Opini Pos Kupang

Pendaftaran Tanah Ulayat di NTT: Bisakah?

Akar konflik yang terjadi antara masyarakat yang masih merasa sebagai pemilik hak komunal atas tanah-tanah ulayat dengan pihak luar

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Pendaftaran Tanah Ulayat di NTT: Bisakah?
Dok
Logo Pos Kupang

Oleh: Ignas K. Lidjang, Peneliti Sumberdaya Pertanian/Purnabakti ASN BPTP NTT

POS-KUPANG.COM - Akar konflik yang terjadi antara masyarakat yang masih merasa sebagai pemilik hak komunal atas tanah-tanah ulayat dengan pihak luar (pemerintah atau pengusaha atau gabungan pemerintah dengan pengusaha) adalah lemahnya atau sengaja dilemahkan "legal-standing" masyarakat adat dan tanah ulayat dalam perundang-undangan yang ada.

Dalam UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960 atau Undang-Undang yang mengatur pemanfaatan sumberdaya (tanah, air, hutan, kandungan bumi dan udara) hanya secara abu-abu menyinggung tentang masyarakat adat dan hak ulayat.

Maria Geong Optimistis Jadi Bupati Perempuan Pertama di Kabupaten Mabar

Atas nama negara dan untuk pembangunan ekonomi, pada era Orde Baru terjadi pemberian konsesi besar-besaran kepada korporasi milik Negara (BUMN) maupun kepada pihak swasta untuk menguasai tanah dalam bentuk HGU. Ketika Orde Baru tumbang terjadilah gerakan balik dari masyarakat yang berniat mengambil kembali tanah-tanahnya, lalu merbaklah konflik di mana-mana.

Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA

Keberadaan hak ulayat dalam UUPA memang sudah diakui tetapi dengan syarat "sepanjang menurut kenyataan masih ada". Artinya jelas, jika masih ada dan eksistensinya masih terpelihara, misalnya di Minangkabau (nama nagari, dikuasai ninik/mamak, hukum adatnya masih eksis dan ditaati) maka sah adanya, tetapi jika sudah tidak jelas maka dianggap tidak ada atau tidak perlu dihidupkan lagi.

Syarat berikutnya adalah (sesuai pasal 3) "pelaksanaan hak ulayat harus sedemian rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan Negara dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi".

Update Covid-19 di Belu: Pelaku Perjalanan Berisiko Tersisa 115 Orang

Artinya juga jelas bahwa hak ulayat bukan mutlak dikelola atas kehendak masyarakat secara otonom melainkan tetap tunduk pada kuasa negara.

Dalam uraian penjelasan UUPA juga ditegaskan bahwa hak ulayat memang diakui tetapi tidak mengaturnya agar tidak melanggengkan eksistensinya, dengan kata lain dibiarkan hilang dengan sendirinya sesuai perkembangan zaman.

Dalam UU tentang Penataan Ruang, Kehutanan dan Minerba, juga disinggung tentang masyarakat adat dan hak ulayat sebagai salah satu subyek hukum yang harus diperhatikan agar tidak terjadi konflik tetapi sejauhmana haknya dalam pengelolaan sumberdaya tidak jelas dan tetap harus tunduk pada kepentingan bangsa dan negara.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 10 tahun 2016, merupakan produk perundangan-undangan yang menurut saya paling berani sekaligus memberi angin segar bagi masyarakat adat.

Permen tersebut menawarkan solusi agar masyarakat adat atau pun masyarakat umum mengajukan usul pendaftaran hak-hak komunal atas tanah ulayat (masyarakat adat) atau hak komunal atas tanah yang dikuasai negara (masyarakat umum yang telah tergabung dalam Badan Usaha seperti Koperasi) Dalam tulisan ini saya hanya mengulas ringkasan (kalau mau tahun secara rinci silahkan download Permen tsb) tentang syarat dan prosedur untuk pendaftaran hak komunal atas tanah ulayat.

Masyarakat hukum adat (subyek) yang berhak mengajukan permohonan pendaftaran tanah (obyek) harus memenuhi kriteria berikut: pertama, masih terikat dalam satu paguyuban/organisasi, kedua, masih memiliki perangkat/struktur kelembagaan, ketiga, masih menguasai suatu wilayah hukum adat yang jelas batas-batasnya, dan keempat masih ada pranata/perangkat hukum adat yang ditaati.

Jika keempat syarat itu terpenuhi maka silahkan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikota (untuk wilayah yang berada dalam kabupaten/kota) atau kepada Gubernur (untuk obyek yang berada dalam wilayah yang bersifat lintas kabupaten/kota).

