Ini Kisah Kudatuli, Pertikaian Politik PDI Yang Berujung Insiden, Momen Awal Membesarkan Bu Mega

Saat itu, kantor DPP PDI yang dikendalikan oleh pendukung Megawati Soekarnoputri berusaha dikuasai oleh pendukung Soerjadi.

Editor: Frans Krowin
KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D
Ketua DPP PDIP Tri Rismaharini mencium tangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Kantor DPP PDIP, Senin (19/8/2019). 

Ini Kisah Kudatuli, Pertikaian Politik PDI Berujung Insiden, Momen Awal Besarkan Bu Mega

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Peristiwa pertumpahan darah, 27 Juli 1996, telah berlalu 24 tahun lamanya. Namun kisah yang satu ini masih membekas dalam lembaran hati pejuang demokrasi di Indonesia.

Bahkan, sejarah pun mencatat, bahwa insiden berdarah tersebut merupakan lembaran hitam politik Indonesia di masa itu.

Sebab, peristiwa yang dikenal dengan sebutan "Kudatuli" (Kerusuhan 27 Juli) itu mencuat lantaran dualisme partai politik yang terjadi lalu berujung tragedi dan menelan korban jiwa.

Sejatinya, peristiwa Kudatuli itu berawal dari upaya pengambilalihan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta.

Saat itu, Kantor DPP PDI yang dikendalikan oleh pendukung Megawati Soekarnoputri berusaha dikuasai oleh pendukung Soerjadi.

Megawati merupakan ketua umum PDI berdasarkan hasil Kongres Surabaya pada 1993 untuk kepengurusan 1993-1998.

Sedangkan Soerjadi terpilih berdasarkan hasil Kongres Medan pada 22 Juni 1996 untuk periode 1996-1998, sebulan sebelum Peristiwa 27 Juli terjadi.

Sudah 24 Tahun Bu Mega Diam, Kasus Kerusuhan 27 Juli 1996 Pun Terdiam Sampai Sekarang, Kenapa Ya?

Kemesraan dengan Angga Yunanda Bikin Baper, Adhisty Zara Ungkap Status Hubungannya dengan Sang Aktor

Tak Tinggal Diam,Balas Pengusiran Konsulat di Houston,China Usir Konsulat AS di Chengdu

Peristiwa Kerusuhan PDI 27 Juli 1996 di Jakarta.(KOMPAS/JULIAN SIHOMBING)
Peristiwa Kerusuhan PDI 27 Juli 1996 di Jakarta.(KOMPAS/JULIAN SIHOMBING) (Kompas.com)

Aksi 16 Fungsionaris

Dilansir dari arsip Harian Kompas, dualisme di tubuh partai berlambang banteng itu bermula ketika 16 fungsionaris DPP PDI menyatakan akan melaksanakan kongres PDI, untuk memisahkan diri dari kepengurusan pimpinan Megawati.

Mereka kemudian menyatakan akan melaksanakan kongres di Medan, yang rencana pelaksanaannya dipimpin Fatimah Achmad.

Pada 19 Juni 2016, DPP PDI pun "membebastugaskan" alias memecat 16 fungsionaris yang dinilai secara sepihak mengadakan kongres yang melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDI.

Pemecatan dilakukan berdasarkan Keputusan Ketua Umum DPP PDI bernomor 01-KU/KPTS/VI/1996 yang ditandatangani Megawati Soekarnoputri.

"Bahwa akibat perbuatan yang dilakukan oleh fungsionaris DPP PDI tersebut pada kenyataannya telah menimbulkan intrik, pengadudombaan, dan fitnah serta manipulasi dan penyalahgunaan wewenang yang bisa membahayakan partai," demikian pernyataan Megawati, dikutip dari Harian Kompas terbitan 20 Juni 1996.

Namun, kongres di Medan itu tetap berjalan. Indikasi mengenai "restu" Presiden Soeharto terhadap pelaksanaan kongres ini juga terlihat.

Sebab, kongres yang berlangsung pada 20 Juni-22 Juni 1996 itu dibuka dan ditutup oleh Menteri Dalam Negeri, Yogie S Memed.

Harian Kompas terbitan 22 Juni mencatat, bahwa kongres terasa sepi dan terlihat tidak dinamis.

Meski begitu, kongres itu menghasilkan keputusan yang menunjuk Wakil Ketua MPR/DPR Soerjadi sebagai ketua umum dan Buttu Reinhart Hutapea sebagai sekretaris jenderal.

Menangis Saat Ajak Nikita Willy Menikah, Indra Priawan Singgung Sang Ibu di Depan Sang Kekasih

Gaji 13 Cair 4 Hari Lagi? Cek Rekening Anda, Ini Besarannya!

Bawaslu Belu Belum Temukan Pelanggaran Substansial

KUDATULI 1996 -- Penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro oleh pendukung kubu Soerjadi berakhir dengan bentrokan antara massa dan aparat keamanan di kawasan Jalan Salemba, Jakarta Pusat, 27 Juli 1996. Sebelumnya, kantor PDI diduduki massa pendukung Megawati.(Kompas/Eddy Hasby)
KUDATULI 1996 -- Penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro oleh pendukung kubu Soerjadi berakhir dengan bentrokan antara massa dan aparat keamanan di kawasan Jalan Salemba, Jakarta Pusat, 27 Juli 1996. Sebelumnya, kantor PDI diduduki massa pendukung Megawati.(Kompas/Eddy Hasby) (Kompas.com)

Rebutan Kantor DPP

Dukungan pemerintahan Soeharto terhadap Soerjadi semakin terlihat dengan pengakuan dan legalitas terhadap kepengurusan Soerjadi.

Dukungan bahkan disampaikan oleh Kepala Staf Sosial Politik ABRI saat itu, Letjen Syarwan Hamid.

