Pater Robert Ramone: Kawin Tangkap Bukan Budaya Sumba
Pemerhati budaya Sumba, Pater Robert Ramone, CSsR menegaskan, kawin tangkap bukan budaya Sumba
Kalau soal belis,kata Pater Robert, bukan itu alasan utama terjadinya kawin lari. Kendati mas kawin mahal, di Sumba ada istilah "kumpul tangan atau sambung tangan" artinya tangan saya tidak cukup kuat atau panjang untuk sebuah urusan yang penting dan berat, dibutuhkan bantuan tangan-tangan lain.
Dua tokoh adat Loura yakni Yohanes Bili Daingo alias Ama Vebi dari Kampung Bondo Rongo, Desa Weepangali, Kecamatan Kota Tambolaka dan Kornelis Bobo Malo alias Ama Ansi dari Kampung Keruni, Desa Keruni, Kecamatan Loura, Sumba Barat Daya ditemui Pos Kupang di Keruni, Jumat (17/7) mengatakan dari tradisi Sumba kawin tangkap itu boleh terjadi.
Dijelaskan, tradisi kawin tangkap itu berlangsung sejak nenek moyang berdiam di bumi Marapu Sumba. Memang di zaman modern seperti sekarang sudah jarang terjadi dan kalaupun terjadi hanya satu dua orang saja.
Meski demikian, keduanya mengaku hal itu tidak mudah terlaksana karena pihak laki-laki harus mampu menyiapkan belis (mas kawin) berupa kuda dan kerbau yang banyak. Sebab setelah orang tua perempuan mengetahui anaknya telah ditangkap maka orang tua perempuan akan mendatangi orang tua laki-laki untuk menanyakan anak perempuannya.
Pihak laki-laki menjawab dengan menyerahkan satu ekor kuda dan satu buah parang khas Sumba. Bila tidak terima serta terus menanyakan anak perempuannya maka pihak laki-laki tetap menjawab ada dengan menyerahkan lagi satu ekor kerbau serta satu buah parang lagi dan seterusnya sampai pihak perempuan menerimanya.
Karena itu tradisi kawin tangkap tidak mudah dilaksanakan karena pihak laki-laki harus benar-benar mampu menyiapkan belisnya. Bahkan terkadang nyaris terjadi perang bila pihak perempuan nekat mengambil kembali anak perempuannya dan pihak laki-laki mati-matian mempertahankanya. Pada titik ini, biasanya ada juru runding yang adalah tokoh adat panutan masyarakat yang memfasilitasi penyelesaiannya. (pet/gem)