. Hal yang sama berlaku juga untuk sang Dugong Mawar.
Untuk kain tenun ikat juga harus relatif mahal, karena dimana mana, di seluruh dunia, kerajinan tenun itu memang mahal. Untuk memperlancar aktifitas wisata Pemerintah juga harus menyiapkan pemandu turis profesional dengan pengetahuan sejarah dan kemampuan bahasa asing yang memadai.
Pemerintah harus juga mempublikasikan parawisata global melalu blog dan laman dumay lainnya secara masif. Semua tentu harus didahului oleh peraturan daerah yang tidak bertentangan aturan yang lebih tinggi sebagai regulasi yang otonom.
Akan lebih signifikan lagi apabila ada badan yang memiliki otoritas penuh yang secara organisatoris di bawah langsung kendali gubernur. Bisa semacam Badan Terpadu Satu Pintu yang membidangi otoritas pelayanan, keuangan, suvervisi dan koordinasi. Semoga! (mantan Kapolda NTT Irjen Pol Hamidin)