Permohonan ditanda-tangani Ketua Adat dengan melampirkan riwayat masyarakat hukum adat dan wilayah yang dikuasainya, dan diperkuat surat keterangan dari Kepala Desa atau lainnya.

Setelah permohonan diterima maka Bupati/Walikota/Gubernur akan membentuk Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemannfaatan Tanah (IP4T) yang terdiri atas unsur-unsur Kantor Pertanahan (Ketua merangkap anggota) dengan anggota Camat, Kepala desa/Lurah, unsur Dinas Teknis lain yang terkait dengan pengelolaan SDA, pakar hukum adat, perwakilan masyarakat hukum adat dan LSM. Tugas dari Tim IP4T adalah melakukan verifikasi letak, luas dan batas-batas kemudian membuatkan petanya, sejarah kepemilikan, analisis bukti/fakta yuridis serta melaporkan hasilnya kepada Bupati/Walikota/Gubernur.

Jika syarat-syarat yang diminta serta laporan IP4T ada kesesuaian sehingga bisa dikabulkan permohonan masyarakat maka Bupati/Walikota/Gubernur akan megeluarkan Surat Keputusan yang memuat lima substansi yakni: pertama, mengukuhkan secara formal keberadaan masyarakat hukum adat, kedua, memberikan izin kelola wilayah yang diminta sebagai wilayah komunalnya, ketiga, bersedia mencadangkan tanah untuk kepentingan umum untuk dikuasai negara demikepentingan umum, keempat, semua kepemilikan individual yang sudah sah dalam wilayah kelola tidak boleh diganggu lagi oleh penguasa ulayat, dan kelima, masyarakat adat boleh berkerjasama dengan pihak ketiga dalam mengelola wilayah yang diberikan hak komunal asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Sebaliknya, jika syarat yang diajukan masyarakat hukum adat dan bukti yuridis/bukti fisik yang ditemukan tim IP4T dianggap lemah maka permohonan akan ditolak.

Bisakah Dilaksanakan di NTT?

Beberapa kendala yang akan menjadi ganjalan serius adalah sejarah kepemilikan dan bukti yuridis. Pertama: informasi atau referensi mengenai sejarah penguasaan lahan oleh satu suku atau gabungan suku di NTT, terutama di Sumba umumnya berasal dari budaya tutur. Tokoh-tokoh adat atau orang yang masih memiliki pengetahuan lengkap tentang itu saat ini sudah sangat langka sehingga tinggal ceritera yang mungkin sudah dipenuhi unsur subyektifitas.

Kedua: kalau bukti yuridis yang dimaksud identik dengan sertifikat atau minimal GS maka sudah pasti posisi masyarakat hukum adat sangat lemah. Ketiga: status kelembagaan masyarakat hukum adat itu sendiri sebagai pihak yang mendaftarkan tanah ulayat (masih ada, masih memiliki struktur, masih memelihara hukum dan hukum itu masih ditaati) mungkin sudah tidak ada atau kalau pun masih ada mungkin hukum-hukumnya sudah tidak ditaati lagi.

Namun demikian, seharusnya pendaftaran bisa dilakukan sepanjang ada komitmen cinta daerah dari para Bupati/Walikota/Gubernur dan jajarannya yang tergabung dalam Tim IP4T sebagai bagian sosialogis dari masyarakat.

Lepaskan sejenak baju formal sebagai pejabat yang mewakili negara dan kenakan baju adat. Buka tikar adat dan kumpulkan semua suku dan para narasumber adat untuk mempercakapkan kembali sejarah kepemilikan/penguasaan lahan. Jika sudah tercapai kesepakatan dan dijamin tidak akan terjadi konflik horizontal maka kembali kenakan baju negara untuk mengimlementasikan Permen ATR No 10 tahun 2016 secara mulus.

Ke depan, dengan mengantongi SK Bupati/Walikota/Gubernur tentang pengesahan hak komunal atas lahan-lahan ulayat maka investor dapat membuka negosiasi langsung dengan masyarakat hukum adat dalam rangka pemanfaatan tanah ulayat untuk kegiatan pembangunan ekonomi; Pemda cukup memfasilitasi dalam merundingkan syarat-syarat kerja sama saling menguntungkan dan mengawasi pelaksanaannya agar tidak ada para pihak yang wanprestasi.

PT Garam Industri sudah sukses melaksanakan itu di Bipolo, Kabupaten Kupang; masyarakat sudah menerima deviden dari usaha garam; yang asin sudah berbuah manis. Mari kita coba metoda ini untuk menyelesaikan kasus PT. MSM pengelola kebun tebu dan pabrik gula di Sumba Timur yang berkonflik dengan masyarakat adat. Masa iya penghasil gula yang manis harus berakhir pahit???. Kita tunggu!!! (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved