Warga Besipae: Hati Kami Sakit, Pemprov Bantah Bertindak Represif
Warga Desa Linamnutu Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan ( Kabupaten TTS) tetap bertahan di kawasan hutan Pubabu-Besipae
POS-KUPANG.COM | SOE -Warga Desa Linamnutu Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan ( Kabupaten TTS) tetap bertahan di kawasan hutan Pubabu-Besipae.
Sebanyak 29 kepala keluarga (KK) menolak relokasi, termasuk menempati rumah yang dibangun Pemerintah Provinsi NTT ( Pemprov NTT).
Mereka membangun gubuk beratapkan daun lontar. Warga juga membangun tenda darurat dari terpal, bantuan Lembaga Perlindungan Anak (LPA).
• Andi Tewas Saat Mencari Ikan
Warga enggan mengikuti kebijakan relokasi, termasuk menempati rumah yang dibangun Pemprov NTT di luar kawasan Pubabu-Besipae karena lokasi tersebut merupakan milik keluarga Selan.
Selain itu, tanah yang diberikan Pemprov NTT ukurannya terlalu kecil untuk digarap menjadi lahan pertanian.
"Rumah yang pemprov bangun itu di belukar milik orang, kami takut nanti diusir. Kami ini hidup dari pertanian, kalau kasih lahan 20 meter kali 40 meter tidak akan cukup untuk kami olah guna memenuhi kebutuhan makan selama setahun," ujar Damaris Tefa saat ditemui di Besipae, Kamis (20/8) siang.
• Dana BOS Boleh Digunakan untuk Rapid Test
Damaris bersama 28 KK lainnya memilih membangun tenda darurat dan gubuk di kawasan hutan Pubabu-Besipae. Mereka tetap komit untuk terus memperjuangkan tanah hutan adat Pubabu.
Walau harus tidur beralaskan terpal, tikar dan daun lontar (gewang), Damaris bersama warga Pubabu lainnya memilih untuk bertahan.
"Kami tinggal ada yang ditenda tarpal, ada juga yang di rumah dari daun lontar. Kami bertahan di sini untuk memperjuangkan hutan adat kami," tegas Damaris.
Hal senada disampaikan Anida Manisa. Ia enggan menempati rumah yang dibangun Pemprov NTT karena merasa rumah tersebut dibangun di atas belukar milik orang.
Anida khawatir sewaktu-waktu ia bersama keluarga akan diusir.
Menurutnya, tanah seluas 800 meter persegi yang diberikan Pemprov NTT terlalu kecil untuk bercocok tanam. Ia memilih bertahan di kawasan hutan Pubabu-Besipae walau hidup harus serba terbatas.
"Kami hidup begini sudah. Tidur di tenda dari tarpal dapur langsung beratap langit. Tidak ada MCK. Kami akan tetap di sini. Kami mau terus memperjuangkan hutan adat Pubabu ini, walaupun rumah kami sudah dirubuhkan," ujar Anida.
Apa yang dibutuhkan saat ini? "Hanyamau hutan Pubabu dikembalikan, dijaga dan dikelola masyarakat," jawab Anida.
Warga Pubabu-Besipae juga menyatakan tak ingin lagi bertemu dengan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. "Kami sudah tidak mau lagi. Hati kami sakit, ada luka besar di hati kami," ujar Damaris dan Anida.
Keduanya mengaku, trauma diperhadapkan dengan Brimob bersenjata laras panjang. Peristiwa penembakan peluru gas membuat mereka ketakutan. Namun hal itu tidak akan membuat mereka angkat kaki.
"Kami takut pak diperhadapkan dengan aparat bersenjata. Kami trauma mendengar letusan peluru," ucap Damaris.
Mengenai kebutuhan makanan dan minuman sehari-hari, Damaris mengaku mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.
Ia mengungkapkan satu hal yang menjadi kesulitan mereka saat ini yaitu air bersih. Mereka harus membeli air per jeriken untuk mandi dan mencuci. Damaris dan warga lainnya terpaksa mandi hanya sekali sehari.