Menurut Syarwan, Pemerintah mengakui DPP PDI hasil Kongres Medan. Berdasarkan asas legalitas, pemerintah juga tidak akan mengakui adanya tandingan atau DPP PDI Pimpinan Megawati Soekarnoputri

Meski begitu, Syarwan menyatakan bahwa pemerintah tidak akan ikut campur tangan terhadap penyelesaian masalah internal partai tersebut.

Namun, dukungan terhadap Megawati tetap mengalir. Tidak hanya dari kader PDI, dukungan juga diberikan oleh mahasiswa dan aktivis demokrasi yang menentang rezim Soeharto.

Berbagai bentuk dukungan diperlihatkan, dari pernyataan sikap hingga menggelar mimbar bebas.

Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro menjadi salah satu lokasi utama dalam pemberian dukungan perlawanan kubu Megawati terhadap intervensi Rezim Orde Baru.

Berbagai mimbar bebas dan aksi demonstrasi pun digelar di kantor DPP PDI. Hal ini tentu janggal terjadi di masa Rezim Orde Baru yang memberlakukan hukuman subversif secara ketat.

Meski begitu, Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menegaskan bahwa ABRI tidak akan ikut campur untuk menduduki kantor DPP PDI.

"Biar mereka (Soerjadi dan kawan-kawan) yang mengusahakannya sendiri. Itu masalah mereka, kok," kata Feisal, dikutip dari Harian Kompas terbitan 26 Juni 1996.

Bonipoi Kelurahan Pertama Gulirkan Dana Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Saat Covid-19

Dua Nelayan Diduga Hilang di Pantai Beiseuk Malaka Barat Belum Berhasil Ditemukan

Bonipoi Kelurahan Pertama Gulirkan Dana PEM di tengah Pandemi Covid-19

Perlawanan Kubu Megawati

Meski menyatakan tidak akan membantu kubu Soerjadi untuk menguasai kantor DPP PDI, namun aparat keamanan menilai aksi mimbar bebas di DPP PDI mengganggu ketertiban umum.

Hingga kemudian Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol) Hamami Nata menginstruksikan agar kegiatan mimbar bebas dihentikan.

Polsek Menteng pun mengirim surat bernomor B/434/VII/1996/Sektro Mt pada 23 Juli 1996 yang meminta mimbar bebas dihentikan. Surat ditujukan kepada Megawati sebagai penanggung jawab kegiatan di Kantor DPP PDI.

DPP PDI pimpinan Megawati kemudian memberikan surat jawaban kepada Kapolsek Menteng yang isinya menganggap tidak ada alasan yang kuat dan mendasar untuk menghentikan kegiatan mimbar bebas itu.

Surat tanggapan itu dibuat 24 Juli dan ditandatangani oleh Ketua DPP PDI Suparlan SH dan Sekjen Alex Litaay.

Selain mimbar bebas, perlawanan juga dilakukan dengan menempuh jalur hukum. Tim Pembela Demokrasi Indonesia yang mewakili PDI kubu Megawati kemudian mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan Kongres Medan.

Gugatan disampaikan kepada Fatimah Achmad dan kelompok 16 fungsionaris, juga untuk Menteri Dalam Negeri, Panglima ABRI, dan Kapolri.

Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 5 Juli 1996, gugatan kepada Mendagri dan Panglima ABRI didasarkan atas keterlibatannya secara langsung atau tidak langsung dalam mempersiapkan, merekayasa, serta membiayai kongres.

Sedangkan terhadap Kapolri didasarkan putusan Kapolri yang dinilai telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku mengenai aturan pemberitahuan kegiatan masyarakat.

Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri mengatakan pemilu 2024 akan terjadi regenerasi pemimpin di Indonesia
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri mengatakan pemilu 2024 akan terjadi regenerasi pemimpin di Indonesia (kompas.com)

Kisah Haru Sri Asiyah, Menangis Dipelukan Istri KSAD, Hetty Andika Perkasa Minta Danrem Bedah Rumah

Kisah Haru Sri Asiyah, Menangis Dipelukan Istri KSAD, Hetty Andika Perkasa Minta Danrem Bedah Rumah

Kisah Haru Sri Asiyah, Menangis Dipelukan Istri KSAD, Hetty Andika Perkasa Minta Danrem Bedah Rumah

Bermacam upaya penyelesaian sengketa dualisme itu tidak menemui hasil. Hingga kemudian, terjadilah peristiwa Sabtu Kelabu pada 27 Juli 1996 tersebut.

Massa yang mengaku pendukung Suryadi, menyerang dan berusaha menguasai kantor DPP PDI.

Alhasil, kerusuhan ini pun menimbulkan korban jiwa dan pembakaran sejumlah bangunan.

Harian Kompas terbitan 13 Oktober 1996 menulis, Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa kerusuhan itu mengakibatkan lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Adapun kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp 100 miliar.

Komnas HAM juga menilai terjadi enam wujud pelanggaran HAM oleh berbagai pihak. Pertama, pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, dan pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, juga pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.

Namun, hingga saat ini penyelesaian kasus hukum terhadap Peristiwa Kudatuli dianggap belum jelas. Masyarakat masih bertanya-tanya mengenai dalang kerusuhan, juga siapa yang seharusnya bertanggung jawab dan dihukum atas tragedi itu.

Ironisnya, ketidakjelasan terhadap penyelesaian hukum terkait peristiwa itu juga tidak terjadi saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden sejak 2001 hingga 2004. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.Com dengan judul: 27 Juli 1996, Dualisme Partai Politik yang Berujung Tragedi: https://nasional.kompas.com/read/2016/07/27/05450081/27.Juli. 1996.Dualisme.Partai.Politik.yang.Berujung.Tragedi.?page=all# page2

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved