Kalau Tidak Sehat, Tidak Mungkin Ekonominya Bagus
Dilakukan rapid test terkait perjalanan kita sebenarnya mengatakan lebih baik protokol kesehatan dijalankan, dibanding rapid-nya
Dan orang diawasi terus-terusan. Baru masuk uji kedua, orang banyak. Uji ketiga baru berbagai macam daerah. Kan tidak bisa, obat ini hanya dipakai di sub-tropis, harus dipakai di seluruh muka bumi.
Itu yang pertama keamanan.Yang kedua manfaat. Ada tidak respon yang muncul dari obat ini, seperti yang diharapkan. Tujuan memberikan vaksin adalah memunculkan kekebalan, respon anti body.
Kalau itu aman tapi anti body tidak keluar ya untuk apa. Biasanya setelah uji kedua, ini sudah diyakini aman. Ada manfaat. Tinggal dilaksanakan uji ketiga, kalau disuntikan pada orang yang terkait dengan genetik, bukan ras mongoloid misalnya, di ras lain misalnya.
Di daerah tidak hanya sub tropis, apakah manfaatnya aman, apakah manfaatnya juga sama. Kita kan akhirnya menghitung cost effective-nya.
Seperti kalau kita ke Saudi, ada vaksin meningitis, dan itu ternyata hanya memiliki dampak dua tahun. Setelah dua tahun kalau mau pergi ke sana lagi, suntik lagi. Beda dengan hepatitis, kebal seumur hidup misalnya.
Vaksin covid ini, belum ada yang mengatakan (seumur hidup atau berkala), loh covidnya baru kemarin. Baru akhir 2019, mana ada yang bisa mengatakan, bisa dijamin 2 tahun, menghitungnya gimana. Ini pun menjadi bagian.
Kalau hanya memberikan perlindungan sebulan, sebulan, waduh, setiap bulan disuntik berapa duitnya. Ini pun menjadi kajian, memang ada harapkan dari kajian yang kita prediksikan, dari vaksin yang kita coba ini, itu bisa memberikan kekebalan variasi antara 2 tahun sampai kurang dari 2 tahun.
Apakah perlu izin dari WHO?
Ini kan uji fase tiga. Izinnya kedunia, bukan hanya ke Indonesia saja. Karena dilaksanakan juga di Brazil dengan 9 ribu orang, di Pakistan 1 ribuan, India 2 ribuan, itu juga dilakukan Sputnik V, kemudian Astra Zeneca juga sama. Sinopharm di Uni Emirate Arab.
Vaksin bisa diproduksi massal setelah mendapat persetujuan WHO?
Sebenarnya bukan persetujuan. Dari hasil uji klinis tahap ketiga nanti ada board dari WHO yang mengatakan ini recommended. Sehingga kalau recomennded berarti tidak satu vaksin, tapi banyak vaksin.Nanti silakan masing-masing negara untuk memilih.
Seandainya recommended aplikasiny seperti apa?
Maka selanjutnya kita harus mengidentifikasi di Indonesia siapa sih yang harus divaksin. Kami sudah berproses dan masih berproses baik dengan WHO, Asosiasi untuk vaksin di Indonesia, isinya expert semua di Indonesia.
Siapa sih yang harus divaksin, mereka mengatakan yang harus divaksin orang-orang beresiko tinggi. Diklasifikasi resikonya. Manakala kita mengatakan yang beresiko misalnya 160 juta orang. Dan hari ini ada 160 juta vaksin, ya tidak usah mikir suntikan saja ke semua.
Tapi kalau yang beresiko 160 juta, sementara bulan ini hanya ada 25 juta, kan harus memilih siapa yang nomor satu dan nomor dua. Di dalam kelompok resiko harus kita kelompokan lagi.Yang kita kedepankan adalah frontliner, prioritas nomor satu. Yaitu tenaga kesehatan yang merawat pasien covid. Atau petugas laboratorium yang menangani virus covid. Itu urutan nomor satu.