Opini Pos Kupang
Pendaftaran Tanah Ulayat di NTT: Bisakah?
Akar konflik yang terjadi antara masyarakat yang masih merasa sebagai pemilik hak komunal atas tanah-tanah ulayat dengan pihak luar
Setelah permohonan diterima maka Bupati/Walikota/Gubernur akan membentuk Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemannfaatan Tanah (IP4T) yang terdiri atas unsur-unsur Kantor Pertanahan (Ketua merangkap anggota) dengan anggota Camat, Kepala desa/Lurah, unsur Dinas Teknis lain yang terkait dengan pengelolaan SDA, pakar hukum adat, perwakilan masyarakat hukum adat dan LSM. Tugas dari Tim IP4T adalah melakukan verifikasi letak, luas dan batas-batas kemudian membuatkan petanya, sejarah kepemilikan, analisis bukti/fakta yuridis serta melaporkan hasilnya kepada Bupati/Walikota/Gubernur.
Jika syarat-syarat yang diminta serta laporan IP4T ada kesesuaian sehingga bisa dikabulkan permohonan masyarakat maka Bupati/Walikota/Gubernur akan megeluarkan Surat Keputusan yang memuat lima substansi yakni: pertama, mengukuhkan secara formal keberadaan masyarakat hukum adat, kedua, memberikan izin kelola wilayah yang diminta sebagai wilayah komunalnya, ketiga, bersedia mencadangkan tanah untuk kepentingan umum untuk dikuasai negara demikepentingan umum, keempat, semua kepemilikan individual yang sudah sah dalam wilayah kelola tidak boleh diganggu lagi oleh penguasa ulayat, dan kelima, masyarakat adat boleh berkerjasama dengan pihak ketiga dalam mengelola wilayah yang diberikan hak komunal asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Sebaliknya, jika syarat yang diajukan masyarakat hukum adat dan bukti yuridis/bukti fisik yang ditemukan tim IP4T dianggap lemah maka permohonan akan ditolak.
Bisakah Dilaksanakan di NTT?
Beberapa kendala yang akan menjadi ganjalan serius adalah sejarah kepemilikan dan bukti yuridis. Pertama: informasi atau referensi mengenai sejarah penguasaan lahan oleh satu suku atau gabungan suku di NTT, terutama di Sumba umumnya berasal dari budaya tutur. Tokoh-tokoh adat atau orang yang masih memiliki pengetahuan lengkap tentang itu saat ini sudah sangat langka sehingga tinggal ceritera yang mungkin sudah dipenuhi unsur subyektifitas.
Kedua: kalau bukti yuridis yang dimaksud identik dengan sertifikat atau minimal GS maka sudah pasti posisi masyarakat hukum adat sangat lemah. Ketiga: status kelembagaan masyarakat hukum adat itu sendiri sebagai pihak yang mendaftarkan tanah ulayat (masih ada, masih memiliki struktur, masih memelihara hukum dan hukum itu masih ditaati) mungkin sudah tidak ada atau kalau pun masih ada mungkin hukum-hukumnya sudah tidak ditaati lagi.
Namun demikian, seharusnya pendaftaran bisa dilakukan sepanjang ada komitmen cinta daerah dari para Bupati/Walikota/Gubernur dan jajarannya yang tergabung dalam Tim IP4T sebagai bagian sosialogis dari masyarakat.
Lepaskan sejenak baju formal sebagai pejabat yang mewakili negara dan kenakan baju adat. Buka tikar adat dan kumpulkan semua suku dan para narasumber adat untuk mempercakapkan kembali sejarah kepemilikan/penguasaan lahan. Jika sudah tercapai kesepakatan dan dijamin tidak akan terjadi konflik horizontal maka kembali kenakan baju negara untuk mengimlementasikan Permen ATR No 10 tahun 2016 secara mulus.
Ke depan, dengan mengantongi SK Bupati/Walikota/Gubernur tentang pengesahan hak komunal atas lahan-lahan ulayat maka investor dapat membuka negosiasi langsung dengan masyarakat hukum adat dalam rangka pemanfaatan tanah ulayat untuk kegiatan pembangunan ekonomi; Pemda cukup memfasilitasi dalam merundingkan syarat-syarat kerja sama saling menguntungkan dan mengawasi pelaksanaannya agar tidak ada para pihak yang wanprestasi.
PT Garam Industri sudah sukses melaksanakan itu di Bipolo, Kabupaten Kupang; masyarakat sudah menerima deviden dari usaha garam; yang asin sudah berbuah manis. Mari kita coba metoda ini untuk menyelesaikan kasus PT. MSM pengelola kebun tebu dan pabrik gula di Sumba Timur yang berkonflik dengan masyarakat adat. Masa iya penghasil gula yang manis harus berakhir pahit???. Kita tunggu!!! (*)