"Kami masih bisa makan dua kali sehari. Kami kesulitan air bersih, karena sumber air di hutan Pubabu tidak ada. Untuk memenuhi kebutuhan air, kami harus membeli air yang dijual per jeriken," terangnya.
Apabila malam tiba, lokasi itu gelap gulita. Warga menyalahkan api di luar tenda sebagai penerangan. "Kami kalau malam bakar api di luar sampai pagi, sumber penerangan dan menghangatkan tubuh kami," ujar Damaris.
Rumah Layak Huni
Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi mengatakan Pemprov NTT membangun rumah bagi warga Pubabu Besipae. Dengan demikian, warga Pubabu Besipae tidak lagi menempati rumah yang tidak layak huni.
"Kami tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Hal itu menjadi perhatian serius pemerintah dengan menyiapkan rumah layak huni bagi warga Pubabu," kata Josef kepada wartawan di Kupang, Rabu (19/8).
Ia menegaskan, Pemprov NTT tidak mengambil alih lahan Besipae untuk kepentingan tertentu tetapi digunakan untuk kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat.
Pemerintah tidak mengabaikan aspek kesejahteraan warga.
Wagub Josef mengatakan, Pemprov NTT perlu mengosongkan lahan bekas lokasi pengembangan ternak sapi itu untuk penataan kembali sebelum digunakan bagi pembangunan usaha ekonomi masyarakat.
Proses penataan lahan, demikian Wagub Josef, sudah mulai dilakukan dengan melibatkan warga sekitar sebagai pekerja untuk membersihkan lahan dengan upah sebesar Rp 50 ribu perhari.
Menurutnya, masyarakat Pubabu boleh mengklaim bahwa lahan itu merupakan bagian dari tanah adat namun perlu dibuktikan secara yuridis. "Kita buktikan saja di lapangan apakah memang lahan itu merupakan bagian dari tanah ulayat," tandas Wagub Josef.
Tidak Intimidasi
Pemprov NTT tidak punya niat menyengsarakan warga masyarakat Besipae. Pemerintah justru menjadikan Besipae menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat, agar masyarakat hidup sejahterah.
Hal ini dikatakan Kepala Biro Humas dan Protol Setda NTT Marius Ardu Jelamu dan Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Setda NTT Dr Zet Sony Libing terkait polemik lahan kawasan hutan Pubabu-Besipae, Rabu (19/8).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), TTS adalah salah satu kabupaten termiskin secara ekonomi di daratan Timor. Oleh karena itu, Pemprov NTT berupaya menekan angka kemiskinan dengan memanfaatkan aset yang ada, salah satunya lahan di Besipae.
"Pemprov NTT punya komitmen yang kuat untuk menekan angka kemiskinan. Untuk itu pemerintah mencoba mengubah, termasuk memanfatkan seluruh aset yang ada, dikelola untuk dimanfaatkan oleh masyarakat," kata Marius.
Marius menyebut Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi adalah orangtua dari 5 juta lebih penduduk NTT. Sebagai orangtua tidak pernah berpikir untuk sengsarakan anaknya.
Ia mengatakan, Pemprov NTT berusaha memanfaatkan lahan Besipae seluas 3.780 hektar. "Salah satu kawasan yang bisa mendongkrak ekonomi di TTS adalah Besipae. Kita akan melihat hasilnya nanti, ketika pemerintah mengelola kawasan itu dengan baik," kata Marius.
Kepala Badan Pemdapatan dan Aset Daerah NTT Dr Zet Sony Libing membantah kalau peristiwa Besipae yang sempat menjadi viral merupakan tindakan kekerasan dan intimidasi pemerintah terhadap warga.
"Pemerintah sama sekali tidak pernah menggunakan pendekatan represif atau kekerasan terhadap sengketa lahan di Besipae selama ini. Justru kami menggunakan pendekatan yang humanis terhadap sejumlah KK yang menolak untuk dipidahkan dari lokasi," tandas Sony.
Ia menjelaskan, prinsip pengelolaan aset pemprov adalah bagaimana aset itu dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk dijadikan aset semata.
"Lahan Besipae adalah aset yamg tertidur panjang selama ini. Saat ini, kita manfaatkan untuk dikelola secara baik demi kesejahteraan masyarakat," ujar Sony.
Sebelumnya diberitakan, anak-anak dan perempuan dewasa menangis histeris tatkala oknum anggota Brimob melesatkan tembakan ke tanah di lokasi kawasan hutan Pubabu-Besipae, Selasa (18/8).
Tembakan peringatan itu bertujuan warga Pubabu Besipae mengosongkan lahan tempat tinggalnya atas perintah Pemprov NTT. Kekerasan yang dialami masyarakat adat ini terjadi sehari setelah baju adat mereka dikenakan Presiden Joko Widodo dalam upacara peringatan HUT ke-75 Kemerdekaan RI, Senin (17/8).
Pada Selasa siang, aparat gabungan TNI, Polri dan Satpol PP mendatangi warga Besipae. Bangunan rumah yang selama ini menjadi tempat pengungsian warga yang mempertahankan hutan adat mereka dirubuhkan. Perempuan dan anak-anak di lokasi mendapat intimidasi, baik verbal dan fisik oleh aparat.
Salah satu tokoh masyarakat Besipae, Nikodemus Manao, menyebut banyak anak-anak dan perempuan merasa trauma, apalagi setelah tiga tembakan peringatan aparat meletus.
"Banyak yang trauma, khususnya anak-anak dan ibu-ibu karena dihadapkan dengan aparat Brimob dan tentara yang datang dengan senjata laras panjang," tutur Nikodemus, Rabu (19/8).
"Apalagi ketika mereka datang belum ada persiapan relokasi, masyarakat punya rumah itu digusur sehingga masyarakat sementara hidup di bawah pohon," ujarnya kemudian.
Nikodemus mengaku bahwa rumahnya dirubuhkan pada Kamis (13/8) silam ketika dirinya berada di Kupang. Barang berharga di rumahnya kini tak ada rimbanya.
"Ketika saya lihat rumah saya digusur, saya merasa sedih dan saya pikir ini risiko perjuangan sudah seperti ini," ujarnya pelan.
Sejak Kamis pekan lalu hingga kini, Nikodemus beserta istri dan ketiga anaknya yang masih balita terpaksa tinggal di pekarangan dengan berlindung di bawah pohon bersama dengan anggota masyarakat adat lain yang rumahnya digusur.
"Sementara kami berlindung di bawah pohon, anak-anak kami juga tidak bisa diperhatikan karena untuk mandi anak sendiri tidak punya air, karena kami di sini jauh dari mata air," jelas Nikodemus.
Ironis
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyebut di balik baju adat yang dikenakan presiden adalah "potret gelap" masyarakat adat yang tidak hanya dialami masyarakat adat Besipae, namun juga masyarakat adat di berbagai daerah.
Rukka mengatakan, aksi sepihak Pemprov NTT yang merusak rumah warga merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak konstitusional masyarakat adat yang diatur dalam undang-undang dasar.
"Pemerintah harus segera menarik aparat keamanan yang masih berada di lokasi kejadian, segera membebaskan warga yang ditahan dan melakukan pemulihan terhadap perempuan dan anak-anak yang trauma," jelas Rukka.
Lebih jauh lagi, penyerangan terhadap komunitas Besipae juga merupakan pelanggaran terhadap mandat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.
Rukka mendesak pemerintah untuk segera melakukan pemulihan terhadap masyarakat yang trauma. Ia menyebut apa yang terjadi sebagai "ironis" dan "mencederai kemerdekaan".
"Di balik baju adat itu ternyata ada potret gelap masyarakat adat yang ada di sana dan ini tidak hanya terjadi di sana tapi di hampir seluruh wilayah Indonesia." "Masyarakat adat masih mengalami kekerasan," ujar Rukka.
"Ini kan hal-hal yang saya sebut cedera janji kemerdekaan karena ternyata hampir delapan dekade, 75 tahun Indonesia merdeka, tapi masyarakat adat belum merdeka," jelasnya. (din/hh/ant/kompas.com/bbc)